Bab 7 - Bagian 1

56 11 0
                                    

21 Desember 2019
Pukul 07.00

Kesibukan pagi kembali menyapa penghuni rumah. Seolah kejadian kemarin siang tak memiliki pengaruh apa pun bagi Untari. Perempuan itu tidak ingin terbawa suasana. Hatinya sedang tenang. Kini, di rumah Limasan sekaligus kantor rumah batik Kencana dia bersama Citra kembali berkutet dengan buku-buku jurnal penjualan.

"Nduk, itu bagaimana pengiriman kain-kain batik ke kantor dinas pendidikan Sukoharjo? Pak Samsul Hadi sudah dihubungi?" Untari menatap punggung Citra yang tengah membelakanginya.

Citra menoleh lalu tersenyum. Dia mendekati Untari dan memeluk pundak ibu tersayangnya. Sambil menatap, Citra mengajak Untari duduk di sofa.

"Bu, sebenarnya, kemarin itu Citra hampir saja kecelakaan ..."

"Kecelakaan apa toh, Nduk? Kok, kamu kenapa baru sekarang bilangnya? Kamu tidak apa-apa?" potong Untari dengan cepat lalu dia meraba tubuh dan kaki Citra, takut ada yang terluka.

"Bukan kecelakaan itu, Bu. Alhamdulillah, badan Citra baik-baik saja. Tuh, tidak ada yang terluka 'kan?"

"Alhamdulillah, syukurlah kalau begitu. Ibu pikir kamu ditabrak orang atau ada yang rampok." Wajah Untari kembali tenang.

Citra menggeleng. Lalu dia menceritakan sehari kemarin mengurus pesanan yang hampir saja gagal dipenuhi karena kesalahan yang cukup fatal. Padahal waktu yang tersedia hanya seminggu lagi. Pasalnya, kain batik yang sedang dikerjakan salah satu kelompok pembatik binaan Citra tidak sama dengan kelompok lain dalam hal pewarnaan. Saat di survei, ternyata warna yang dihasilkan lebih tua.

"Terus gimana solusinya?" tanya Untari dengan kening berkerut.

"Alhamdulillah, Sudah selesai kemarin, Bu. Duh, rasanya mau copot jantungku ini. Citra minta maaf banget. Tidak biasanya ada masalah. Kesalahan memang bukan dari kita, ternyata para pembatik itu tidak bisa mendapatkan warna yang diinginkan kantor."

"Coba cerita yang lengkap sama Ibu, kenapa mereka, kok bisa begitu? Terus selesainya gimana?" Untari tidak puas dengan jawaban Citra. Dia memberondong anak sulungnya, yang terlihat tenang, dengan sejumlah pertanyaan.

Citra tidak langsung menjawab. Tangannya meraih cangkir berisi teh hangat yang baru saja disajikan Mbok Jum dan menyeruputnya dengan perlahan. Masih dengan senyuman di bibirnya, perempuan berusia empat dua tahun itu menyentuh tangan Untari.

"Jadi gini, kelompok yang dipimpin Mas Aryo itu, rupanya kehabisan warna dasar. Kata Mas Aryo sih, lupa mau ngabarin. Jadi beliau mencoba mencari ke toko langganan dengan membawa contoh yang ada. Ternyata ... ada kode warna yang sama tapi beda merek. Mas Aryo pikir, barang itu hasilnya akan sama pula dengan yang sudah-sudah. Tidak tahunya ... pas selesai pencelupan warnanya beda dengan yang sudah jadi."

"Terus?"

"Ya, Citra nyari lagi kain mori sebanyak yang dibutuhkan. Termasuk bahan pewarna yang sama. Cukup banyak juga. Dua gulungan. Tapi ..."

"Tapi apa?"

"Kainnya ... kain yang sama dengan yang dipesan abis di penyuplai kain langganan." Citra menunduk.

Hati Untari berdebar-debar. Benar kata Citra, hal ini membuat jantung serasa copot. Cilaka dua belas jika sampai kainnya habis. Mungkin kain di bawah standar banyak. Untari selalu ingin kualitas barang yang sama jika harus kembali membeli. Mana waktu sudah sangat mepet.

Kepercayaan dan ketepatan waktu adalah hal yang sangat diagungkan oleh Untari dalam berbisnis setelah kejujuran. Dengan prinsip itu pula, Untari bisa berdiri tegak mengibarkan bendera Rumah Batik Kencana hingga puluhan tahun. Orang-orang yang pernah bekerja sama dengan rumah batik milik Untari selalu puas dan datang kembali.

"Nduk, setelah itu bagaimana?"

Citra mengangkat wajahnya. Dia tertawa kecil. Wajahnya berubah menjadi cerah. Mata dengan alis yang kecil memanjang itu menggoda jenaka. Untari sedikit bingung.

"Bu ... kita beruntung mempunyai Pak Harso! Diam-diam rupanya beliau mencari suplier yang lain. Kenalannya banyak. Dari temannya Pak Harso-lah, Citra bisa mendapatkan kain itu. Alhamdulillah. Jadi Ibu tenang ya. Semuanya sudah selesai."

"Alhamdulillah."

Untari mengusap peluh di keningnya. Digenggamnya tangan Citra. Hatinya bahagia. Satu hal lagi yang membuat dia semakin yakin akan keputusannya kemarin. Air matanya hampir saja menetes.

Citra ... Citra! Kamu semakin seperti Romomu, Nak! Darah memang tidak salah mengalir. Dia akan turun ke tempat yang seharusnya. Nak, kamu dan rumah batik Kencana ibarat mur dan baut. Saling mengisi dan tak terpisahkan, batin Untari.

Tiba-tiba Citra terlonjak. Matanya memandang jam berbentuk rumah di atas meja kerja Untari. Pukul 07.30. Dia teringat sesuatu. Kakinya melangkah menuju kursi di dekat jendela. Tas besar berisi contoh-contoh kain batik dengan berbagai motif segera diraihnya. Sejurus kemudian Citra meraih tangan Untari.

"Bu, Citra pamit dulu ya. Lupa ada janji sama Pak Kasubag Pariwisata kota Solo. Beliau minta Citra datang untuk ikut rapat acara pagelaran batik nasional tahun depan. Semoga ini jadi jalan kita semakin melebarkan sayap ke ranah luar. Doain lancarnya, Bu! Citra diantar sama Pak Harso lagi."

Untari menepuk pundak Citra. Ada kebanggaan terselip di hatinya. Citra keluar dari ruangan ibunya setelah diingatkan Untari untuk menemui Danta terlebih dahulu. Citra kemudian berjalan cepat. Dari ruangan Untari sampai ke pintu utama, sapaan dari para karyawan dijawabnya dengan anggukan hormat.

Citra dan Untari tidak menyadari, ada seseorang yang menguping pembicaraan mereka sejak tadi dari balik pintu kantor yang sedikit terbuka. Hatinya sedikit mendidih. Apalagi saat Untari dengan hangatnya memeluk pundak Citra. Orang itu cemburu. Perlakukan Untari tidak seramah itu padanya. Bahkan, sudah jauh-jauh hari dia memimpikan jika rumah batik itu akan jatuh padanya. Secara pendidikan, bidang yang diambil sewaktu kuliah selaras dengan usaha yang dimiliki keluarganya.

Brengsek! Rencanaku akan semakin sulit. Mbak Citra semakin menguat di mata Ibu. Padahal aku yang pantas meneruskan usaha ini. Aku harus meminta bantuan siapa? katanya dalam hati.

Kepalanya penuh dengan pikiran-pikiran lain. Semakin terasa dia membenci Citra. Tangannya terkepal kuat. Saat tahu akan Citra keluar dari ruangan Untari, orang ini bersembunyi di balik lemari besar berisi kain batik tulis yang ada di samping pintu ruangan. Namun, orang ini tidak menyadari jika ada sosok lain yang mengikuti dan memperhatikannya semenjak keluar dari rumah utama.

- Bersambung -

WARISAN UNTARI (COMPLETED)Onde as histórias ganham vida. Descobre agora