Bab 10

41 9 0
                                    

Suasana makan pagi hari ini terasa lebih bersahabat. Wajah-wajah cerah duduk mengelilingi meja makan besar, di ruang makan mereka yang luas. Meja kuno yang terbuat dari kayu jati itu, sudah ada sejak Untari masuk ke rumah itu, untuk menjadi istri Arga.

Di sebelah kiri, ada Andaru, Satria, Arsanti, Dianti dan anaknya. Arsanti mengambil posisi paling dekat dengan mertuanya, berhadapan dengan Citra. Di sebelah kanan ada Citra, Danta, satu meja kosong, lalu Juna dan Vania.  Wiryawan dan Amira duduk di ujung, berhadapan dengan Untari.

Menu makanan yang tersaji untuk makan pagi kali ini agak berbeda, nasi liwet lengkap, khas masakan Solo. Citra sengaja bangun pagi dan menyiapkan semuanya sendiri. Mbok Jum dan Sumirah, hanya mengikuti instruksinya saja.

"Ini lengkap banget, Mbak Citra menyiapkan sendiri?" Citra hanya tersenyum, tidak menjawab pertanyaan Arsanti.

"Kenapa Mbak Citra tidak bilang, kalau tahu aku bisa bantu," lanjut Arsanti tidak enak hati.

"Gak apa-apa, Dik, tadi dibantu Mbok Jum dan Sumirah kok. Lagian gak banyak masaknya. Mbak Ingat, dulu Ibu selalu menyiapkan makanan buat kami, sendiri. Ibu selalu bangun lebih dulu, supaya kami bisa sarapan pagi sebelum berangkat sekolah. Iya kan Dik?" Wiryawan, dan Dianti saling berpandangan, tidak paham maksud Citra mengungkit masa kecil mereka.

"Benar, Mbak. Semua sudah siap setiap kita bangun. Ibu juga sudah menyiapkan baju kita, dan sudah cantik kalau menyuruh kita mandi," Andaru tertawa mengingatnya. Citra tetap tersenyum, setidaknya ada Andaru yang setuju dengan dirinya.

       "Ternyata Papa belajar dari Ibu ya, pantas!" Arsanti kembali bersuara sambil memandang Andaru

      "Belajar apa, Sayang?" tanya Untari penasaran.

Arsanti tersipu malu. Semua mata menatap Arsanti, menunggu jawaban perempuan cantik itu.

      "Mas Ndaru selalu menyiapkan baju kami setiap pagi. Atau, ketika kami mau pergi."

Jawaban tidak terduga Arsanti membuat muka Andaru memerah. Tindakan kecilnya ternyata meninggalkan kesan manis bagi istrinya. Dia pikir Arsanti tidak suka dia melakukan itu, perempuan sederhana itu tidak pernah protes.

       Untari tertawa keras. Tawa pertama sejak tiga hari yang lalu. Airmata keluar membasahi pipi keriputnya. Citra bersyukur dalam hati, Ibu sudah bisa tertawa lagi. Sudah dua hari ini rumah terasa suram, hanya suara anak-anak yang tetap ceria.

       "Gak nyangka, Masku so sweet banget," bisik Dianti yang duduk di sebelahnya.

Andaru merasakan ada nada tidak enak dari suara Si bungsu. Suami Dianti terlalu sibuk untuk suami siaga sepertinya. Amira mendengkus kesal, bahasan pagi ini sangat menyebalkan.

      Tiba-tiba wajah Wiryawan meringis, ketika Amira menginjak kakinya. Laki-laki itu tidak berani berkutik. Meski kakinya sakit, tetapi yang lebih berbahaya dari itu adalah dampak cerita Arsanti buat hidup keluarganya. Amira mempunyai satu alasan untuk menuntut lebih darinya. Alarm bahaya kembali berbunyi.

       "Sudah kita mulai makan saja. Terima kasih, Mbak, sudah masak buat kita. Mas Wawan sebagai laki-laki tertua di rumah, tolong pimpin doa!" Ucapan Untari mengembalikan suasana makan pagi ini.

       Tanpa protes, Wiryawan melaksanakan tugas yang Untari berikan. Memimpin doa dengan khusyuk, mengabaikan rasa sakit pada kakinya. Setelah doa selesai, suara riuh mulai terdengar. Setiap Ibu sibuk menyiapkan makanan untuk anak-anak nya. Untari tersenyum, setidaknya hari ini semua bisa kumpul, dia sudah sangat bahagia. Citra dan Arsanti membantu Untari mengambil makanan. Seolah ada ikatan, keduanya bergantian melaksanakan fungsi sebagai anak.

WARISAN UNTARI (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang