Bab 2 - Bagian 1

85 20 1
                                    

Kali ini, Bab 2 ditulis sama patner, Mbak Kingkin. Ceritanya mundur dulu ke beberapa tahun yang lalu.
Siapa dan bagaimana Wiryawan dulu.
Makin penasaran kan?

Yuuk, ikutin terus kisah "Warisan Untari" selanjutnya

****
Juni 2010

Wiryawan menghentikan mobilnya di pinggir jalan, tidak jauh dari rumah orangtuanya. Jalanan kota Solo cukup ramai, meski pagi baru saja mengeliat. Matahari belum menampakkan sinarnya. Diliriknya Alexander Christy di pergelangan tangan, pukul 05.15. Masih terlalu pagi untuk mengetuk pintu rumah besar, yang hanya berjarak sekitar 200 m dari tempatnya berhenti sekarang. Sebenarnya Wiryawan yakin, Ibunya pasti sudah bangun.
Perempuan hebat yang sudah mengukir hidupnya itu biasa bangun sebelum Subuh, untuk melaksanakan kewajibannya sebagai hamba Allah, dan sebagai istri.

Ibu selalu menyiapkan keperluan Bapak, sebelum memulai aktivitasnya di kantor rumah batiknya. Dulu, ketika mereka masih berkumpul Ibu juga menyiapkan semua yang mereka butuhkan. Semuanya Ibu yang melakukan, memenuhi kebutuhan sekolah, kesukaan pribadi, termasuk kebutuhan rohaninya. Wiryawan bahkan tidak ingat apa yang sudah Bapak lakukan untuknya, dan adik-adiknya. Selain hanya menuntut Ibu yang melakukan semua tugas itu.

Apakah Ibu akan menuruti kemauanku kali ini? Masih pantaskah aku meminta? Wiryawan mendesah.

Ibu sudah memberikan semua yang dibutuhkannya sebagai anak. Menyekolahkannya sampai meraih gelar sarjana, bahkan men-suport ketika dia melanjutkan jenjang S2. Menyediakan rumah, lengkap dengan isinya, termasuk mobil, setelah dia menikah dengan Amira. Istri manjanya yang selalu meminta lebih dari yang bisa diberikannya.

Karena permintaan Amira, rongrongan bukan hanya sekedar permintaan, akhirnya tadi malam Wiryawan nekat berangkat dari Malang untuk menemui Ibunya.
Permintaan terus menerus yang membuatnya jenuh, dan menyerah. Wiryawan menghela napas panjang, lalu mengempaskannya kasar. Kepalanya dipukul-pukulkan pada sandaran kursi pengemudi,  dipejamkan matanya. Mencoba mengusir kekuatiran, keraguan, dan ketakutan penolakan ibunya.

Kalau Ibu menolak bagaimana?

Wiryawan sadar, permintaannya selama ini tidak pernah sederhana, apalagi yang ini.

"Argh!" Wiryawan berteriak frustasi.

Diraup muka tampannya kasar, tangannya ditangkupkan di atas kemudi. Kepala kembali diketuk-ketuk pada bundaran besi itu. Sesaat laki-laki dua puluh enam tahun itu hanya diam, dengan kepala nempel pada alat pengendali mobilnya. Perlahan Wiryawan bangun. Kembali meraup wajahnya, diam sesaat, lalu menyugar kasar rambut ikalnya. Direntangkan tangannya, mengurai lelah tubuhnya akibat berkendara delapan jam lebih. Seorang diri, Wiryawa menempuh perjalanan hanya ditemani asap rokok yang terus mengepul. Jendela mobil tidak sempet ditutup, agar dia bisa merokok dengan puas.

Langit kota Solo makin terang, matahari muncul malu-malu dari sebelah Timur, meninggalkan jejak jingga di balik bangunan tua yang berjejer di sepanjang jalan. Kampung tempat dia tumbuh dan dibesarkan, kampung yang memberinya kehidupan menyenangkan penuh warna.

Wiryawan merapikan diri, sebelum menjalankan mobil Avansa pemberian ibunya tahun lalu.
Tidak lama, mobil hitam itu memasuki halaman rumah besar berarsitektur Belanda. Rumah masa kecilnya. Di sebelah rumah berdiri megah “Rumah Batik Kencana”, butik sekaligus tempat produksi batik yang dikerjakan puluhan, bahkan mungkin ratusan perempuan. Wiryawan tidak pernah peduli berapa jumlah pekerja ibunya, dia hanya butuh uang hasil batik itu. Seperti kedatangannya saat ini.

Seorang perempuan paruh baya, mengenakan dress bermotif batik selutut, rambutnya digelung rapi. Untari terlihat anggun, dan berwibawa. Tangan kirinya menggendong tumpukan buku besar, tangan kanan yang bebas memegang daun pintu kayu besar itu. Jantung Wiryawan berdebar kencang, menyadari betapa hebatnya perempuan yang masih cantik itu. Belum lagi pukul 6, tetapi ibunya sudah rapi dan siap bekerja.

Menyadari kehadiran putranya, senyum Untari merekah. Dengan langkah anggun, perempuan cantik itu menyambut. Buku-buku besar itu diletakkan di meja teras. Melihat ibunya menghampiri mobilnya, Wiryawan segera keluar.

“Lho Mas, esuk-esuk kok wis tekan Solo. Tugas kantorkah?” tanya Untari antusias. Wiryawan tersenyum, mencium punggung tangan ibunya taksim. Sang Ibu menepuk pundak putra pertamanya dengan sayang. Wiryawan kembali menegakkan tubuhnya, Untari tersenyum bahagia. Diciumnya pipi putranya.

“Aduh, Mas, bau rokoknya bikin Ibu pusing. Pasti kamu merokok sepanjang perjalanan. Istri dan anakmu tidak ikut?”

Perempuan itu menengok jendela mobil yang terbuka, berharap Wiryawan membawa cucunya ikut serta.

“Awan sendiri Bu, Juna masih terlalu kecil untuk perjalanan jauh,” jawab Wiryawan beralasan.

Untari kembali tersenyum, menutupi kekecewaannya. Bukan kedatangan Amira yang diharapkan Untari, tetapi Juna, cucu keduanya yang baru berumur enam bulan. Mustahil 'kan, anak sekecil itu datang tanpa ibunya?

“Yo wis, kamu mandi dulu terus istirahat. Wajah gantengmu dadi kucel gitu, gak enak dilihat. Ibu tak siap-siap dhisik,” kata Untari mendorong tubuh besar sang putra.
Wiryawan tertawa, untuk menutupi kegelisahannya. Mereka berjalan perlahan menuju teras.

“Ini masih pagi sekali, dan ini hari Sabtu. Ibu sudah mau kerja?” Untari tersenyum.

Sejak kapan anaknya yang egois ini memperhatikan kapan dia bekerja. Selama ini, Wiryawan hanya tahu meminta dan meminta. Tidak sekali pun anak laki-laki di depannya ini, melangkahkan kakinya masuk ke dalam bangunan di sebelah, kalau tidak sedang meminta sesuatu. Untari adalah ATM berjalan bagi Wiryawan dan adik-adiknya. 

“Jam delapan nanti, ada rombongan anak Jakarta yang mau belajar membatik. Ibu mau memastikan semua sudah siap. Anak-anak juga sudah pada datang mempersiapkan diri. Gak boleh mengecewakan pengunjung to, apalagi mereka bayar,” sahut Untari menohok hati Wiryawan.

Tamu yang ditunggu Ibu, akan membawa pundi-pundi uang, Aku harus melakukan sesuatu agar Ibu menuruti permintaanku, pikirnya cepat.

“Awan bisa bantu apa?” tanyanya sok antusias.

Untari menggeleng dengan senyum tipis. Kepedulian Wiryawan membuat perempuan itu makin curiga, putranya pulang membawa berita besar untuk dirinya.

“Kok Ibu malah senyum?” Dahi Wiryawan berkerut, tidak suka melihat reaksi ibunya.

“Wis sana, masuk! Mandi dan istirahat. Kita ketemu nanti jam makan siang! Kamu sarapan sendiri ya, Ibu sudah masak. Semua sudah siap di meja makan,” putus Untari tegas.

Betulkan, Ibunya hebat?
Wiryawan mengangguk pasrah.

“Bapak?” Pertanyaan itu menggantung di udara.

Untari hanya tersenyum, lalu meninggalkan putranya termangu.
Wiryawan tahu arti senyum ibunya. Laki-laki yang dipanggilnya Bapak itu, pasti masih tidur. Bergelung dengan mimpi, dan ego laki-lakinya yang tidak jelas. Sebagai laki-laki dewasa, dia tahu ketidakmampuan ayahnya menjadi laki-laki yang pantas disebut suami. Apalagi sebagai Bapak, ayahnya bukan contoh yang baik.

Aku tidak mau menjadi seperti Bapak, aku mau menjadi suami dan ayah yang benar, desisnya.

Sebelum masuk ke dalam rumah, Wiryawan masih sempat memperhatikan ibunya yang sedang ngobrol serius dengan salah satu karyawannya yang baru datang. Buku yang dibawa ibunya sudah berpindah tangan. Senyum tidak pernah hilang dari wajah  perempuan yang melahirkannya, selama berbicara dengan gadis muda itu. Lawan bicara ibu, terus mengangguk sopan. Gadis itu pergi mendahului atasannya. Untari tidak jadi masuk ke kantor, tetapi berbalik ke bangunan lain yang menjadi showroom dan balai kerja.
Ibunya terlihat selalu bersemangat, Wiryawan selalu bangga dengan Ibunya yang selalu hebat di matanya.

-Bersambung-

WARISAN UNTARI (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang