Bab 12 - Bagian 2

49 11 2
                                    

Arsanti menarik tangan Andaru untuk menjauh dari meja makan. Laki-laki itu heran tetapi dia mengikuti ajakan istrinya. Untari hanya mengangguk saat putra keduanya itu meminta izin untuk keluar sebentar.

"Mas, sebenarnya ada apa dengan Mbak Citra?"

"Ini, kamu lihat aja!"

Andaru memberikan benda pipih berwarna hitam. Arsanti meraih gawai yang diberikan suaminya. Mata indah itu perlahan menelusuri kata demi kata yang tertera dalam pesan . Kening Arsanti berkerut. Perempuan Sunda itu sepertinya memikirkan sesuatu.

"Mas, jangan-jangan Mbak Citra ..."

"Sudah tahu!"

Keduanya berkata bersamaan. Mata Arsanti menatap lurus wajah Andaru. Tangannya terangkat dan menutup mulut setelah sebuah pemikiran tebersit dengan cepat. Andaru mengangguk. Dia merasa jika Arsanti satu pemikiran dengannya. Sekilas, Andaru melihat Wiryawan mendekati ibunya dan mereka berbincang. Entah apa yang dibicarakan.

"Mas, menurutmu sejak kapan Mbak Citra tahu rencana Ibu?"

"Entahlah ... yang jelas aku merasa Mbak Citra berubah sikap hari ini.  Dia tidak banyak bercakap -cakap lagi. Sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan. Danta ... aku kasihan dengan anak itu." Mata Andaru menerawang.

"Oh ya, Mas,  tadi pagi aku melihat sekilas, matanya Mbak Citra sedikit sembab. Seperti orang yang ... menangis. Aku penasaran, siapa yang memberitahunya?"

"Entahlah, Nanti aku coba cari tahu. Oh ya, Dek, selama Mbak Citra tidak ada di rumah, kamu dampingi Ibu. Ya, setidaknya temani dia. Mas percaya, Ibu akan terbuka dan nyaman denganmu."

"Bagaimana dengan Dek Anti?"

"Tidak ... Dek Anti dan Mas Wawan satu pemikiran. Mereka tidak menerima keputusan. Kasihan Ibu."

"Lalu, bagaimana denganmu? Apa kamu akan memihak Mas Wawan dan Dek Anti? Ya, walaupun aku tahu, Mas tidak sekeras mereka berdua."

Andaru memandang Arsanti. Perempuan itu seolah menguji kejujuran hatinya atas masalah yang ada akhir-akhir ini.

"Aku hanya akan mengambil keputusan sesuai dengan kata hatiku. Walaupun itu harus bertentangan dengan kekuatan yang lebih besar." Jawaban itu akhirnya keluar dari mulut Andaru. Arsanti terdiam.

Dari kejauhan Untari melambaikan tangan memanggil keduanya. Andaru mengajak Arsanti untuk mendekat. Saat itu Andaru melihat wajah ibunya menyiratkan  kemarahan. Wiryawan duduk tidak jauh dari ibunya. Andaru menduga ada perbincangan di antara mereka berdua yang membuat Untari gusar. Laki-laki itu memandang keduanya secara bergantian. Wiryawan membuang muka.

"Ada apa, Bu?"

"Mas Ndaru, Ibu mau pulang saja. Udah cukup makan malamnya. Sudah kamu bayar makanannya?" Tangan Untari meraih tas lalu membuka dompet untuk mengambil kartu ATM.

"Oh, bentar ya, Bu. Engga usah pake itu. Biar pakai uangku saja. Ibu tunggu di sini! Ndaru mau bayar dulu ke kasir. Dek, tolong panggil pelayan! Minta dibereskan makanan yang belum dimakan," pinta Andaru pada Arsanti.

Sambil berjalan menuju kasir, Andaru menghela napas. Kacau sekali malam ini. Semua berjalan tidak sesuai dengan harapan. Mbak Citra dan Danta  tidak ada kabar, Ibu yang tidak bahagia di hari ulang tahunnya, serta sikap Wiryawan tadi yang membuatnya bertanya-tanya.

Selesai membayar semua makanan yang  dipesan, Andaru kemudian membawa Untari semobil dengannya. Dianti dan Alika ikut keluarga Wiryawan. Mereka izin tidak langsung pulang malam itu. Sikap Untari yang dingin saat Wiryawan mencium tangannya,  membuat Andaru semakin yakin jika ada masalah baru selain ketidakhadiran Citra dan Danta. Dalam mobil, Untari hanya diam saja. Tawaran Arsanti untuk singgah dulu ke tempat belanja ditolaknya. Untari hanya ingin pulang dan menunggu kepulangan Citra.

****

Untari berdesah sambil memandang langit malam yang sepi dari balik kaca kamarnya. Semilir angin yang berembus menghantarkan dingin yang mengigit.  Semua terasa menghimpit jiwa. Raganya pun seolah terpisah dengan pikiran. Lelah membalut diri. Keputusan terbaiknya telah bergulir. Namun, dia tidak menyesal. Hanya saja,  Untari tidak menyangka, respon yang diterimanya menuai banyak duka.

Mbak Citra, dimanakah kamu, Nak? Kenapa kamu tidak berkabar? Tidak sayang lagikah sama Ibu?

Pertanyaan tanpa jawaban itu mendera jiwanya. Air mata kesedihan mengalir dengan deras. Langkahnya telah menyimpan luka untuk anak tertua. Untari tidak ingin kejadian lama terulang kembali. Kehilangan Citra adalah neraka baginya. Walaupun Untari tahu, jika suatu saat nanti takdir akan memisahkan dirinya dengan Citra. Citra memang bukan anak yang lahir dari rahimnya, tapi anak yang dia asuh sejak kecil. Citra Anjani lahir dari kasih sayangnya yang tulus dan mendalam.

Untari teringat, dulu saat Citra masih kecil, anak itu pernah pergi dari rumah. Untari tidak tahu apa yang membuat Citra melakukan hal senekat itu. Saat itu dia tengah mengandung Wiryawan. Seharian Untari menangis. Beberapa orang yang disuruh mencarinya tidak berhasil menemukan Citra. Tomy tidak bisa diandalkan. Bahkan dengan terang-terangan, Tomy meyuruhnya mengikhlaskan jika gadis kecil itu tidak kembali lagi.

Untari marah besar. Baginya titah sang suami tak layak dipatuhi. Justru Untari merasa heran dengan sikap Tomy yang seolah-olah tidak peduli akan kepergian Citra. Padahal, sebelum mereka menikah,  Tomy sangat perhatian dan memanjakan Citra kecil. Hingga akhirnya perempuan tegas itu tahu, sikap manis Tomy yang diperlihatkan sebelum mereka resmi menjadi sepasang suami istri di depan penghulu hanyalah akal bulus saja. Setelah itu, semua terbuka seiring waktu. Tomy hanya berpura-pura agar bisa mengambil hati Untari.

Dengan bantuan Pak Harso, Untari bisa menemukan gadis kecil itu sore hari di pemakaman ayah kandungnya. Citra terlihat lelah dan sedang menangis. Untari tidak tega melihatnya. Deraian air mata Untari mengalir deras saat tubuh mungil itu memeluknya dengan erat.

"Nduk, kamu kenapa pergi meninggalkan Ibu? Apa salah Ibu?"

"Ibu tetap sayang sama Citra? Enggak akan membuang Citra kalau adik dalam perut Ibu udah lahir?"

Wajah polos dengan rambut terurai itu menatap Untari. Manik cokelat yang dibingkai alis tebal dan bulu mata lentik meminta kejelasan dari bibir Untari. Untari terkesiap dengan pertanyaan Citra. Bagaimana anak sekecil itu punya pikiran yang dia sendiri tidak pernah memilikinya?
Ada yang tidak beres. Untari bertekad mencari tahu.

Untari menggeleng tegas. Dikecupnya pucuk kepala Citra dengan penuh kasih sayang. Baginya, Citra adalah belahan jiwa yang tidak akan pernah terpisahkan kecuali kematian datang menjemput. Namun, sebelum hal itu terjadi, segalanya harus jelas.

"Nduk, sampai kapan pun Ibu akan selalu ada buat kamu. Tetap anak Ibu Untari. Sampai Mbak Citra punya adik banyak."

"Mbak?"

"Iya dong, Citra sebentar lagi akan menjadi kakak. Nanti adik-adiknya akan memanggil Citra dengan sebutan Mbak Citra. Ibu akan marah kalau adik-adik memanggil hanya dengan sebutan nama saja. Tidak sopan namanya. Gimana, Mbak Citra suka?"

Gadis itu kini tersenyum. Wajahnya yang lesu kembali berseri dan gembira. Dia tidak jadi kehilangan ibunya setelah ayah dan ibu kandungnya tiada. Hatinya tenang. Baginya, Untari adalah malaikat tanpa sayap yang dikirim Tuhan. Perkataan Ayah Tomy Sujiwo padanya kemarin yang mengatakan Ibu Untari akan membuangnya ternyata tidak terbukti.

Jam dinding berdentang dua belas kali. Mata Untari masih menatap jalan yang mengarah ke gerbang utama. Dia berharap, pintu itu akan terbuka dan Citra kembali pulang. Lalu putri sulungnya datang ke kamar dan memeluknya dengan erat. Sayang, pintu tetap terkunci dan  bergeming. Tidak ada suara Citra dan Danta yang menyapanya. Malam semakin larut dan menyisihkan keheningan. Untari kembali terisak.

WARISAN UNTARI (COMPLETED)Where stories live. Discover now