Bab 16

52 10 2
                                    

Amira terseok-seok mengikuti langkah panjang Wiryawan. Kaki jenjangnya terseret paksa. Dia mengentakkan tangannya yang sedari tadi dalam  cengkraman sang suami.

"Pa, berhenti!! Sakit tanganku!"

Wiryawan menghentikan langkah lalu melepaskan cengkeraman. Dia baru sadar saat melihat pergelangan tangan Amira memerah. Perempuan itu meringis.

"Kacau ... kacau semua! Omong kosong apa ini? Sialan. Citra biang kerok semuanya. Aku harus berbuat sesuatu!" tandasnya dengan mengepalkan tangan.

"Dengar ya, Pa! Kamu harus cari cara agar Citra tidak bisa mendapatkan semuanya! Kalau tidak ... kita cerai!" ancam Amira sambil berlalu meninggalkan Wiryawan.

Laki-laki itu terperangah. Amira rupanya tidak main-main dengan urusan warisan ibunya. Laki-laki itu sadar jika kini tengah berada di pusaran air keserakahan dirinya dan juga Amira. Hatinya sangat panas dan bergejolak. Satu sisi dia belum ikhlas dengan kenyataan yang ada. Namun, sisi lain dia harus mempertahankan rumah tangganya dengan Amira. Perkataan yang ditiupkan ayahnya sedari kecil sudah membalut sebuah kebohongan menjadi keyakinan yang mendarah daging.

Wiryawan berlari mengejar Amira. Perempuan itu masuk ke kamar mereka. Terdengar berbagai umpatan kasar diselingi suara benda-benda dibanting. Wiryawan tak kalah sengit. Adu mulut pun kembali terjadi. Juna dan Vania yang melihat kedua orang tuanya memasuki kamar dengan marah lalu terjadi keributan, saling berpandangan. Mereka pun sepakat menuju kamar. Pandangan kedua anak itu terpana. Orang tua mereka bertengkar keras sambil melempar benda-benda hingga pecah dan berserakan.

"Mama, Papa ..."

Amira dan Wiryawan menoleh ke arah pintu. Amira kemudian menarik Juna dan Vania secara kasar. "Kita pulang sekarang ke Malang! Tidak ada lagi yang harus dikerjakan lagi di sini!"

Anak-anak ketakutan dan hampir menangis saat Amira dengan suara keras menyuruh mereka memasukkan semua mainan dan baju-baju ke dalam koper. Wiryawan pun tak kalah kalap. Dia memukul dan menendang lemari pakaian hingga pintunya terbuka.

"Ma, nanti dulu! Jangan keluar dari rumah.  Kita pikir jalan keluarnya. Papa sud--"

"Cukup, kamu tidak mampu lagi memenuhi janji! Persetan dengan Ibumu dan Citra!"

"Ma, dengarkan Papa!"

Wiryawan berteriak sambil menarik tangan Amira. Diraihnya rahang Amira hingga perempuan itu menghadap wajahnya. Amira meringis.

"Dengar! Papa punya rencana kedua. Kali ini serius. Yang pasti, warisan Ibu tidak akan pernah jatuh ke tangan Citra. Jadi, tolong kamu bersabar."

Amira mendengus. Ditepisnya tangan Wiryawan dengan kasar lalu tersenyum sinis. Dia tidak peduli. Ditariknya tangan Juna dan Vania lalu menyuruhnya agar mereka keluar dari kamar. Amira kemudian mendorong koper.

Wiryawan  melihat ketiganya hendak berjalan keluar, buru-buru menarik anak-anaknya. Dia panik. Amira menatap tajam suaminya dengan sorot angkuh dan melecehkan. Tak lama kemudian, Juna dan Vania berteriak kesakitan. Bagaimana tidak? Wiryawan dan Amira saling tarik menarik tangan-tangan mereka.

"Lepaskan, Ma! Anak-anak kesakitan!" pinta Wiryawan.

"Kamu yang harus melepaskan mereka. Aku mau membawa mereka pulang ke Malang. Untuk apalagi mereka di sini? Eyangnya tidak sayang, papanya seperti pecundang!"

Amira menarik paksa Juna dan Vania dari tangan Wiryawan. Lelaki itu melepaskan pegangannya demi melihat anak-anak yang ketakutan.

"Ma, aku udah ada jalan keluar. Nanti kamu tahu sendiri. Namun, untuk saat ini, biar aku yang bergerak dulu. Malam ini kita di sini dulu. Besok baru kita pulang ke Malang sambil mematangkan rencana kita. Kamu engga lihat anak-anak? Udah malam juga, mau kemana kita?"

WARISAN UNTARI (COMPLETED)Where stories live. Discover now