Bab 3 - Bagian 2

64 13 0
                                    

"Oh, Wawan, dia katanya ... " Untari memegang keningnya.

"Mas Wawan ditelepon temannya yang orang Kalimantan, Mbak. Kebetulan lagi nginap di hotel Royal Surakarta. Berhubung ada pesta juga, Mas Wawan ajak Mbak Amira sama anak-anaknya," tukas Andaru cepat.

Untari mengangguk. Dia merasa terselamatkan oleh jawaban Andaru.
Walaupun dia tahu jika jawaban Andaru itu asal saja.

"Mas, kalau bohong itu yang halus gitu. Samain dong sama yang sudah ada," sindir Dianti tiba-tiba.

Andaru memberi isyarat lewat mata agar Dianti diam. Sayang, Citra melihat kedipan Andaru pada adik bungsunya. Perempuan itu merasa ada yang tidak beres selama dia tidak ada di rumah. Untari yang tiba-tiba gelagapan, Dianti sinis padanya, serta ketidakhadiran Wawan dan keluarganya saat makan malam. Semua seolah misterius. Hanya Andaru yang yang masih bersikap normal walaupun ada yang disembunyikan.

Dianti mengentakkan kaki. Mukanya masam dengan bibir ditekuk. Tak lama kemudian perempuan manja itu berlalu dengan kasar. Untari terkesiap. Dia sedikit terhuyung. Andaru dengan sigap menahan tubuh ibunya. Citra pun bersikap sama. Sedikit panik, si sulung memanggil Sumirah tapi dilarang oleh Untari.

"Jangan panggil siapa pun! Ibu enggak kenapa-napa." Citra mengangguk.

"Ya sudah, ibu mau ke kamar dulu. Mbak Citra, istirahat dulu sana, Nak! Kamu juga belum makan. Oh ya, mana Danta? Ibu juga tadi enggak melihatnya."

"Danta tadi izin ke kamar mandi dulu. Udah kebelet, katanya. Dari pagi ikut Citra keliling. Alhamdulillah, engga rewel. Ya udah, Citra ke kamar dulu ya, Bu, Dek Ndaru."

Untari dan Andaru mengiyakan. Citra berlalu menuju kamarnya. Andaru menatap kepergian Citra hingga langkah kakaknya menghilang di balik tembok ruang makan. Dia menoleh ke arah Untari.

"Bu, bisakah ki--?"

Pertanyaan Andaru menggantung di udara hingga akhirnya menguap. Untari sudah tidak ada lagi di hadapannya. Padahal baru sebentar dia menoleh ke arah lain. Kini Andaru seorang diri di ruangan itu. Embusan napas kasar terdengar dari mulutnya. Dia termenung menatap jam dinding.

"Mas, Mbak Citra sama Ibu kemana?"

Andaru melirik ke arah suara yang datang tiba-tiba dari balik pintu. Arsanti memandangnya heran.

*****

Andaru berjalan perlahan menuju kamar ibunya. Percakapan dengan Arsanti sedikit banyak memberikan banyak pencerahan untuknya. Laki-laki berkacamata ini bersyukur memiliki Arsanti dalam hidupnya. Arsanti tidak hanya cantik wajahnya, tapi dia memiliki hati yang baik juga bijaksana. Perempuan itu ibarat pagar dan alarm baginya. Selalu mengingatkan agar dia tidak melakukan hal yang buruk.

Sesampai di depan kamar Untari, Andaru sedikit ragu. Tangannya sudah terangkat dan hendak mengetuk pintu, tetapi diurungkan. Beberapa kali dia melakukan hal itu. Hingga akhirnya sebuah keyakinan kembali muncul. Dia mengetuk pintu.

"Bu, ini Ndaru. Boleh aku masuk?"

Hening. Ndaru menghela napas perlahan. Kembali tangannya mengetuk pintu. Mungkin Ibu tidak mendengar, pikirnya.

"Masuk!"

Akhirnya, terdengar suara bening milik ibunya. Perlahan, Andaru membuka pintu. Di sudut kamar, dia melihat Untari sedang duduk di kursi kesayangannya. Sebuah kursi tua dengan rangka jati yang kokoh dipadu sandaran dan dudukan dari bahan busa yang empuk. Kain satin mewah warna merah dengan motif bunga melapisi bantalan busa itu. Andaru ingat, kursi itu sudah ada sejak dia masih kecil dan selalu ibunya yang menduduki. Tidak ada orang lain yang berani.

Untari terlihat sedang membaca buku. Di depannya, beberapa tumpukan buku laporan tertata rapi. Namun, Andaru yakin jika ibunya tidak sedang benar-benar membaca. Roman wajah Untari berkata lain. Ada kecemasan tergambar nyata, tapi dia yakin, ibunya akan mampu mengatasi segala macam masalah.

"Bu ...," panggil Andaru perlahan.

Melihat Andaru masuk dan memanggilnya, perempuan paruh baya itu membuka kacamata lalu menyimpannya di tumpukan buku. Tangan Untari melambai menyuruh Andaru mendekati. Andaru mengangguk dan menghampiri. Lalu dia duduk di samping ibunya menunggu Untari berbicara.

"Mas Ndaru mau ngobrolin apa sama Ibu?"

Tatapan tajam Untari seolah menohok jantung Andaru. Anak ketiga Untari itu sedikit gentar. Dia tahu jika ibunya adalah tipe orang yang tidak suka basa basi, memiliki prinsip kuat, tegas, selalu berbicara tepat ke sasaran, bahkan sedikit keras. Berbeda dengan almarhum bapaknya, Tomi Sujiwo.

"Anu, Bu. Ndaru enggak mau ngomong apa pun. Kalau Ibu punya unek-unek bisa ngomong sama Ndaru. Ndaru siap mendengarkan."

Untari menatap lekat wajah anaknya. Andaru yang tampan dan berkacamata itu memang berbeda dengan Wiryawan dan Dianti. Memiliki sifat yang tidak dimiliki keduanya. Andaru anak yang baik dan sabar. Walaupun dokter dengan berbagai prestasi yang banyak, di rumahnya, Andaru tetaplah Andaru, anak lelaki yang tidak pernah membuatnya kecewa. Untari tersenyum. Dia luluh dengan perhatian anaknya. Diusapnya rambut Andaru.

"Mas Ndaru, apa salah kalau ibu ingin memberikan sesuatu kepada Mbakmu?"

Andaru menatapa manik cokelat milik Untari. Sedikit ragu dia menggelengkan kepalanya. Kembali ke pokok masalah tadi siang. Di ingin tahu apa alasan di balik keputusan ibunya. Andaru ingin tahu lebih lanjut dari mulut Untari sendiri, jadi dia bisa mengambil sikap ke depannya. Begitu yang disarankan Arsanti tadi.

"Mas, bicara baik-baik pada Ibu. Beliau pasti punya alasan yang tepat kenapa rumah batik dipercayakan pada Mbak Citra. Yang aku tahu, Ibu selalu tepat dalam berpikir dan bertindak. Mbak Citra mungkin memiliki sesuatu yang tidak kalian kuasai."

"Baik, Dek. Mas akan coba tanya Ibu. Pasti ada sesuatu di balik semua itu. Tolong jaga anak-anak ya! Jangan ada yang ke kamar Ibu. Kamu lihat juga Dianti. Jangan sampai dia melakukan hal yang sama kayak Mas Wawan."

Kini, dengan sebuah alasan, dia ada di kamar Untari.

"Mas, kamu ingat tidak waktu kalian masih kecil? Bagaimana kalian memandang rumah batik di sana? Kalian bertiga tidak tertarik masuk ke sana. Mbak Citra justru berbeda. Dia seperti terhipnotis dan betah berada di dekat tumpukan kain-kain batik. Suatu saat dia pernah bilang, batik adalah jiwa dan hidup Citra. Itu yang membuat Ibu sangat senang. Cinta yang tulus pada apa yang disukai atau yang sedang dikerjakan adalah poin yang paling tinggi."

Mata Untari menerawang. Hamparan memori masa lalu kembali terbentang. Lautan cinta sudah dia berikan dengan adil untuk keempat anaknya. Hanya saja perjalanan waktu dan takdir yang menentukan arah hidup putra-putrinya.

- Bersambung-

WARISAN UNTARI (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang