Bab 13 - Bagian 2

40 11 0
                                    

Untari bersyukur memiliki Arga dan Citra. Mereka hidup bahagia. Arga memperlakukannya dengan sangat baik, melindungi, dan mengayomi. Citra tumbuh dalam pengasuhannya dengan baik.

Arga tidak memanjakan putri kecilnya. Setiap Untari bersikap terlalu melindungi Citra, Arga malah akan menegur. Laki-laki itu tidak mau Citra menjadi manja. Bahkan sejak bayi, Citra diajar tentang kemandirian.

Beberapa kali Untari protes kepada Arga. Tidak tega melihat Citra kecil, putri tunggal pengusaha sukses harus berusaha dulu, untuk mendapatkan yang diinginkan.

"Gak apa-apa. Biar setelah dewasa, Citra jadi perempuan hebat," sahut Arga santai.

"Mas!"

Untari masih mau protes, Arga menghentikan dengan sebuah ciuman di pipi. Tak urung Untari tersipu malu. Empat tahun kebersamaan mereka, Untari masih sering malu menerima kemesraan suaminya.

Arga tertawa. Meski sebelumnya tidak ada rasa cinta, perlahan rasa itu hadir dan membuat mereka nyaman. Untari tidak berusaha menjadi sama seperti almarhum istri Arga. Tidak berusaha menarik hati keluarga besar Arga. Semuanya berjalan apa adanya, dan itu membuat mereka lebih mudah melebur. Mereka saling melayani, saling terbuka.

Arga memang berbeda. Laki-laki itu melibatkannya secara langsung dalam usaha mereka. Arga memberinya kepercayaan memegang urusan keuangan rumah batik. Mengajarkan banyak hal tentang pengelolaan usaha mereka. Memperkenalkan istrinya kepada kolega-koleganya. Membantu Untari membangun relasi dengan mereka.

Arga seperti mempersiapkan anak dan istrinya, supaya ketika dia pergi, mereka tidak kehilangan pegangan. Seperti sekarang, Arga sudah 3 bulan sakit. Untari bisa menggantikan peran Arga di rumah batik. Di usianya yang masih dua puluh lima tahun, Untari harus mengendalikan usaha mereka, agar tidak goyang. Ratusan karyawan menggantungkan hidup pada usaha itu.

Untari tersentak, tidak sadar perempuan muda itu tertidur. Mata lentiknya mengerjap, mengadaptasi sinar yang menyilaukan mata. Tubuhnya terasa sangat lelah, semalam Arga tidak tidur, sehingga dia harus menemaninya berjaga. Begitu Arga tidur, Untari ikut tertidur.

"Sudah bangun?' tanya Arga sambil menarik tubuh istrinya masuk dalam pelukannya. Untari tersadar, kalau dia tidur di atas lengan Arga.

"Maaf Mas, aku ketiduran," sahut Untari malu. Perlahan perempuan cantik itu beringsut, mencoba menjauh dari pelukan suaminya.

"Kenapa? Mas hanya ingin memelukmu," bisik Arga lembut.

Untari terdiam. Airmata hampir saja menetes. Untari menahannya kuat-kuat agar tidak keluar. Untari tidak mau menangis di depan Arga, karena tidak mau menambah beban suaminya. Hanya memeluk yang dibilang Arga, ternyata tidak benar-benar hanya. Untari bisa merasakan Arga mulai menciumi kepala dan lehernya. Tindakan laki-laki itu membuat jantung Untari berdebar. Perutnya terasa mulas, karena serangan ribuan kupu-kupu. Berlomba mengepakan sayapnya, mengelitik hatinya.

Arga tahu sisi sensitifnya, laki-laki itu tidak berhenti malah terus memainkan lidahnya. Mencumbui istri yang sudah tiga bulan tidak disentuhnya. Untari menahan diri untuk tidak mendesah, menahan hasrat yang dibangkitkan Arga. Jantung mereka berkejaran, tangan kurus Arga membelai perut Untari. Memeluk dengan posesif. Untari tahu, Arga merindukan suasana kebersamaan mereka yang menghilang. Ada rasa yang menggelegak, mengusir malu yang sempat hadir.

Untari mulai merespon kemesraan yang diciptakan Arga. Tangannya yang bebas ditangkupkan di atas tangan Arga yang mengelus perutnya. Tangan Arga diangkat dan dibawa ke bibirnya, diciumi tangan kurus itu. Penyakit mengerogoti tubuh kekar laki-laki yang menikahinya lima tahun lalu itu. Untari mendesah, mengabaikan rasa malu.

WARISAN UNTARI (COMPLETED)Where stories live. Discover now