Bab 18

48 12 3
                                    

      "Pagi sekali bangunnya, Budhe?" sapa Citra saat menemukan pemilik rumah sudah sibuk di dapur. Langit di luar masih gelap, adzan Subuh baru saja berakhir. Citra berniat bangun untuk menjalankan kewajibannya, malah menemukan Budhe Lastri sudah menjera air.

       "Wis biasa bangun pagi, Mbak. Kalau kesiangan kesusu gak enak, ngrubak ngrubuk," jawabnya memamerkan giginya yang masih utuh. Citra tertawa kecil.

       Hati Citra mendesir. Ingatannya terbang kepada perempuan tua lain yang sangat dicintainya, Untari. Ibu pasti sudah bangun, sudah salat, lalu berdoa panjang seperti yang selalu beliau lakukan. Doa untuk semua anak-anaknya yang sering mengecewakan.

       "Lho katanya mau wudlu kok malah bengong. Sudah sana, nanti keburu siang. Habis ini Budhe mau ke pasar, ikut gak?"

       "Oya, Budhe, saya salat dulu," sahut Citra buru-buru mengambil air wudlu di padasan. Lalu melaksanakan salat subuh dengan khusuk di bilik kecil yang dibuat menjadi Mushola.

        Rumah Budhe Lastri tidak terlalu besar, tapi ditata dengan baik. Dari cerita yang Citra dengar, putra kedua Budhe seorang arsitek di Surabaya. Dia yang menata rumah ini. Kebetulan Budhe Lastri sendiri orangnya rapi, meski hidup sendiri rumah tidak terlihat berantakan.

        Hari masih sangat pagi, Citra dan Budhe Lastri berjalan ke pasar kota yang berjarak sekitar 1 km. Sebenarnya dekat rumah Budhe ada pasar kecil, namanya pasar Glendoh. Kemarin Citra sempat jalan ke sana, sekedar melihat-lihat. Pasar itu lebih dikenal dengan sebutan pasar unggas, segala macam jenis unggas ada di sana. Kebayang dong kondisinya seperti apa, kotor dan bau.

        Ada juga pedagang kebutuhan pokok sehari-hari, hanya tidak banyak. Kalau hanya untuk makan sehari-hari, sebetulnya bisa. Dengan catatan harus kuat bersaing dengan aroma kotoran unggas.

       Citra tidak paham kenapa Budhe mengajaknya ke tempat yang lebih jauh, pagi-pagi pula. Sepaginya orang ke pasar, biasanya jam 5 atau menjelang jam 6. Sekarang baru jam 4.30, emang sudah ada yang jualan? Ah mungkin Budhe ingin jalan-jalan pagi sambil menunggu pasar buka, untuk mencari bahan yang tidak ada di pasar Glendoh itu.

       Mereka berjalan perlahan, meski sudah hampir berusia 70 tahun, Budhe Lastri masih cukup gesit. Sambil berjalan beeliau bercerita tentang banyak hal, terutama tentang cucunya yang rencananya mau liburan akhir tahun di rumah neneknya. Budhe Lastri mau membeli bahan kue untuk menyambut mereka.

        Beberapa saat berjalan, Citra mulai menemukan jawaban pertanyaannya. Dari kejauhan Citra mulai melihat keramaian seperti pasar tumpah, memenuhi jalan.

       "Ini namanya pasar pagi. Dari malam jam 10 pedagang sudah pada datang, pembeli juga. Bisa dibilang ramai sepanjang malam. Kalau subuh begini, pembelinya pedagang sayur yang akan dijual di pasar-pasar kecil sekitar Purwodadi. Lihat, ramai kan?" Bu Lastri bercerita tanpa diminta. Citra tersenyum geli, mengingat pikiran negatifnya.

       "Kenapa, Mbak, ada yang lucu?" tanya budhe tidak mengerti.

       "Gak Budhe, eh saya yang lucu. Tadi saya pikir, Budhe rajin banget masih gelap sudah ke pasar. Emang sudah ada pedagang, gak tahunya ramai banget," jawabnya malu. Senyum tipis menghiasi wajah tua itu.

        Budhe Lastri langsung berbelanja berbagai hal. Citra mengikuti saja dari belakang, dan membantu membawa hasil buruan mereka. Selesai urusan di pasar pagi, mereka berjalan ke pasar induk. Budhe masih berbelanja di beberapa kios, sebelum akhirnya mereka pulang naik becak.

        "Budhe sengaja ajak kamu ke pasar mau beli Gempol Pleret, e pedagangnya belum jualan. Susah pedagang kok jualannya siang, siapa yang mau beli kalau siang-siang!" Budhe Lastri ngomel menyikapi kebiasaan buruk pedagang, versi beliau.

WARISAN UNTARI (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang