Bab 3

4.3K 169 2
                                    


Seminggu berlalu setelah ulangan fisika dan kimianya, hari ini Briana harus siap mendengar ocehan Bapak Joshua yang terhormat dan tentu saja kemungkinan juga berasal dari Pak Aron, guru kimianya yang biasanya ramah dan murah senyum itu.

Dan ya, Briana hampir saja langsung merobek kertas hasil ulangan fisikanya, ia mendapat nilai 44 yang ditulis besar dengan tinta merah yang mencolok mata. Briana mendengus bahkan nilainya tidak pernah sejelek ini saat diajar oleh Pak Ridwan, guru fisika tetapnya, bukan guru KW sejenis Joshua, ia bahkan ingin mengumpat menyalahkan Joshua karena memberikan soal yang menurutnya terlalu sulit itu.

Untuk sejenak ia masih berterima kasih, ternyata hampir seluruh temannya mendapatkan nilai buruk sepertinya, tapi setelah pengumuman yang disampaikan oleh Joshua, senyumnya luntur seketika, semuanya diminta mengerjakan ulang soal itu, remedialnya bukan dengan soal lain yang lebih mudah.

"Selamat mengerjakan lagi untuk kalian para Remediwan dan Remediwati," Joshua berkata dengan lantang sambil melirik ke arah Briana, sesaat ia menatap remeh Briana yang kini tengah bersitatap dengan dirinya.

Saat ini Briana sangat ingin membunuh makhluk bernama Joshua Kim yang bahkan secara terang-terangan mengejek lewat tatapan matanya. Ia sangat ingin berteriak, menendangnya keluar dari kelas ini, atau bila memungkinkan ia bahkan ingin mencekik guru itu sampai mati, terlalu sadis memang pikiran Briana.

Setelah dua jam pelajaran fisika yang hanya digunakan untuk agenda remedial, Joshua Kim mengakhiri jamnya, lalu bergegas menuju ruang guru untuk mengistirahatkan otaknya sejenak, ia sungguh lelah menghadapi murid-muridnya.

Giliran jam pelajaran ketiga, kimia, mereka menunggu kedatangan Pak Aron sang guru kimia yang sudah hampir 15 menit ini belum juga kelihatan batang hidungnya. Tasya sang ketua kelas yang notabene anak kesayangan sang guru, berinisiatif untuk menyusul guru itu ke kantor guru, yang tentu saja tanpa dengan persetujuan teman-teman sekelasnya.

"Maaf Bu, Pak Aron ada tidak ya, soalnya sudah dari 15 menit yang lalu, beliau belum masuk untuk mengajar?" tanya Tasya kepada guru yang kebetulan sedang piket di ruang guru.

"Wah, emang nggak diberi tahu sama Pak Aron ya, beliau sedang melaksanakan pernikahan hari ini, terus Pak Aron berpesan kalau semua kelas yang beliau ajar hari ini cuma disuruh mempelajari bab selanjutnya, tadi kelas lain juga pada nanyain itu ke Ibu," kata guru itu.

"Oh gitu ya Bu, makasih ya Bu atas infonya," jawab Tasya dengan senyumannya yang telihat terpaksa. Setelah beberapa saat ia berjalan lunglai menuju ke kelasnya.

"Guys, Pak Aron katanya nggak bisa datang ngajar, Beliau katanya lagi nikah," Tasya sang ketua kelas mengumumkan hal itu dengan raut sedih, tentu saja berita itu langsung di sambut baik oleh siswa di kelas Briana, alasannya jam kosong adalah anugerah yang tak boleh disia-siakan.

Sekembalinya Tasya dari ruang guru, Briana melihat perubahan mimik wajah temannya itu, tentu saja ia tahu jika temannya itu pasti sedang menangisi pernikahan Pak Aron, guru kimianya yang masih muda itu.

"Sabar Sya, cup-cup, jangan nangis," Briana bingung sendiri karena Tasya sedari tadi diam-diam menangis.

"Ih lo sih, sukanya sama om-om, giliran ditinggal married nangis kan lo," ledek Irene yang semakin membuat Tasya sesenggukan hingga teman-teman sekelas Briana menengok ke meja mereka.

"Lah si Tasya mewek, ditinggal married, si Bapak," ejek Samuel teman sekelas Briana.

"Eh udah dong, kasian tuh anak, diejek mulu, tambah sedih tuh sohib gue," kata Noura.

"Ya udah Sya, lo mending ke UKS aja deh, muka lo pucet banget Sya, gue anter mau ya?" tawar Briana khawatir, dan Tasya menanggukkan kepalanya tanda setuju.

Between Love and Dream (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang