Epilog

96 10 3
                                    

      
        Sejatine urip iku mung mampir ngombe. Sebentar, tidak akan lama. Kecuali minumnya di kafe sambil nongkrong. Seperti waktu yang Tuhan berikan kepada kita manusia. Ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa. Ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri. Ada waktu untuk menabur, ada waktu untuk menuai. Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk mati. Semua itu akan terjadi di dalam hidup, dan menjadi sebuah anugerah jika kita bisa menjalaninya dengan bijak.

        Perjalanan waktu kita, tidak ada yang tahu kapan berakhir. Mungkin hari ini, esok, lusa, atau bertahun-tahun yang akan datang. Seharusnya kita bisa hidup dengan melihat, mendengar, berucap dengan baik seperti Tuhan menjadikan kita pada mulanya.

        Aja ketungkul marang kalungguhan, kadonyan lan kamareman. Keinginan daging berupa kekuasaan, kekayaan, dan kesenangan duniawi, janganlah kita kejar. Apalagi dengan menghalalkan segala cara, karena akhirnya kesengsaraan yang akan di dapat. Meski mungkin sejenak kita sempat menikmatinya. Pada akhirnya, saat dipanggil kembali oleh yang Kuasa hanya dengan selembar kain kafan.

        Tidak ada yang abadi, demikian juga dengan perkawinan. Pada akhirnya salah satu yang pergi meninggalkan atau ditinggalkan. Peristiwa yang terjadi membuat Wiryawan sadar kesalahaannya, bahwa mencintai seseorang tetap harus memakai logika dan kacamata hati nurani. Tidak membabi buta, mempertahankan cinta yang tidak berbalas dengan semestinya. Untuk apa menginginkan cinta, yang dia tidak inginkan? Amira tidak pernah mencintainya.

        Perempuan itu hanya menginginkan kemewahan yang dia tawarkan sejak pertama mereka bertemu. Perempuan itu bahkan tidak pernah menghargainya sebagai laki-laki.
Dengan banyak pertimbangan, akhirnya Wiryawan menceraikan Amira. Tidak ada drama layaknya sinetron Indonesia, Amira dengan santai menyetujui gugatan itu. Tidak ada penyesalan, seperti yang Wiryawan harapkan. Laki-laki bodoh itu masih berpikir akan memberi kesempatan kedua, jika Amira mau berubah.

       Dengan angkuh, Amira mendatangi sidang pengadilan didampingi pengacara hebat yang disediakan laki-laki selingkuhannya. Persidangan berjalan lancar, dan cepat. Gugatan Wiryawan dikabulkan, hak asuh anak ada ditangan Wiryawan.  

       “Sekarang anak-anak boleh saja menjadi milikmu. Tapi suatu saat nanti, mereka akan kembali padaku!” kata Amira mendatanginya ketika persidangan telah berakhir. Tatapan matanya mengintimidasi, sangat percaya diri.

        “Sesuai keputusan sidang, aku mempunyai hak untuk menemui mereka. Jangan berusaha menghalangiku bertemu anak-anak. Aku yang mengandung dan melahirkan mereka!” tandasnya sebelum pergi meninggalkan Wiryawan sendirian.

        Amira berbalik, berjalan anggun menuju laki-laki berjas yang menunggunya dengan sabar.  Laki-laki itu menyambut tangan mantan istrinya, mereka tertawa dan bergandengan tangan dengan mesra. Wiryawan hanya bisa tersenyum getir.  

       Percayalah, setiap drama ada ujungnya. Seperti pagi berganti siang, siang pun akan berganti malam. Begitu juga dengan hidup manusia. Tidak lama setelah perceraian mereka, Wiryawan mendapat berita Amira yang katanya menjadi istri siri pengusaha itu, ditinggalkan dalam keadaan hamil. 

       “Bukannya mensyukuri kesialan Amira, tetapi setiap orang akan memetik hasil perbuatannya. Kamu ingatkan pelajaran waktu sekolah dasar, ada istilah ngundhuh wohing pekerti?” ujar Nala ketika Wiryawan bercerita. Mereka sedang ngobrol berdua di depan.

      “Kalau dipikir-pikir, ajaran zaman kita kecil itu benar ya Mas. Paribasan paribasan Jawa itu bisa dijadikan pegangan hidup. Becik ketitik ala ketara.”

      “Yang baik kelihatan yang buruk juga akan ketahuan,” Nala menerjemahkan artinya tanpa diminta.

     “Ojo dumeh!”

WARISAN UNTARI (COMPLETED)Where stories live. Discover now