Bab 8 - Bagian 2

35 9 0
                                    

       Persiapan lamaran untuk besok sudah selesai. Semua barang hantaran, sudah tertata rapi. Tinggal makanan basah yang sudah dipesan di toko kue langganan Untari, akan diantar besok pagi.

      Citra memastikan sekali lagi barang-barang itu, sebelum bergerak mandi. Mungkin dengan mandi air hangat dapat mengurangi rasa lelahnya. Selesai mandi, Citra tidak langsung keluar. Direbahkan tubuhnya di tempat tidur, hanya untuk istirahat sebentar.

       "Bun, bangun. Sudah mau Maghrib." Sebuah tepukan lembut membangunkannya.

       Suara itu, Citra mengenalinya. Sejak kehamilan masuk tujuh bulan, Danang mengubah panggilannya menjadi Bunda. Tentu saja Citra senang, sebuah panggilan penghargaan untuk seorang perempuan. Tiga tahun menikah, mereka harus sabar menunggu anugerah yang sekarang ada dalam kandungan Citra.

      Matanya mengerjap, mencoba membuang kantuk yang tersisa. Senyum laki-laki di depannya mengembang.

       "Mas, kapan datang? Maaf, aku ketiduran." Citra berusaha bangun, laki-laki didepannya bergerak membantu.

      "Pelan-pelan, Mas gak akan kabur kok," godanya tersenyum. Dikecupnya puncak kepala istrinya dengan sayang. Citra memeluk tubuh tak berisi suaminya.

      Secara fisik, Danang tidak seperti laki-laki pujaan para wanita seperti dalam cerita romantis. Tubuh kekar berotot, perut kotak-kotak, wajah tampan seperti dewa Yunani, tidak ada semua itu. Danang hanya laki-laki biasa, pekerja keras, pengertian dan sangat menyayangi Citra. Laki-laki tiga puluh empat tahun itu, sangat memahami keadaaan istrinya.

       Citra merasa beruntung memiliki suami sebaik Danang. Airmata mengalir pelan tanpa diminta, Citra menghapus dengan tangan kanannya. Menyadari istrinya menangis, Danang mengurai pelukan mereka.

       "Ada apa? Kok nangis?" Tanyanya kuatir. Tangan kukuhnya menangkup wajah cantik istrinya. Citra menggeleng, Danang kembali mencium kening istrinya.

       "Gak usah nangis. Semua sedang berkumpul dan bahagia, kalau Bunda nangis malah dikira ada apa-apa. Ada Mas disini, tenang ya?" Seolah memahami keresahan istrinya, Danang berusaha menguatkan perempuan yang sangat dicintainya itu.

      Danang benar, Citra tidak boleh membuat yang lain curiga, khususnya ibu. Citra tidak sedih, dia hanya merasa lelah. Kehadiran suaminya, membangkitkan sisi manjanya. Hanya dengan Danang, dia bisa bermanja.

       Setelah Citra tenang, mereka beranjak untuk melaksanakan sholat Maghrib berdua. Dengan khusuk keduanya menjalankan kewajiban mereka, berdoa bersama. Selesai berdoa, Citra mencium tangan suaminya, laki-laki itu pun mencium kening istrinya.

      "Terima kasih Bunda," bisik Danang lembut.

                    ***

       Acara makan malam keluarga berlangsung tenang, semua makan tanpa bersuara. Setelah selesai, para laki-laki berdiri pindah duduk di ruang Keluarga. Tomy terus menggoda Wiryawan yang tampak bahagia, Andaru dan Danang sesekali menimpali. Danang tidak terlalu dekat dengan Tomy, dia tahu mertuanya itu tidak terlalu menyukainya. Di keluarga ini hanya Untari dan Andaru yang menerimanya dengan baik. Wiryawan belakangan ini bersikap lebih baik mungkin karena merasa butuh.

       Citra bergerak membantu mbok Jum membereskan sisa makan mereka.

       "Gak usah Mbak, kamu istirahat saja. Dari pagi Mbak sudah banyak bekerja," cegah Untari. Citra tersenyum, perutnya memang terasa mules. Ditahannya rasa sakit itu, dia tidak mau mengganggu kebahagiaan rumah ini.

       Dianti menatap Citra tidak bersahabat, matanya terus mengawasi perempuan hamil itu. Citra melangkah masuk kamar, lalu duduk di pinggir ranjang dengan kaki selonjoran.

WARISAN UNTARI (COMPLETED)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora