Bab 15 - Bagian 1

39 12 1
                                    

      

       Banyak anak tidak mengerti, arti mereka bagi seorang Ibu. Perempuan yang mengukir mereka dari dalam kandungan, merawat dan membesarkannya dengan penuh cinta. Memberikan waktu seutuhnya untuk hidup mereka, bahkan tidak jarang melupakan hidupnya sendiri.

       Bagi seorang Ibu, anak tetaplah anak. Mereka akan selalu sama, dari bayi, sampai dewasa. Ibu akan selalu berkorban untuk putra putrinya, apa pun caranya, sampai batas usia yang Tuhan berikan padanya. Sebaliknya sang anak, akan kehilangan cinta atas ibunya ketika seseorang hadir dalam hidup mereka. Seseorang yang mengubah dunianya.

       Adilkah? Tidak akan pernah ada keadilan, jika kita memandangnya dari sudut manusia yang tidak pernah puas.

      Untari tidak berhenti meratapi kesalahannya. Kalau saja, dia cukup puas dengan hidupnya. Menjadi janda Arga, mengelola usaha yang ditinggalkan laki-laki yang dicintainya hanya dengan Citra saja, semua tidak akan terjadi.

       Tidak akan ada sengketa antara Citra dengan adik-adiknya. Tidak akan ada hubungan tidak sehatnya dengan Tomy, yang melahirkannya banyak rahasia yang harus disimpannya. Pengkhianatan janjinya kepada Arga, yang berbuah kepergian Citra.

       Bukan Untari tidak mencintai anak-anak kandungnya, mereka tetap harta terindah yang Tuhan berikan untuknya. Namun apa yang terjadi saat ini, membuatnya merasa gagal menjadi seorang Ibu. Merasa salah mendidik Wiryawan dengan baik.

      "Ibu, makan dulu," Suara Arsanti bersamaan dengan ketukan pintu membuyarkan lamunan Untari.

       Perempuan enam puluh lima tahun itu menghela napas. Mencoba mengusir gumpalan emosi yang memenuhi rongga dadanya. Untari masih diam, tidak merespon panggilan menantunya.

       "Ibu, Santi boleh masuk?" Sekali lagi Arsanti meminta perhatiaan mertuanya.

      "Masuk, Mbak!" jawab Untari lirih. Arsanti menghela napas lega.

       Sejak tadi pagi, mertuanya tidak mau makan. Semua usaha yang dilakukan dan Dianti, tidak membuahkan hasil. Untari hanya diam di dalam kamar Citra, makanan yang dibawanya utuh di atas meja.

        Benar dugaan Arsanti, makanan tadi siang sama sekali tidak tersentuh. Perempuan cantik itu, melangkah mendekati Untari dengan nampan makanan. Untari mengikuti langkah kaki menantunya. Sebuah senyuman dipaksanya terbit menghiasi bibirnya, untuk menyambut Arsanti.

        "Ibu makan dulu ya? Biar tidak sakit," rayu Arsanti begitu tiba di depan Mertuanya.

       "Ibu tidak lapar," sahutnya lirih.

       "Bu, ini sudah malam. Ibu belum makan dari kemarin malam. Nanti Ibu sakit." Arsanti terus mendesak dengan lembut.

       Untari tersenyum. Dipandangi wajah cantik menantu keduanya. Diam-diam Untari bersyukur, Andaru mendapatkan istri sebaik Arsanti. Lembut, cantik, dan baik.

       Arsanti sangat berbeda dengan Amira. Seperti Bumi dan Langit. Untari tidak ingin membandingkan, tetapi nyatanya mereka sangat berbeda. Arsanti tidak pernah bersikap kasar kepada Andaru, atau Satria, apalagi di depannya. Amira...ah, sudahlah! Itu pilihan Wiryawan.

        "Anak-anak sudah makan?" Untari mengalihkan pikirannya dengan bertanya kondisi di luar sana.

       "Sudah Bu, mereka sedang bermain di luar. Ibu makan ya," Untari menggeleng. Matanya menerawang jauh, menghindari tatapan menantunya. Arsanti meletakkan piring yang dibawanya, di atas meja. Bergabung dengan makan siang yang disiapkannya tadi, belum disentuh sama sekali.

WARISAN UNTARI (COMPLETED)Where stories live. Discover now