Bab 5 - Bagian 1

52 10 1
                                    

20 Desember 2019
Pukul 18. 05
Setelah kejadian itu ...

Laki-laki itu menatap tajam jalanan di depannya. Kondisi awal malam mulai merangkak menuju kegelapan yang sempurna membuatnya harus awas mengamati suasana kota. Tangan kokoh memegang kemudi dengan kasar. Wajah tampannya terlihat menegang menahan amarah yang membuncah. Pikiran laki-laki itu tidak tenang. Dia belum menerima apa yang tadi Untari katakan di rumah Laweyan.

Apa maksud Ibu? Kenapa harus Citra?

Berbagai pertanyaan berkelebat dalam pikirannya. Apalagi perempuan di sampingnya mengatakan sesuatu yang membakar hatinya semakin panas.

"Pa, gimana sih? Kok Ibu sampai berpikir seperti itu? Tak layak lho, kamu diperlakukan serendah itu. Kamu anak pertama. Anak kandung! Kamu yang harus jadi pewaris. Citra itu siapa? Hanya anak tiri yang tidak memiliki kemampuan apa pun!"

Amira, perempuan cantik itu menekan suaminya, Wiryawan. Jelas sekali dari nada bicaranya dia sangat kecewa. Selama ini dia sudah menabung rencana agar bisa menguasai usaha milik mertuanya. Sejumlah tujuan akhir, tengah dipersiapkan. Sayang, segalanya luruh seiring keputusan Untari tadi sore.

"Kamu harus bisa mengubah keputusan Ibu. Dianti dan Andaru ... gampang!" Amira menjentikkan jemarinya. "Mereka mudah kita singkirkan. Selama ini mereka manut aja dengan apa yang kita mau," tandas Amira kembali. Ada senyuman licik tercipta di sudut bibirnya

Hening.

Wiryawan tidak menjawab. Gejolak dalam dadanya sedang mendidih. Ibarat magma dalam bumi yang panas dan sewaktu-waktu meledak mengalir menjadi lava amarah. Tiba-tiba, tangan Wiryawan memukul kemudi dengan keras. Hentakan itu membuat Amira dan dua bocah yang ikut dalam mobil terkejut sekali. Juna dan Vania hampir saja menangis. Keduanya duduk sambil berpelukan di kursi belakang. Mata mereka berkaca-kaca.

"Papa ... ki-kita mau kemana?"

Juna. Suatu keberanian keluar dari mulut seorang anak yang bingung. Satu sisi dia dan adiknya tengah berbahagia bertemu dengan sepupu dan eyangnya, sisi lain sang ayah malahan mengajaknya pergi dari rumah itu.

"Diam! Ikuti saja apa yang Papa suruh!"

Bentakan Wiryawan membungkam rasa penasaran yang ada di dada. Juna mengeratkan pelukan pada Vania. Amira mendengus lalu melirik anak-anaknya. Bukannya memberikan sentuhan kasih sayang dan menentramkan jiwa mereka, yang ada malahan ikut memarahi Juna dan Vania.

"Kalian berdua enggak usah tanya-tanya lagi. Mau Mama turunkan di tepi jalan?" ancamnya dengan sedikit bentakan dan pelototan. Juna dan Vania mengangguk ketakutan.

"Kak, padahal tadi kita nungguin Mas Danta pulang. Dia kan janji mau ngasih mainan sama aku," bisik Vania lirih ke telinga Juna.

"Iya, Dek! Kita juga lagi main sama Satria dan Alika. Senang ya. Udah lama engga ketemu. Papa sih, tiba-tiba ngajak kita pergi," jawab Juna tak kalah pelan.

"Apa yang kalian omongkan? Enggak usah main sama si Danta itu. Dia bukan siapa-siapa kalian. Ingat itu ya! Danta bukan kakak kalian!" bentak Amira dengan sengit.

Perempuan itu sewot. Dia mendengar bisikan kedua anaknya. Ada yang tidak rela dalam hatinya saat Danta, anak Citra, disebut-sebut. Hatinya dibakar cemburu dan juga amarah. Diam-diam, Amira menyimpan dendam kepada Citra. Baginya perempuan itu penghalang yang berat untuk mendapatkan semua harta Untari.

Wiryawan menepikan mobil sesaat. Tangannya mengusap mata yang terasa perih. Ocehan Amira yang terus menerus membuat hatinya semakin meradang.

"Diam, Ma! Papa enggak konsen nih. Jangan bikin hati Papa makin panas nih."

"Papa seharusnya mikir dong! Kita keluar dari rumah Ibu tanpa jelas mau kemana. Lagipula, tadi ngapain juga nelepon Mbak Citra, bilang mau pulang ke Malang. Makin berjaya dia. Pasti hatinya senang, keputusan Ibu meringankan perempuan itu menguasai rumah batik."

"Iya, Papa tadi kalut. Aku pikir dia akan membujukku atau setidaknya bilang ke Ibu apalah. Ternyata, sampai kita keluar jauh dari rumah Laweyan enggak ada yang telepon atau mencari kita."

"Bodoh itu namanya!"

"Jangan bilang begitu padaku!"

"Bodoh ya, bodoh. Hal kecil saja tidak bisa dikuasai. Aku tidak sudi jika kamu tidak bisa menguasai rumah batik. Titik!"

Wiryawan mendelik saat Amira mengatakan hal itu. Wiryawan merasa kalah. Amira selalu menekannya hingga dia kehilangan kata-kata. Dia ingin membalas perkataan istrinya, tetapi teringat akan dua anak yang ada di belakang. Walaupun dia kesal pada Amira, Wiryawan tidak ingin Juna dan Vania ketakutan dengan pertengkaran orang tuanya.

"Sudahlah! Kita akan menginap di hotel malam ini."

Amira membuang pandangan ke arah jendela di sampingnya. Rona wajah yang penuh keserakahan. Rasanya tidak puas jika apa yang diinginkannya belum terkabul. Padahal selama ini, dia sudah mendesak Wiryawan untuk meminta kepada Untari agar rumah batik jatuh ke tangan Wiryawan.

Wiryawan kemudian menyalakan kembali mobilnya. Satu tempat tujuan sudah ada di benaknya. Setidaknya malam ini dia dan keluarganya akan mendapat tempat untuk tidur. Selain itu dia ingin menyusun lagi sebuah rencana.

Mobil Wiryawan memasuki sebuah hotel mewah di daerah Serengan. Amarelo Hotel. Dia tidak mungkin membawa Amira dan anak-anaknya ke hotel lain. Bisa-bisa Amira mengamuk. Wiryawan sangat hapal dengan kebiasaan istrinya, paling jeli dan pemilih untuk urusan tempat menginap. Perempuan itu ingin fasilitas yang lengkap dan mewah.

Setelah menyimpan mobil di parkiran hotel, Wiryawan, Amira, dan kedua anaknya memasuki lobi hotel. Banyak wisatawan yang menginap di sana karena menjelang pergantian tahun baru. Solo memang destinasi yang paling sering dan banyak dikunjungi wisatawan lokal maupun internasional di akhir tahun. Wiryawan sedikit was-was tidak mendapatkan kamar sesuai harapan Amira. Apalagi mereka datang tanpa pemesanan terlebih dahulu lewat online atau telepon.

Diam-diam Wiryawan mengelus dada saat resepsionis mengatakan kamar superior masih ada yang kosong. Itu pun tinggal satu kamar lagi. Amira lebih baik mencari hotel lain dibanding mendapatkan kamar di bawah standar yang dia mau. Setelah cek-in dan mendapatkan kunci kamar mereka pun beranjak menuju lift. Tiba-tiba, seseorang datang menyapa Wiryawan.

"Wiryawan, ya? Apa kabar? Lho, menginap ya di sini tho?"

Amira memandang curiga. Wiryawan memicingkan matanya. Dia mencoba mengingat orang yang berada di depannya. Seorang laki-laki gagah dan tinggi dengan mata yang tajam menatapnya. Sebuah topi berjenis flat cap bertengger di atas kepala. Sedikit menutupi wajah. Sekilas tampilannya mirip musisi atau pelukis. Bahkan, di luar negeri, topi ini identik dengan preman jalanan atau pekerja kasar si pelabuhan.

Sedikit demi sedikit Wiryawan mulai mengenal identitas laki-laki itu. Memorinya bergerak cepat. Dia tahu  apa dan bagaimana sepak terjangnya. Sebuah rencana spontan berkelebat di kepalanya.

"Kamu ...."

- Bersambung-

WARISAN UNTARI (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang