Bab 11

37 10 0
                                    

      

Selesai makan pagi, Citra pamit untuk mengawasi pesanan yang sempat mengalami kendala. Citra membawa Danta serta, agar bisa mengawasi.

      “Kenapa Danta diajak? Kasihan. Biar dia bermain dengan adik-adiknya?” cegah Untari. Citra tersenyum, menyakinkan ibunya.

       “Tidak apa-apa, Eyang, Danta senang menemani Bunda. Danta kan harus menjadi penjaga Bunda.” Jawaban Danta membuat semua terdiam.

       Meski berat hati akhirnya Untari mengijinkan. Hampir setiap Minggu, Citra memang membawa Danta berkeliling. Untari bisa memakluminya, tetapi entah kenapa hari ini dia merasa ada yang janggal.

       "Ayo, Mas, kita harus bersiap."

Danta berdiri mengikuti Citra masuk kamar. Tidak lama mereka kembali menemui Untari dan yang lainnya. Danta membawa ransel kecilnya, berisi buku bacaan katanya untuk teman kalau lama menunggu Bunda, dan satu kaos ganti. Citra sendiri hanya membawa tas punggung  batik kecil kesukaannya, dan beberapa map berisi berkas pemesanan.

       Satria dan Juna yang berharap bisa bermain dengan Danta, menatap kakak sepupunya dengan wajah kecewa.

       "Juna dan Satria jangan sedih dong! Mas Danta nanti sore pulang kok. Kita mainnya nanti malam ya," hibur Danta. Keduanya mengangguk enggan.

       "Maafkan Budhe ya, harus bawa Mas Danta. Nanti kalian bisa main lagi. Bu, kami berangkat dulu," pamitnya sopan. Punggung tangan Untari dicium agak lama, lalu pamit pada adik-adiknya.

       Untari memandang kepergian Citra dan Danta dengan perasaan hampa. Mereka hanya akan pergi bekerja, nanti sore juga akan berkumpul kembali. Namun, entah kenapa, seperti ada rasa aneh mengganggu. Cara Citra mencium tangannya, seperti dulu kalau anak sulung pulang bersama suaminya.

       "Ibu sakit? Wajah Ibu pucat?"  Andaru mendekat Untari.

Perempuan itu menggeleng, pandangan matanya belum beralih dari pintu tempat Citra keluar. Andaru berpandangan dengan Arsanti, mereka menangkap kegelisahan ibunya. Arsanti memberi tanda untuk mengejar Citra, Andaru mengerti maksud istrinya.

       "Sebentar ya, Bu, ada yang Ndaru mau sampaikan ke Mbak Citra."

Tanpa menunggu jawaban ibunya, Andaru berlari keluar diikuti Arsanti.
Wiryawan yang baru keluar dari kamar, hampir menabrak adik iparnya.

        "Maaf, Mas."

       "Ada apa, Dik? Kok lari-lari dalam rumah?" Tidak menjawab permintaan maaf Arsanti, Wiryawan malah bertanya.

       "Itu,  Mas Ndaru ...."

Arsanti bingung, lalu pamit menyusul Andaru. Wiryawan mengernyitkan dahinya, tidak mengerti tindakan suami istri itu. Sementara Andaru clingukan mencari Citra di depan. Mobil pak Harso masih parkir, tetapi Citra tidak terlihat.

       "Gimana, Mas? Mbak Citranya mana?" Arsanti berhasil menyusul.

       "Gak ada, tapi mobil Pak Harso masih ada," katanya menunjuk mobil CRV putih yang masih parkir.

       "Yakin, Mbak Citra pergi dengan Pak Harso?" Andaru terdiam sesaat.

Kalau tidak dengan pak Harso, mbak Citra pergi naik apa? Apa Mbak Citra nyetir sendiri ya?

        Pertanyaan Andaru terjawab, ketika dari arah kanan Citra berjalan menuju mobil pak Harso. Citra terlihat sibuk mengetik sesuatu dengan gawainya, hingga tidak menyadari kehadiran adik dan iparnya.

WARISAN UNTARI (COMPLETED)Where stories live. Discover now