Bab 7 - Bagian 2

44 11 0
                                    


Citra memasuki rumah utama dengan tergesa-gesa, tetapi sebelumnya dia meminta Pak Harso untuk menemui Untari sebelum mereka pergi ke kantor Kasubag Pariwisata kota Solo. Laki-laki tua itu mengangguk patuh. Sejurus kemudian kakinya melangkah menuju ruangan Untari.

"Mas Danta, Mas .... !" Citra memanggil putra satu-satunya.

Pagi itu rumah terlihat sepi. Padahal sejam yang lalu ruang makan cukup ramai dengan celotehan penghuni rumah yang hendak sarapan pagi. Kini, keramaian hanya terdengar di bagian belakang. Mbok Jum dan Sumirah tengah merapikan perabotan dapur sehabis memasak untuk sarapan pagi tadi.

Arsanti keluar dari kamarnya. Dia kelihatan repot dengan keranjang kain besar berisi baju kotor milik keluarga kecilnya. Keranjang baju kotor itu terbuat dari perca batik berbagai motif yang dijahit sambung menyambung dan membentuk sebuah tabung besar yang kaku. Di dalamnya dilapisi kain keras.

"Mau nyuci, Dek?"

"Iya, Mbak. Ini udah penuh sama bajunya Satria. Maklum ... anak laki-laki kalau main maunya kotor-kotoran. Eh, Mbak Citra nyari Mas Danta ya? Tuh di belakang main sama adik-adiknya. Mumpung mereka main, aku mau nyuci dulu."

"Oalah, kenapa enggak dikasih ke Sumirah aja tho, Dek?" tanya Citra heran.

"Kasihan Mbak Sumirah kalau diserahin nyuci baju kami. Dia udah banyak kerjaan. Kan enggak enak juga, baju dalaman kami dicuciin sama orang lain," jawab Arsanti sambil tersenyum.

Citra mengacungkan jempol. Dia menyukai Arsanti. Satu-satunya menantu Ibu yang tidak neko-neko. Padahal, adik iparnya yang cantik itu bukanlah orang biasa. Keluarga besarnya di Bandung termasuk kalangan yang cukup berpengaruh. Bahkan Ayah Arsanti, seorang pemilik universitas swasta terkenal dan bergengsi, sementara Ibunya seorang guru besar di universitas negeri. Arsanti sendiri seorang dosen tetap. Walaupun demikian, orang tua Arsanti mendidik anak-anaknya dengan baik dan sesuai dengan adat ketimuran.

"Dek Ndaru sama Dek Dianti kemana ya? Rumah kok sepi banget?"

"Lho, Dianti bukannya tadi ke rumah Limasan. Mbak enggak ketemu dia? Kalau engga salah, Mas Ndaru nyusul Dek Dianti ke sana."

"Ke kantor ... Ibu? Kapan?" tanya Citra ragu.

"Tadi. Ada setengah jam mungkin," jawab Arsanti sambil melirik jam di dinding.

Danti ke rumah limasan. Setengah jam lalu. Kok aku enggak lihat dia? Apa dia ke ruangan batik-batik dulu? Sekarang dia menghindariku. Ada apa ya? batin Citra.

"Bunda .. Bunda mau ke mana?"

Tiba-tiba Danta datang dari arah pintu samping ruang keluarga sambil menggendong Alika yang montok, putri semata wayang Dianti. Dia diikuti oleh Satria yang tidak mau jauh-jauh dari kakak sepupunya.

Citra berbalik. Tangannya mencubit gemas pipi Alika yang dibalas dengan cengiran lucu bocah perempuan itu. Danta kemudian menurunkan adik sepupunya.

"Mas, Bunda mau jalan lagi ya. Pagi ini mau ke kantor Dinas Pariwisata. Ada rapat. Abis itu Bunda mau ngecek lagi pesanan dari Dinas Pendidikan yang kemarin. Tau 'kan? Bunda mungkin pulangnya sore."

"Bunda sama siapa perginya? Danta boleh ikut temani Bunda?"

Citra menggeleng. Lalu diusapnya kepala Danta dengan lembut. " Mas Danta enggak usah ikut ya, Nak! Hari ini Bunda jalan berdua sama Pak Harso saja. Kamu di rumah jaga adik-adik saja. Ajak mereka main. Tuh lihat! Tante Santi mau nyuci."

Danta menatap wajah Citra sesaat. Dia tahu hari ini bundanya sangat sibuk. Satu sisi, jiwa Danta yang ingin melindungi orang terkasihnya mulai timbul, sementara di sisi lain dia ingin mematuhi permintaan Citra.

WARISAN UNTARI (COMPLETED)Where stories live. Discover now