Bab 8 - Bagian 1

43 10 0
                                    

15 Agustus 2008
    
     Dengan berat hati akhirnya Untari menerima keputusan putranya, untuk menikahi Amira, model cantik yang sudah membutakan hati Wiryawan. Masukan Citra, untuk memberi kesempatan pada Amira tidak banyak mengubah hatinya. Perempuan paruh baya itu tetap pada penilaian awalnya, Amira bukan perempuan yang tepat.

       Untari bergelut dalam dunia fashion, dia mengenal banyak model dengan sifat seperti Amira. Kehidupan glamour, kadang tidak sesuai dengan pendapatan, seringkali membutakan mereka hingga menghalalkan segala cara. Bukan sebuah rahasia lagi, jika banyak model memilih menjadi perempuan kedua agar bisa hidup enak.

       Tentu saja itu bukan urusan Untari, biar pun mereka dekat dengan kehidupannya, perempuan itu tidak pernah usil. Selama mereka tidak menyentuh keluarganya. Kasus Amira berbeda, gadis cantik dengan derajat kesopanan yang sangat diragukannya itu akan menjadi bagian dari keluarganya.

       Sebelum memutuskan, Untari mencoba memberi wawasan tentang kehidupan yang dikuatirkan itu kepada Wiryawan. Bisa ditebak kan, bagaimana jawaban Wiryawan?

       "Ibu, Awan mengenal Amira dengan baik. Kami sudah menjalin hubungan lebih dari satu tahun. Amira tidak seperti model yang Ibu ceritakan. Dia tidak materialistis. Dia gadis mandiri yang hebat, disiplinnya tinggi. Awan butuh perempuan seperti itu, untuk mendampingi sifat Awan yang kata Ibu kurang tegas." Untari menghela napas, mendengar jawaban Wiryawan. Memang susah membuka mata orang yang sedang jatuh cinta.

      "Jadi Mas sudah yakin mau menikah dengannya?" tanya Untari memastikan. Wiryawan mengangguk pasti.

      "Mas, sudah siap menerima konsekuensinya?" Sekali lagi laki-laki itu mengangguk.

      "Termasuk jika istrimu lebih dominan di rumah?"

     "Ya," jawabnya yakin. Wiryawan tidak pernah ragu dengan keputusannya itu.

      Perempuan dominan dalam keluarga, Wiryawan sudah sangat berpengalaman. Dua puluh empat tahun, Wiryawan hidup dalam keluarga yang dengan Ibu yang lebih dominan.

      Untari, perempuan yang ada didepannya adalah pengendali keluarga. Semua Ibu yang mengatur, Bapak hanya tukang menuntut ini itu. Wiryawan anggap biasa, kalau harus berhadapan dengan istri yang kembali dominan. Kehidupan keluarga mereka bahagia, tidak pernah ada masalah krusial yang  membuat keluarga mereka berantakan. Ibu mendidik keempat anaknya dengan baik, dan berhasil. Lalu apa yang harus ditakutkan?

       Wiryawan tidak pernah tahu, bagaimana Untari berjuang mati-matian untuk menjaga emosinya agar keluarga mereka tidak hancur. Hidup dengan laki-laki tidak berpendirian seperti Tomy sangat menyiksa. Menjadi poros keluarga itu melelahkan, tetapi dia harus bertahan. Mengolesi tuas rodanya dengan olinya sendiri, mengamplas perlahan, membersihkan nya secara berkala agar tidak aus.

       Anak-anaknya tidak pernah menyadari perjuangannya, hanya Citra yang paham. Anak tirinya itu, yang selalu menemaninya. Membantunya tetap waras dengan caranya.

       Keputusan Wiryawan sudah bulat, Tomy mendukung sepenuhnya pilihan "bodoh" itu. Untari tidak bisa mengelak lagi, ketika Wiryawan memintanya untuk melamar Amira dua bulan kemudian. Terlalu cepat menurutnya, tetapi tidak menurut Wiryawan.

      Keluarga sudah saling kenal. Awal Juli mereka menerima undangan perkenalan dari keluarga Amira. Sepertinya mereka juga sudah tidak sabar menjadikan Wiryawan menantu.  Pertemuan itu memutuskan lamaran akan dilaksanakan tanggal 16 Agustus 2008.

      Mereka mempunyai sekitar satu bulan untuk mempersiapkan lamaran. Waktu yang sangat singkat, untuk deretan permintaan Amira. Semua barang branded yang diminta membuat Citra harus ikut terlibat, untuk mempersiapkannya. Bukan Untari tidak bisa melakukannya, tetapi memang dia tidak mau.

      Bisa saja kan calonnya nyiapin sendiri? Itu kalau Wiryawan punya duit, untuk memenuhi permintaan calon istrinya yang super ngelunjak itu. Wiryawan itu baru kerja dua tahun, tabungan belum seberapa sudah pacaran dengan cewek high class. Kebayang dong kalau pacaran berapa duit harus dia keluarkan?

       Lebih nekat lagi, belum punya modal, ngebet minta nikah. Amira sudah tidak sabar menjadi menantu pengusaha kaya. Tidak peduli Wiryawan tidak punya uang, yang penting orangtuanya.

       Amira memang cerdas. Sasaran hidupnya jelas terukur. Menaklukkan hati Wiryawan, menguasai laki-laki bucin itu, dan dapatkan kekayaan orangtuanya.

       Barang-barang pesanan Amira tertata rapi dalam wadah hantaran cantik di ruang keluarga. Tas Prada, sepatu Jimmy Co, BH Pierre Cardin, cd Victoria Secret, lingerie merah seksi, seperangkat alat make up L'oreal, belum lagi satu set perhiasan yang dipesan khusus. Harganya pasti mahal. Citra sempat melihat model yang diinginkan Amira. Agar tidak salah, Untari yang minta mereka memilih sendiri.

      Melihatnya saja Citra merasa nyesek. Menurutnya barang-barang itu terlalu mahal untuk mengawali sebuah perkawinan. Ibu memang kaya, tetapi Wiryawan tidak sekuat itu secara finansial. Ibu menuruti kemauan Wiryawan tidak lepas dari desakan Bapak yang sok gengsi itu. Hanya seperangkat alat Sholat, yang Amira tidak menyebut mereknya.

       "Kalau capek istirahat, Mbak, jangan dipaksakan. Biar nanti diselesaikan oleh Anti. Kamu sudah menyiapkan semuanya dengan baik." Citra tersentak, tidak menyadari Untari sudah ada di dekatnya.

       Perempuan lima puluh empat tahun itu mengelus pundaknya lembut. Perlakuan ibunya seketika meluruhkan lelah yang dirasakan. Beberapa Minggu terakhir, Citra harus berjuang membantu menyiapkan semua kebutuhan acara lamaran besok pagi.

      Untari sempat melarang, tetapi Citra bersikeras. Terkadang tubuhnya terasa sangat lelah, perut buncitnya tidak memudahkannya untuk bergerak. Citra melakukan itu semua untuk Untari. Hutang budinya pada perempuan disebelahnya itu tidak akan pernah lunas terbayar.

       "Kasihan kamu, Le, masih dalam kandungan harus bantu-bantu Eyang. Kamu hebat!" Untari mengelus perut Citra, sambil terus berbicara. Anak dalam kandungan Citra bergerak cepat, membuat perempuan itu mengerang lirih.

        "Sayang, jangan nendang dong! Mainnya nanti ya, kalau sudah di luar," katanya sambil mengelus perutnya penuh sayang. Untari terkekeh. Sebentar lagi dia akan menjadi seorang nenek.

      "Cucu eyang pasti akan menjadi laki-laki kuat. Seperti ibumu," hibur Untari. Citra tersenyum, bahagia menerima cinta tulus perempuan yang sudah membesarkan dirinya.

      "Terima kasih, Bu, sudah mencintai Citra sepenuh hati," bisiknya lirih. Untari tersentak. Matanya menatap lembut putrinya.

      "Kok ngomong begitu, Mbak? Kamu anak Ibu, tentu Ibu selalu menyayangimu sepenuh hati!" Untari meraih tubuh tambun putri sulungnya.

       Citra menangis dalam pelukan perempuan itu. Untari menahan diri agar tidak ikut menangis, cukup Citra saja. Dia harus selalu kuat di depan anak-nnaknya. Sesaat mereka berpelukan dalam diam, disaksikan sepasang mata yang menatap mereka iri.

       Gadis cantik itu melengos, lalu berbalik pergi. Keinginan untuk membantu membereskan hantaran itu batal. Entah kenapa, dia tidak menyukai kedekatan ibunya dengan kakak tirinya. Dianti cemburu, seharusnya Ibu lebih dekat denganku bukan dengan mbak Citra. Umpatnya marah.

       "Lho katanya mau membantu Mbak Citra, kok balik?" Andaru si calon dokter mengagetkannya.

      "Males!" dengkusnya kasar. Gadis itu langsung meninggalkannya.

      Andaru mengerutkan dahinya, sepertinya si bungsu sedang sensitif. Pemuda berkacamata itu melanjutkan niatnya masuk ke ruang keluarga. Matanya terkesima, melihat Ibu dan kakak sulungnya berpelukan.

      Andaru mengerti kenapa Dianti marah. Adiknya cemburu.

- Bersambung -
      

WARISAN UNTARI (COMPLETED)Where stories live. Discover now