Bab 20

3.8K 173 1
                                    


Manhattan, NYC, 7 tahun kemudian.

Bulan Juli tahun ini, bulan terpanas sepanjang tujuh tahun yang pernah ia rasakan. Nara, begitulah nama panggilan Briana sekarang, melepas jaket kulit yang sedari tadi menempel pada tubuhnya untuk melindungi sengatan sinar matahari yang hampir membakar kulit putihnya. Pekerjaannya sebagai jurnalis sering menuntutnya berada di bawah teriknya matahari hanya untuk meliput sebuah berita, ia sedikit merasa kelelahan kemudian menghempaskan tubuhnya di sofa apartemen miliknya dan memejamkan mata sejenak, sebelum sebuah dering telepon mengganggu istirahatnya.

"Apa? Ya, aku akan segera kesana," nada  bicaranya panik, kemudian ia mengambil jaket kulit yang belum lama ia sampirkan pada senderan sofa di apartemen kecil miliknya yang berada di Lower Manhattan, New York City, lalu memakai jaketnya asal dan bergegas turun menggunakan lift, menuju parkiran untuk mencari mobil lawasnya dan mengemudi seperti pebalab di film "Fast & Furious".

Hampir empat puluh menit ia mengebut menuju kawasan Upper East Side dan berhenti di sebuah rumah sakit besar disana. Ia bergegas ke meja resepsionis dan mengucapkan terima kasih sebelum berlari menuju pintu lift dan masuk kedalamnya, setelah sampai di lantai lima ia berlari menuju sebuah kamar bernomor 526 dan bergegas masuk ke dalamnya.

"Ha-ha, apakah dengan ini cucu perempuan Harabeoji satu-satunya mau datang, eoh?" terdengar suara kekehan pria tua yang sepertinya adalah kakek dari Nara.

"Harabeoji, tidak perlu seperti ini jika ingin aku mengunjungimu, cukup telepon saja aku, aku sangat khawatir dengan keadaanmu," terdengar suara Nara yang bergetar menahan tangis karena terlalu cemas, sungguh ia masih trauma dengan kepergian sang mama tujuh tahun lalu.

Setelah itu ia mulai bercerloteh panjang lebar pada sang kakek tentang pekerjaannya sebagai seorang jurnalis, termasuk mengeluhkan panasnya terik matahari bulan Juli, tahun ini.

"Ha-ha, lebih baik kau meneruskan bisnis Harabeoji saja, lagi pula perempuan sangat cocok dan identik dengan masakan kan," kakeknya mulai lagi membujuk Nara untuk mengelola restorannya.

"Tidak Kek, aku akan berusaha mengumpulkan uangku sendiri, lagi pula aku ingin Harabeoji bangga padaku," tolak Nara secara halus.

"Kau tahu, aku sangat ingin kau bisa mengelola salah satu restoran masakan Korea kita yang ada di Korea Town, meskipun tak sebesar bisnis Kakek yang ada di Gangnam, Seoul. "bujuk sang kakek.

"Yah, kurasa aku akan mencobanya jika aku sudah bosan menjadi jurnalis, Kek" jawab Nara sambil tersenyum.

"Gadis sepertimu seharusnya cocok menjadi seorang selebriti, tapi kau malah menjadi jurnalis yang rela berpanas-panasan." Sang kakek terlihat berpikir kemudian melanjutkan perkataannya, "Hmm, tapi tak apa, aku juga tidak suka kau menjadi selebriti, dan pastinya kau pasti tidak akan mau memakan masakan Harabeojimu ini hanya demi menjaga berat badan." Kata Kim Seoksoon, kakek Nara, sambil mengerucutkan bibirnya.

Nara pun terkikik geli melihat pria tujuh puluh lima tahun di hadapannya itu merajuk dan memanyunkan bibirnya seperti anak kecil.

"Oh ya Kek, apakah ada yang menjengukmu sebelum aku tiba disini?" tanya Nara heran melihat sudah ada parsel buah-buahan dan seingat Nara, kakeknya hanya tinggal bersama para pelayan di sebuah rumah mewah di kawasan Harlem, kemudian gadis itu berpikir mungkin dari teman harabeojinya.

"Ah... itu, kau pasti heran karena ada bingkisan buah-buahan di sana kan?" Nara mengangguk.

"Tadi saat temanku, Jacob Franklin beserta cucu lelakinya mengunjungiku, aku jatuh pingsan, kemudian mereka membawaku kesini dan membelikanku bingkisan itu," jelas Kim Seoksoon sambil menunjuk bingkisan buah-buahan yang tergeletak di meja kamar pasien.

Between Love and Dream (END)Where stories live. Discover now