Bab 9

3K 156 0
                                    


Allesia de Cafe, sebuah kafe dan restoran masakan Perancis dan Italia. Alexa mengajaknya ke sana. Briana sampai melebarkan matanya, karena restoran itu sangat terkenal dengan makanannya yang enak dan supermahal.

"Lo ngapain ajak gue ke sini, makanan disini kan mahal banget," bisik Briana.

"Tenang gue traktir," kata Alexa, "lagi pula makan disini gratis kok, restoran ini punya mama gue," tambah Alexa yang berhasil membuat rahang Briana jatuh ke bawah. Ia tahu bahwa Alexa anak orang kaya, tapi tidak tau jika keluarga Alexa punya restoran semewah ini.

Seorang pramusaji mendatangi mereka, memersilakan mereka duduk, lalu memberikan buku menu pada mereka berdua.

"Sebentar, gue mau ketemu mama gue dulu di kantornya, lo pesen aja yang lo suka" pamit Alexa padanya.

"Oh, oke," kata Briana mengiyakan.

Briana mulai melihat-lihat daftar menu, ia sama sekali tidak paham dengan nama makanan yang terkesan aneh-aneh, yang harga makanannya setara dengan hampir dua minggu uang jajannya.

"Gila mahal banget," ujarnya sedikit norak, sambil menutup mulutnya yang terbuka lebar karena kaget saat melihat daftar harganya.

Akhirnya ia membuka daftar menu pasta, karena ia hanya paham makanan jenis itu di daftar menunya, tiba-tiba saja datang seorang manajer yang berjalan ke arahnya.

"Maaf dek, reservasi atas nama siapa?" tanya sang manajer.

Tentu saja Briana kebingungan, ternyata makan di restoran ini perlu reservasi dahulu, dia bingung untuk menjawab apa, ia hanya menunduk. Di dalam hati ia mengucapkan doa agar Alexa segera kembali. Dan untung saja Tuhan langsung mendengar doanya. Alexa datang menghampirinya.

"Eh Uncle Frans, dia datang bersamaku," suara Alexa menginterupsi.

''Aku tadi sudah bilang ke Mama kok," sambung Alexa.

"Eh kamu Lexa, baiklah, kalau begitu selamat menikmati.

"Udah pesen Brie," tanya Alexa menghentikan kegugupan Briana.

"Lo kenapa nggak bilang kalau makan disini perlu reservasi segala," tanya Briana tanpa menjawab pertanyaan dari Alexa.

"Gue kan nyari yang gratis," kata Alexa sambil terkikik geli.

"Orang kaya nyarinya gratisan," cibir Briana, sedangkan Alexa malah cengengesan.

Setelah percakapan singkatnya, mereka mulai memesan makanan, Alexa memesan Escargot, sedangkan Briana hanya memesan chicken ravioli.

"Lo pesen apaan sih Lex, namanya aneh banget?" tanya Briana penasaran.

"Olahan bekicot," jawab Alexa santai, "kalo lo mau gue bisa pesenin," tawar cewek itu sambil memesan cengirannya yang super lebar.

"Enggak usah deh," kata Briana sambil mengernyit jijik, sedangkan Alexa hanya terkekeh melihat ekspresi jijik Briana.

Setelah menunggu beberapa menit, pesanan mereka sudah datang, Alexa dan Briana menikmati makanan mereka dalam diam, hingga datanglah seorang yang nyaris membuat Briana tersedak.

Nico datang bersama Chelsea disana, sekilas matanya dan mata Nico bertatapan, sebelum Nico membuang pandangannya ke arah Chelsea.

Mereka berdua mengenakan setelan formal, Nico tampak gagah dengan jas mahalnya, sedangkan Chelsea tampak sangat cantik dengan gaun cantiknya, makan bersama yang sangat romantis! begitu pikir Briana.

Melihat itu hati Briana sedikit sakit, cowok itu tega membohongiya. Briana bersumpah akan sangat membenci pria yang sedang duduk manis dengan pacarnya yang kini sedang membaca buku menu.

Tak terasa air matanya melesak keluar dengan kurang ajarnya, membuat Alexa yang duduk dihadapannya mengernyit bingung dengan  sahabatnya yang tiba-tiba saja menangis.

Sejenak Alexa menghentikan ritual makannya, menoleh ke arah pandang sahabatnya, Ta-Da!
Disana ada si tengil Miller bersama pacar kurang ajarnya, ingin sekali Alexa mengusir mereka berdua, tapi itu akan merusak citra restoran yang dirintis oleh mamanya. Ingatkan Alexa untuk menendang bokong seorang Miller lain kali.

Kemudian Alexa berusaha menenangkan dengan sesekali melempar guyonan agar sahabatnya itu berhenti menangis, namun Briana hanya tetap menangis dalam diam.

Alexa hampir menyerah menenangkan sahabatnya itu, ketika Briana tiba-tiba mengajaknya pulang, dan langsung saja disanggupinya.

Briana masuk ke mobil Alexa terlebih dahulu, sedangkan Alexa harus menemui manajer restoran mamanya dulu. Selang beberapa menit Alexa kembali ke mobil untuk mengantarnya pulang.

Setelah kurang lebih tiga puluh menit, mereka sampai di rumah Briana, tak lupa ia mengucapkan terima kasih pada Alexa yang telah bersedia menraktirnya makan dan mengantarnya pulang.

Mendengar itu Alexa tersenyum, lalu berpamit untuk pulang, setelah Alexa menjalankan mobilnya, Briana menghela napas lelah, dan bergegas masuk ke dalam kamarnya, ia sangat ingin istirahat kali ini.

***

Briana menengok arloji pemberian ibunya yang menempel indah di pergelangan tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam.

Ia buru-buru bangun dari tidurnya, bergegas ke kamar mandi, lalu menengok ke arah dapur, disana ada mamanya yang sedang memasak makan malam. Mengingat kejadian sore tadi membuat Briana kehilangan nafsu makannya.

"Wah mama masak apa nih?" tanya Briana berbasa-basi.

"Eh, sayang udah bangun, mama lagi masak sup ikan," kata mama Rena.

Briana membantu menyiapkan mangkuk, dan mengisi gelas dengan air putih. Tak lama kemudian sup ikan buatan mamanya matang.

Briana makan dalam diam, setelah selesai makan ia  membantu sang ibu mencuci piring.

"Sayang, gimana ujian semester kamu, hasilnya udah keluar?" tanya sang Ibu.

"Hasilnya lumayan kok Ma, ketimbang semester kemarin," jawab Briana berusaha terdengar antusias, berusaha menyembunyikan perasaannya yang masih sakit.

"Syukur deh, Mama janji deh  kalau nilai kamu meningkat terus, Mama nggak akan maksa kamu lagi buat jadi kayak Mama, kamu boleh jadi apapun yang kamu mau," kata sang mama yang membuat mood Briana sedikit membaik.

"Beneran Ma?" tanya Briana sambil tersenyum.

"Kamu boleh kok jadi reporter atau jadi pelukis seperti yang kamu mau," kata sang mama.

Setelah percakapan menyenangkan dengan mamanya, Briana menonton tv di ruang tamu, sedangkan sang ibu kembali merampungkan desain gambar yang katanya sudah mendekati deadline.

Briana menatap layar tv dengan sedikit antusias, ditambah lagi dengan camilan dan juga teh panas yang ia buat. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, namun Briana belum juga beranjak dari sofa yang ia duduki. Matanya masih enggan untuk diajak tidur. Setelah beberapa kali memindah saluran tv. Ia sedikit berteriak ketika salah menonton saluran tv yang sedang menampilkan film horor Indonesia, nampak kain buntalan putih dengan muka seramnya.

"Sial, po-pocong," teriak Briana sambil gemetaran.

Ia sangat ingin berpindah ke kamarnya namun ia terlalu takut untuk berjalan menuju kamarnya, ia sangat benci film horor. Akhirnya dia memutuskan untuk tidur di sofa, dan sudah dipastikan besok pagi badannya akan terasa pegal-pegal, karena sofa yang ia tempati sangat sempit.

Between Love and Dream (END)Where stories live. Discover now