Bab 4 - Bagian 2

59 12 3
                                    

Ibu kandungmu”

Citra hanya diam menatap ayah dan ibunya bergantian. Gadis kecil berusia lima tahun itu tidak mengerti penjelasan pendek sang ayah, apalagi tangisan pilu Untari, perempuan yang dikenalnya sebagai Ibu. Sampai keesokan harinya, ketika ayahnya meninggal. Semua saudara dan tetangga berdatangan dengan wajah kasihan. Para kerabat memeluknya dengan berlinang airmata. Citra masih tidak paham arti tangisan mereka.

Meksake temen anake mas Arga,”
“Njur, piye mengko. Mbak Citra melu sopo,”
“Lha kok yo melas uripmu cah ayu. Bar ibumu dipundut Gusti, saiki bapakmu!”

Kalimat-kalimat simpati dan empati tetangga dan kerabat, tidak juga mengubah pandangannya. Di matanya Untari adalah ibunya, sampai Tomy Sujiwo datang merusak segalanya.

Untari memang masih dan selalu mencintainya, tetapi laki-laki tidak tahu diri itu mengambil kebahagiaannya. Menempatkan Citra sebagai pengganggu dalam keluarganya, padahal sesungguhnya dialah mengganggu itu.

Kelahiran Wiryawan, Andaru, dan Dianti makin menyempurnakan penderitaannya di depan Tomy. Beban yang diberikan kepada gadis mungil itu makin bertambah. Citra sering mendengar bisikan karyawan yang melihat perlakuan Tomy padanya. Gadis itu tidak sakit hati, sebaliknya tekat hidupnya menjadi sangat kuat.

Untari tidak pernah tahu sikap suaminya, karena Tomy melakukan intimidasi kepada Citra saat dia sibuk bekerja. Di depan istrinya, laki-laki benalu itu tidak berani melakukan apa-apa. Karena Tomy tahu, Untari saat mencintai anak tirinya itu. Tomy memang tidak menyuruh anak tirinya itu untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Citra hanya harus mengawasi adik-adiknya, mereka tidak boleh terluka. Jika ada yang terluka, dia tidak akan segan menghukum Citra dengan caranya.

Malam tahun baru tahun 1993, malam bahagia itu berubah tragis. Saat itu Citra berusia 16 tahun. dia tidak akan pernah melupakan kejadian itu. Sebuah kecelakaan menimpa Andaru karena ulah Wiryawan, tetapi laki-laki dewasa yang kekanak-kanakan itu memarahinya habis-habisan. Saat itulah Untari tahu, sikap buruk suaminya. Itu awal, perang dingin antara suami istri itu.

Makan malam keluarga baru saja usai, beberapa karyawan, sahabat, relasi kerja, dan kerabat yang diundang mulai meninggalkan rumah besar mereka. Ibu rutin  melakukan kegiatan makan bersama di akhir tahun, alasannya sangat sederhana, sebagai ucapan syukur atas keberhasilan usaha selama satu tahun yang sudah berlalu. Bukan acara besar, hanya ajang silaturahmi yang diadakan secara sederhana. Menurut Untari, pemilik Rumah Batik Kencana yang sedang naik daun kala itu.

“Mbak Citra, yuk main kembang api lagi!”

Wiryawan menarik tangannya, mengajaknya keluar rumah. Padahal dari tadi, Wiryawan sudah bermain kembang api bersama anak-anak para tamu.

Gak ada puasnya ya, gerutu Citra dalam hati.

“Nanti ya, Mbak Citra membantu membereskan rumah dulu,” tolaknya halus.

Citra bukan tidak mau menemani adiknya, tetapi dia harus membantu Ibu membersihkan rumah yang baru ditinggalkan tamu.

“Biar mbok Jum saja yang membereskan, kan dia dibayar untuk bersih-bersih rumah!” sahutnya ngotot.

Citra terhenyak, tidak percaya adiknya yang masih berumur 9 tahun bisa bersikap sekasar itu.

“Dek, tidak boleh ngomong begitu. Mbok Jum ….”

Ucapan Citra menggantung di udara. Wiryawan sudah tidak ada di situ. Gadis itu hanya bisa menghela napas panjang. Wiryawan terlalu dimanja oleh ayahnya, sikapnya makin kurang ajar karena ada yang melindungi.

“Dek Wawan tadi minta apa, Mbak?” tanya Ibu tiba-tiba sudah mendekatinya. Wiryawan bersembunyi di belakang tubuh Untari. Andaru juga ada di sana.

“Minta main kembang api Bu, Citra bilang nanti. Citra mau membantu membereskan ini dulu,” jawabnya sambil menunjukkan apa yang sedang dikerjakannya.

Untari tersenyum, kain taplak yang dipegang anak gadisnya diambil. “Biar Ibu saja, kamu temani adik-adikmu di luar. Mumpung Anti juga belum tidur!” perintah Untari lembut tapi tegas.

Dengan terpaksa Citra menurut. Di usianya sekarang, bermain kembang api sama sekali tidak menyenangkan, apalagi bermain dengan adik-adiknya yang masih kecil. Wiryawan tertawa menang. Anak itu langsung berlari keluar membawa bungkusan kembang api yang tadi sempat ditunjukkan kepada Citra. Andaru mengikuti dari belakang, sedang Anti minta digendong. Adik bungsunya yang masih berumur 4 tahun itu, tertawa senang.

Sampai di luar, Citra segera menyalahkan lampu uplik yang digunakan sebagai sumber api. Wiryawan dan Andaru dengan sabar berjongkok menunggu.

“Mainnya hati-hati ya Dek, jangan sambil lari!”

Baru selesai Citra berpesan, kedua bocah laki-laki itu sudah berlarian mengelilingi halaman. Tangan yang memegang kembang api menyala itu diayun-ayunkan sambil berlari. Citra hanya bisa menggelengkan kepala.

“Anti mau main juga?” Dianti langsung mengangguk setuju.

“Berani pegang?” Kali ini dia menggeleng.

“Mbak aja, Anti takut!”

Citra tertawa. Tangannya mengambil satu kembang api dan menyalakannya. Menggoyangkan perlahan dengan tangan kanannya. Tangan kirinya menggendong adik kesayangannya.  Matanya tidak sekejap pun beralih dari kedua adik laki-lakinya yang sedang bahagia.

“Aduh, sakit!”

Satu teriakan membuatnya berlari secepat mungkin mencari sumber suara. Andaru tersungkur di tanah, Wiryawan menangis di dekatnya.

“Kenapa, bagian mana yang sakit?” tanyanya kuatir, setelah meletakkan Dianti di gazebo tidak jauh dari situ.

“Aduh!”

Andaru berteriak saat Citra menyentuh lututnya. Gadis itu menemukan luka melepuh kecil, pantas Andaru langsung berteriak.

“Ada apa ini? Kenapa Wawan menangis dan Ndaru berteriak?” Suara keras Tomy membuatnya jatuh terduduk. 

“Kamu apakan anak-anakku? Dasar anak tidak tahu diri!” teriaknya lantang penuh amarah.

Hati Citra mencelos, tidak mengerti kesalahannya. Kenapa laki-laki itu marah? Tomy sibuk marah, tanpa melakukan tindakan apa pun, padahal Andaru masih meringis kesakitan.

“Kamu memang kurang ajar. Seharusnya dari dulu kamu ....”

“Citra kenapa, Mas?” Suara lembut Untari menyejukkan hati Citra. Perempuan lembut itu sudah berdiri di belakang suaminya.

“Lihat ini! Apa yang sudah dilakukan anak kurang ajar ini! Dia melukai dan menyakiti anakku!” jawab Tomy seperti kehilangan akal. Citra dapat melihat tatapan kebencian padanya.

“Kamu terlalu memanjakannya, hingga dia jadi kurang ajar.”

Wajah lembut Untari berubah. Ingin rasanya menumpakkan amarahnya saat itu juga, tetapi Untari ingat ada anak-anaknya. Dia tidak mau membuat mereka ketakutan. Dia juga tidak mau suaminya kehilangan muka di depan anak-anaknya.

“Mbak, bawa Ndaru ke dalam. Diobati dengan salep hijau yang biasa itu ya. Pelan-pelan saja,” pesannya lembut.

Citra mengangguk dan beranjak membawa Andaru yang masih meringis menahan perih. Mungkin lebih perih dengan yang Citra rasakan saat itu.   

***

WARISAN UNTARI (COMPLETED)Where stories live. Discover now