Bab 19 - Bagian 2

51 11 0
                                    

Citra berjalan dengan cepat. Dia merasa ada yang membuntutinya semenjak berangkat dari rumah menuju pasar. Hati kecilnya mengatakan ada sesuatu yang lain. Benar kata Danta, anak laki-laki itu sudah merasakan hal yang sama sebelumnya.

Citra sempat tenang saat berada di tengah keramaian. Namun, kini dia berjalan pulang di tempat yang cukup sepi. Kembali, perasaan itu muncul lagi. Dia khawatir dengan Danta yang tadi dititipkan di rumah Budhe Lastri.

Mata Citra berkaca-kaca. Rasa cemas mulai melingkupi hatinya. Dia takut ada apa-apa dengan Danta. Cukup sudah baginya kehilangan Danang dan Untari, walaupun  dia tahu Untari pasti baik-baik saja. Namun, ini berbeda. Danta adalah belahan jiwanya. Satu-satunya orang yang mewarisi darah keturunannya.

Citra semakin mempercepat langkah. Rumah kontrakannya sekitar dua ratus meter lagi. Mata dan telinga perempuan itu seperti antena yang bisa menangkap radar asing. Seseorang telah mengikuti perjalanannya dari belakang. Peluh membasahi tubuhnya. Citra merasa keberadaannya di Soponyono sudah diketahui seseorang. Padahal dia sudah menghilangkan jejak termasuk mengganti namanya dan Danta.

Tuhan, lindungi aku dan anakku! Jangan biarkan seseorang mengetahui keberadaanku di sini. Aku ikhlas kehilangan apa pun, asalkan jangan Danta!  Ibu, Citra kangen sama Ibu. Maafkan dan ikhlaskan Citra ya, Bu!

Perempuan itu menangis dalam hatinya. Dia teringat Untari. Rasa cintanya kepada Untari tak pernah hilang atau berkurang. Hanya saja, takdir sebagai pewaris yang sah Rumah Batik Kencana membawanya pada masalah.

Pagar kayu rumah kontrakannya sudah terlihat. Hanya terhalang beberapa rumah lagi. Dia ingin buru-buru sampai. Rencananya, nanti setelah tenang dan suasana aman,  baru menjemput Danta di rumah Budhe Lastri lewat jalan belakang. Kakinya berjalan seolah melayang.

Satu ... dua .. tiga ...

"Citra!"

Terdengar suara laki-laki memanggilnya  dari belakang. Dekat, teramat dekat. Citra berhenti dan berdiri terpaku. Kakinya terasa berat untuk melangkah. Tubuhnya bergetar. Dia merasa seluruh persendian dan tulangnya luruh ke bumi. Jantung berdebar kencang. Apa yang ditakutkannya terbukti. Pikiran Citra penuh dengan berbagai pertanyaan.

Siapakah yang memanggilku? Apakah dia suruhan Ibu? Bagaimana dia bisa menemukanku?

"Citra ..."

Kali ini orang itu memanggilnya dengan sedikit pelan dan terdengar sopan. Citra berperang dengan kata hatinya. Menoleh atau lari ke rumah. Hingga akhirnya, pilihan pertama yang diambilnya. Citra kemudian membalikkan tubuhnya perlahan. Di hadapannya kini telah berdiri seorang laki-laki tegap berambut cepak tengah memandangnya.

"Citra, apa kabar?"

Citra menatap wajah itu. Rasanya dia mengenal orang yang berdiri di depannya. Citra memejamkan mata untuk mengingat kembali. Diembuskan perlahan napas yang membuatnya sesak. Dia mengisi kembali dengan oksigen segar lewat hidung. Matanya kembali terbuka lebar. Tiba-tiba dia teringat sesuatu dan berteriak.

"Nala ... Nala Sasmita! Benarkah itu kamu?"

Laki-laki itu tertawa. Giginya yang berderet rapi terlihat sempurna. Jaket kulit hitam membungkus tubuh tegapnya. Sasmita mendekati Citra.

"Ba-bagaimana kamu ada di sini, Sasmita? Terakhir kudengar kamu selama ini tinggal di Jakarta."
Sasmita tersenyum. "Aku sedang mencari kontrakan buat tempat tinggal. Tak kusangka, aku tadi melihatmu saat turun dari angkutan."

"Oh, jadi kamu yang membuntutiku sejak tadi? Kupikir seseorang hendak berniat jahat kepadaku." Sasmita tertawa. Hampir saja kedoknya terbuka.

"Jadi begini ya, etika menerima tamu yang baik? Bukannya diajak ke rumah dan disuguhkan teh manis. Dulu, saat kita masih kuliah, kamu sering menghidangkan wedang ronde kalau aku dan teman-teman berkunjung ke rumahmu."

WARISAN UNTARI (COMPLETED)Место, где живут истории. Откройте их для себя