Bab 9 - Bagian 2

41 10 2
                                    

"Mas Danta, mainannya bagus-bagus. Ini buat Juna sama Vania kan?" tanya Juna sambil mengelus mobil-mobilan koleksi Danta yang dibawa dari gudang.

"Iya, ambil saja. Buat Juna sama Vania. Masih bagus kan?" tanya Danta.

"Iya, bagus. Vania mau ikut main sama Mas Juna." Vania ikut nimbrung.

"Kamu mainnya sama Alika aja. Main boneka sama rumah-rumahan sana!" tunjuk Juna.

Vania cemberut. Danta tertawa melihat dua sepupunya. "Vania ini aja, Mas Danta punya mainan bagus. Pasti suka deh."

Mata Vania berbinar. Danta memberinya sebuah delman mini berikut kuda dan saisnya terbuat dari kerajinan kayu. Tidak hanya itu, ada miniatur lokomotif dan gerbongnya, rumah mini, dan helikopter. Danta masih menyimpannya dengan rapi.

"Mas Danta beli di mana ini? Ih, Vania suka deh."

"Mas Danta dibeliin Ayah dulu. ... sebelum meninggal," jawab Danta perlahan.

Danta teringat Danang yang meninggalkan dirinya dan Citra tiga tahun yang lalu. Saat Danta masih berusia delapan tahun. Ayah paling suka mengajaknya bermain dan pergi ke tempat yang membawanya berpetualang. Mainan dari kayu itu didapatnya saat main ke para pengrajin kayu.

"Juna sama Vania lupa wajah Pakde Danang. Iya kan, Van?" tanya Juna sambil melirik Vania yang sedang sibuk memainkan lokomotif dan gerbong kayu.

Vania tidak menjawab. Danta merapikan dus berisi mainan lamanya. Dia berencana memberikan sebagian mainannya kepada sepupu-sepupu kecilnya. Saat itu, Juna mulai iseng terhadap adiknya. Mainan Vania direbutnya. Tentu saja Vania marah dan mulai terusik atas gangguan kakaknya. Suara tangisan dan rengekan adiknya tidak membuat Juna menghentikan aksinya. Dia tetap menggoda adiknya. Danta mencoba meleraikan.

Amira yang merasa tidak nyaman dengan rengekan anaknya segera menghampiri. Saat melihat Danta ada di antara anak-anaknya, amarah Amira meletup. Pundak Danta didorongnya dengan kasar.

"Kamu apakan anak-anakku?"

"Maaf Bule, Danta enggak bikin Vania nangis. Tadi itu diisengin sama Juna."

"Iya, itu gara-gara kamu! Ngapain juga ngasih mainan murah gini ke Juna dan Vania. Enggak level tahu! Mainan mereka di rumah bagus-bagus. Ini sih apaan?"

Tangan Amira meraih mainan dari tangan Juna dan membantingnya dengan kasar. Vania, Juna, dan Danta kaget. Mereka terpaku. Vania menghentikan tangisan dan rengekannya. Danta gemetar dan pandangannnya nanar. Mainan yang selalu dijaganya baik-baik, peninggalan ayah tercinta, kini hancur berkeping-keping. Berserakan di lantai.

"Mama, itu mainan Vania. Kenapa Mama buang? Kan jadi rusak." Tangis Vania kembali pecah. Juna hanya diam tanpa merasa bersalah. Danta cepat-cepat memungut mainannya.

"Mainan murahan begini pantasnya ada di tempat sampah! Juna, Vania, kalian jangan main lagi sama Danta. Anak manja tidak tahu diri," tuding Amira sambil menatap tidak suka kepada Danta. "Kamu sama kayak ibumu, cuma bikin rusuh dan pengganggu!"

"Ma-maksud Bule?"

"Asal kamu tahu ya, dulu, waktu ibumu mau lahiran, Eyang lebih peduli dan menemani calon cucu tiri daripada menemani anaknya yang mau menikah."

"Cu-cucu tiri, maksud Bule?"

Amira tidak menjawab. Dia mendekatkan wajahnya ke wajah  Danta yang ketakutan. Tiba-tiba tangannya menoyor kepala anak laki-laki itu. Danta pun terdorong ke belakang. Amira lantas menarik kasar tangan anak-anaknya dan membawa mereka ke dalam kamar. Ternyata, kebencian Amira kepada Citra dan Danta sudah mengakar sejak Danta lahir dan Untari lebih memilih menemani Citra dibanding mendampingi Wiryawan di prosesi pernikahannya.

WARISAN UNTARI (COMPLETED)Where stories live. Discover now