Bab 2 - Bagian 2

70 15 0
                                    


     Lepas tengah hari Wiryawan baru bangun. Badannya sungguh sangat lelah, efek berkendara semalaman dengan emosi yang tidak stabil. Untung tidak terjadi apa-apa.

       Setelah mencuci muka, Wiryawan keluar. Seperti biasa rumah besar itu selalu sepi. Hanya ada Ibu dan Bapak dengan kesibukannya masing-masing, dan mbok Jum yang lebih suka di belakang.

       Waktu makan siang sudah lewat, Ibu pasti sudah kembali bekerja. Kesempatan makan siang bersama perempuan hebat yang sangat dicintainya itu hilang. Juga kesempatan untuk bicara tentang maksud kepulangannya.

      "Wis tangi, Le?" Sapaan berat Tomy Sujiwo menghentikan langkahnya. Umurnya sudah 26 tahun, Bapak masih juga menganggapnya anak kecil.

     "Inggih, Pak," jawabnya sopan. Wiryawan mendekati ayahnya, mencium punggung tangannya sopan.

      "Arep ning endi? Ngoleki Ibumu?" Wiryawan mengangguk.

     "Lungguh kene bae, Ibu lagi tindakan karo ajudan e," ajak Bapak dengan nada tidak enak. Wiryawan mencium aroma emosi, mungkin juga cemburu.

      Ajudan yang dimaksud Bapak adalah pak Harso, asisten pribadi Ibu. Wiryawan mengenal pak Harso dari kecil, laki-laki itu selalu ada untuk Ibu.  Semua anak-anak tahu, Bapak sering cemburu dengan laki-laki bertubuh kurus itu. Namun, Ibu tidak pernah peduli. Untuk yang satu itu, Ibu tidak mau mendengar keberatan Bapak.

      Kenyataannya, Pak Harso lebih tahu tentang seluk beluk pekerjaan ibunya. Salah sendiri, Bapak tidak mau terjun langsung membantu. Namanya juga Bapak..

      "Ada urusan apa kok pulang sendiri?"

      "Juna kan masih kecil, gak mungkin Awan bawa pulang," jawabnya beralasan. Tomi Sujiwo tertawa mengejek. Tidak percaya dengan basa basi anaknya.

      "Melihat wajahmu, Bapak gak percaya. Amira minta apalagi?" tebaknya tepat sasaran.

Wiryawan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Di rumah ini, hanya bapaknya yang bisa memahami istrinya dengan baik. Bahkan dia sendiri, sering gagal paham.

      Wiryawan terlihat ragu. Bapak sama sekali tidak berkompeten mengatasi masalahnya. Dia butuh Untari. Ibunya adalah jalan keluar, tetapi dia tidak yakin ibunya mau membantu. Itu artinya, Wiryawan butuh bapaknya untuk melancarkan rencana istrinya. Bukankah Ibu tidak pernah bisa menolak permintaan Bapak?

       Setelah menimbang cukup lama, akhirnya Wiryawan menceritakan maksudnya. Tomi manggut-manggut, lalu dengan percaya diri akan membantu menyampaikan hal itu kepada Untari.

       Senyum Wiryawan merekah. Satu langkah sudah diambil, tinggal menunggu langkah selanjutnya.

                       ***

        Hari sudah hampir petang ketika Untari pulang, dengan banyak bingkisan di tangan. Pak Harso mengikuti dari belakang, dengan tentengan yang sama. Setelah meletakkan di ruang keluarga, laki-laki itu mohon diri. Dia sudah berjanji untuk mengantar istrinya ke rumah mertuanya. Baru berbalik, Untari kembali memanggil. Mereka berbicara sebentar, Pak Harso  mengangguk paham.

       "Belum cukup seharian berduaan?" Pertanyaan sinis Tomi menyambutnya ketika masuk kamar.

       Untari hanya tersenyum. Sudah terbiasa dengan sikap sinis suaminya. Sejak pensiun dini dua tahun lalu, sikap Tomi makin tidak bersahabat. Apa pun yang dilakukan Untari, selalu salah. Untari tidak pernah memikirkan hal itu, 28 tahun berumah tangga, dia tahu bagaimana melayani suaminya yang sering bersikap kekanak-kanakkan.

WARISAN UNTARI (COMPLETED)Where stories live. Discover now