Bab 7

3K 151 4
                                    


Bel istirahat kedua berbunyi, ia bergegas untuk menemui Nico di taman sekolah. Namun belum sempat ia memanggil Nico, ia melihat adegan yang kurang pantas untuk ditonton. Chelsea sedang mencium bibir Nico, atau sebaliknya, yang jelas itulah yang dapat ia tangkap dengan kedua bola matanya yang kini sedang memanas. Ia menangis.

"Dasar pasangan tak tahu tempat," cibir Briana.

Ingin rasanya Briana menampar pipi Nico, Nico sudah mempermainkan perasaannya, tentu saja ia juga turut salah. Ia terlalu terbawa perasaan saat bersama Nico.

Demi Tuhan Briana rasa hatinya tercubit, setelah apa yang Nico lakukan terhadapnya kemarin, mencium pipi! apa itu yang biasa dilakukan cowok saat berteman dengan seorang cewek.

Briana hanya bisa menangis dalam diam, masih menyaksikan adegan yang membuat hatinya sakit, sambil sesekali mencuri dengar apa yang mereka bicarakan selanjutnya.

"Kamu kenapa sih tiga bulan ini sibuk terus," kata Chelsea merengek manja setelah adegan tidak senonohnya dengan Nico.

"Aku kan latihan olimpiade, Princess," jawab Nico.

"Bahkan Nico memanggilnya Princess, berarti mereka benar-benar pacaran," batin Briana sambil meringis.

"Kamu jangan bohong ya, aku liat kamu setiap hari ketemuan sama anak IPA 5 itu," kata Chelsea hampir menangis, atau lebih tepatnya pura-pura menangis.

"Kami cuma belajar kok," jawab Nico berusaha menenangkan Chelsea.

"Kenapa harus belajar sama dia?" tanya Chelsea menginterogasi.

"Kamu tau kan aku ini jenius, katanya dia bingung sama pelajaran eksak, ia juga terlihat sangat bersedih, dan frustasi jadi karena aku baik hati, aku mengajarinya," jawab Nico manis.

"Apa-apaan dia! Apa aku terlihat menyedihkan?" batin Briana geram.

"Oke aku percaya sama kamu," jawab Chelsea.

"Nah gitu dong, nggak usah marah-marah terus," kata Nico.

Setelah mendengar percakapan pasangan tak tahu tempat itu, Briana langsung berlari menuju sanggar lukis di lantai dua, yang untungnya sepi, ia menangis disana. Tidak percaya bahwa Nico yang selalu bersikap manis padanya ternyata hanyalah seorang playboy kelas kakap.

Briana menyalahkan dirinya sendiri, apakah ia terlihat sangat menyedihkan di depan Nico, sehingga cowok itu hanya mengasihaninya. Ia merasa sangat miris saat mengingat suara Nico yang mengasihani dirinya dan kebodohannya. Saat Briana percaya bahwa Nico punya perasaan yang sama dengannya. Ketika Nico mencium pipinya walau sekilas, lalu berkata menyukainya, itu juga tak berarti bagi cowok itu.

Briana salah, Nico hanya menganggapnya cewek bodoh yang perlu dikasihani. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk mebuktikan tanpa diajari oleh Nico pun, ia bisa mendapat nilai bagus.

"Saat ini kau bisa menyombongkan dirimu Miller, tapi tidak untuk nanti." tekad Briana.

Briana semakin membenci dirinya sendiri, karena dengan mudahnya menyukai Nico, percaya apa yang dikatakan cowok itu, kali ini Briana benar-benar sakit.

Lima belas menit dilaluinya dengan menangis di sanggar lukis, tak peduli jika waktu istirahatnya telah habis.

Briana pun menghubungi Alexa untuk mengatakan pada Pak Galih, guru PPknnya, bahwa Briana sedang sakit di UKS dan tidak bisa mengikuti pelajaran, dan untung saja tanpa banyak bertanya, Alexa mengiyakan.

Briana masih merenung, dengan bodohnya, perutnya yang tak tahu diri itu berbunyi minta diisi, Briana tak mungkin ke kantin, atau mati ketahuan kalau dia sedang tidak sakit, dan berurusan dengan BK lagi, ralat dia sakit, sangat sakit hati.

Akhirnya Briana memutuskan untuk memejamkan mata, berharap bisa tertidur sampai pelajaran terakhir. Hingga tercium bau masakan dari ruang tata boga yang membuat perutnya berteriak nyaring. Cacing di perutnya sudah berdemo meminta jatah pangan bagian mereka, seperti para rakyat berdemo di depan Istana Negara dan gedung DPR menuntut pembuktian janji presiden pada masa kampanye yang belum terpenuhi.

Briana melongok ke celah pembatas diantara sekat pembatas sanggar lukis dan ruang tata boga. Berusaha mengintip siapa yang sedang memasak di dalam sana, namun nihil, tidak terlihat.

Briana hanya mendengus, padahal ia sangat berharap siapapun yang sedang masak disana bisa dimintai sedikit makanan, ia bisa mati kelaparan kalau begini.

Tiba-tiba sebuah cup berisi ramyeon (mie instan khas korea) dan sebotol air mineral disodorkan oleh sebuah tangan diantara celah pembatas.

Briana bingung, namun tetap menerima pemberian orang itu, ia menemukan sebuah notes yang tertempel pada botol air mineral pemberian orang itu. Lalu membacanya sambil mengernyitkan dahi.

"Sudah bosan menangis huh? cepat makan, aku tau kau lapar."

Briana mengerjap, merasa merinding, jadi selama menangis tadi, ia diawasi, namun setelah itu ia mengabaikannya dan segera mengucapkan terima kasih pada siapapun yang telah memberinya makan siang.

Ia memakan makanan pemberian itu dengan lahap, itu bukan ramyeon seduh yang biasa dibuatnya, ia tau karena rasanya sedikit berbeda dan berbagai tambahan sayuran di dalamnya, jadi kemungkinan orang itu mau bersusah payah untuk memasak ramyeon untuknya. Briana sangat ingin mengucapkan terima kasih secara langsung pada siapapun itu yang memberinya makanan, kecuali jika itu Nico ataupun Chelsea tentu saja.

Tak terasa telah dua jam pelajaran Briana mengurung diri di sanggar lukis apek, berbau cat itu. Ia lalu bergegas menuju kelasnya untuk mengambil tasnya. Bersiap pulang.

Namun kelas masih ramai, untung saja Pak Galih, guru PPKnnya sudah kembali ke kantor, jadi ia tak ketahuan bolos.

"Lo pucet Brie, mau gue anter pulang?" tanya Alexa.

"Rumah kita kan berlawanan arah, nanti lo repot," jawab Briana.

"Enggak kok ini sekalian mau ke toko buku deket rumah lo itu," jawab Alexa ringan.

"Oh, oke," akhirnya Briana memutuskan untuk pulang bersama Alexa.

"Lo kalo ada masalah cerita ke gue," kata Alexa yang membuat Briana terperanjat.

"Kok lo tau?" tanya Briana heran.

"Lo kan nggak biasa izin ke UKS, lagian lo juga sehat tadi pagi," kata Alexa. "Lo ada masalah apa, cerita ke gue, masalah Nico ya?" tebak cewek itu.

"Hmm, ya begitulah, ternyata dia cuma kasihan ke gue, dia pikir gue itu bodoh banget" jawab Briana menunduk sambil menahan air matanya yang sebentar lagi nyaris menetes.

"Emang sok itu bocah tengil," cibir Alexa. "Eh jemputan gue udah dateng, yuk pulang," akhirnya mereka membahas hal yang lebih menyenangkan di perjalanan pulang.

Between Love and Dream (END)Where stories live. Discover now