Bab 12

3K 143 0
                                    


Semester dua baru genap dijalani Briana selama dua minggu, selama itu pula ia harus mendengar ocehan Tasya tentang misinya memata-matai Nico dan pacarnya, tentu saja siapa lagi kalau bukan Chelsea. Briana rasa otak Tasya mulai "gesrek" setelah kepulangan cewek itu dari liburannya di Prancis.

Tasya memberi info-info mengenai apa saja yang pasangan itu lakukan, termasuk kencan mereka, benar-benar Tasya si penguntit.

Ketika Briana bertanya tentang apa tujuannya, Tasya bilang ia hanya iseng.

"Dasar gila, mungkin lo sebenarnya penggemar berat si Miller itu kan, ngaku lo," tuduh Briana, entahlah Briana sungguh tak ingin peduli dengan itu.

"Lo pasti gak percaya Brie, kemaren si Nico ditinggalin gitu aja di mall gara-gara Nico nggak mau disuapin sama Chelsea pas mereka lunch bareng, kan gak lucu," kata Tasya geram sambil meninju udara.

"Lo yang kurang waras," kata Briana malas menanggapi omongan Tasya yang ngelantur, tidak karuan seperti anggota fans club gila.

"Loh kok gue nggak waras sih?" tanya Tasya tak terima.

"Lah lo tu kayak fans fanatiknya si Miller aja, udah move on lo dari Pak Aron?" tanya Briana sambil nyengir dan memasang tanda damai menggunakan jari telunjuk dan tengahnya yang diacungkan.

"Kalo bisa sih bukan cuma fans, ck..ck, lagi pula Pak Aron juga udah bahagia," katanya berubah sendu.

"Sabar ya yang kena Guru-muridzone" ejek Noura yang entah sejak kapan mulai bergabung.

"Kayaknya dia patah hati banget sampe jadi fans gilanya si Miller," ejek Alexa.

"Lah sebenernya yang gue lakuin itu nyariin celah buat lo, Brie," kata Tasya pada Briana.

"Ngapain nyari celah segala?" tanya Noura.

"Buat si Briana bisa nikung," kata Tasya sambil nyengir lebar dengan pasang muka tanpa dosa.

"Gue disuruh nikung, lo aja sana, lagian ngapain nikung modelan playboy narsis kaya dia," kata Briana memasang muka seolah jijik.

"Beneran boleh nih, lo gak nyesel si Nico bakalan jadian sama gue?" tanyanya dengan percaya diri.

"Beneran, lagi pula gue masih sayang nyawa," kata Briana cuek.

"Eh iya, gue lupa ada mak lampir," kata Tasya sambil nyengir lebar, dan mereka pun tertawa karenanya.

Setelah sibuk menertawakan tingkah Tasya, Briana kembali sibuk dengan buku fisika tebal pinjaman Pak Ridwan untuknya. Kemarin ia dikejutkan dengan penunjukannya sebagai salah satu wakil sekolah untuk lomba fisika antar provinsi yang akan dilaksanakan bulan depan. Sebenarnya ia keberatan, apalagi itu menyangkut nama baik sekolah, yang dari tahun-tahun lalu selalu juara bahkan sampai juara nasional, Briana takut jika dirinya mengecewakan, bahkan ia ragu dengan kemampuannya sendiri.

Briana dijadwalkan bimbingan materi sore ini di ruang kelas 12 IPA 1 yang berada di sebelah kantin. Akan ada dua atau tiga wakil dari sekolah dan Briana berharap itu bukan Nico.

***

Bel pelajaran jam terakhir sudah berbunyi, saat-saat yang setiap murid tunggu pun akhirnya tiba, tapi tidak untuk Briana kali ini, entahlah ia merasakan sesuatu yang tidak enak, gugup, khawatir, padahal ia hanya akan mengikuti bimbingan materi, karena ia merasa bahwa rival sekaligus partner belajarnya kemungkinan besar adalah Nico, dan ia tak akan sanggup berlama-lama dengan cowok itu.

Dibereskannya semua peralatan sekolah lalu menjejalkannya ke ransel miliknya, kemudian melangkah keluar dan berjalan menuju lantai tiga, ke kelas 12 IPA 1 berada.

Briana mendapati kelas itu sudah kosong, mungkin karena kelas dua belas sudah pulang lebih awal, jadi tidak ada murid di kelas. Ia mengambil duduk di bangku paling depan lalu mengeluarkan buku tebal itu lagi, sambil sesekali mencoba memahami materi dan rumus yang ada.

Tak terasa mungkin sudah lima belas menit Briana menunggu disana, hingga pintu kelas yang sengaja ditutupnya menjeblak terbuka, dan menampilkan sosok murid yang sangat ingin dihindarinya. Nico bersama Chelsea masuk kedalam ruangan yang sama dengannya, maka kemungkinan merekalah yang akan menjadi rival sekaligus partnernya saat latihan.

"Eh, Briana lo juga ikut bimbingan," tanya Nico yang hanya dibalas dengan deheman oleh Briana.

"Jadi lo yang jadi partner bimbingannya Nico," kata Chelsea sambil menaikkan sebelah alisnya, ingin sekali Briana mencakar muka mulus Chelsea.

"Hmm," jawab Briana malas.

"Aku pulang dulu ya Nic," pamit Chelsea pada Nico. "Dan lo jangan coba godain Nico,"
Mendengar itu Briana hanya menghela napas lelah.

"Ok, hati-hati," jawab Nico sambil melambaikan tangan ke arah perginya Chelsea.

Wait, jadi dia hanya bimbingan berdua dengan Nico? Briana sangat ingin membatalkan jadwal bimbingannya hari ini dan pulang, ia tidak ingin satu ruangan dengan playboy satu itu.

"Ehm Brie, kok lo akhir-akhir ini, kaya jutek banget ke gue?" tanya Nico.

"Pake nanya lagi, pikir aja sendiri," batin Briana geram.

"Gapapa", itulah kata yang berhasil keluar dari mulut Briana, padahal sebenarnya ia ingin memaki cowok itu.

"Gue ada salah ya sama lo?" tanya Nico lagi.

"Nggak," jawab Briana ketus, untung saja Pak Ridwad segera masuk, dan menghentikan percakapannya dan Nico, dalam hati, ia sangat berterima kasih pada kedatangan Pak Ridwan, karena itu ia tidak harus berlama-lama mengobrol dengan cowok yang kini duduk di belakangnya.

***

Satu bulan bimbingan telah berlalu, dia sangat bersyukur karena setelah itu ia bisa terlepas dari Nico yang sebulan ini hampir selalu berusaha menempel padanya, membuatnya sangat risih.

Dan hari ini pula lomba dilaksanakan, Briana menggigit kukunya karena terlalu gugup. Demi Tuhan, Briana belum pernah ikut lomba selain olahraga lari dan taekwondo, itu pun sudah setahun yang lalu.

"Lo tenang aja, jangan gugup, lo lasti bisa kok," kata Alexa yang datang menyemangati sahabatnya.

Mendengar hal itu Briana memeluk Alexa sekilas dan mengucapkan terima kasih. Sejenak ia melirik Nico yang malah asyik tertawa-tawa dengan Chelsea, tanpa ada perasaan gugup sama sekali, atau ia pandai menyembunyikan kegugupannya.

Briana lupa jika Nico sering memborong piala, pantas saja ia terlihat sangat santai, sangat kontras dengan dirinya.

Berkali-kali Briana menghela napas, sebelum masuk kedalam ruangan dimana nama sekolahnya dipertaruhkan.

Waktu menunjukkan pukul satu siang, Briana telah menyelesaikan dua sesi lomba, yang artinya ia sudah menyelesaikan semua tahapan lomba. Dengan perasaan lega ia keluar ruangan, lalu menghampiri Alexa yang masih setia menunggunya.

"Gimana tadi?" tanya Alexa.

"Ya gitu deh, pokoknya datang, kerjakan, lupakan," jawab Briana sambil tertawa.

"Kalau gitu, makan yuk, gue laper nungguin lo dari tadi," ajak Alexa.

Sebelum mereka pergi, Briana pamit kepada Pak Ridwan, guru pembimbingnya, dan untung saja diizinkan.

Setelah mendapat izin dari sang guru pembimbing, Briana dan Alexa bergegas menuju kantin universitas tempat Briana lomba.

Between Love and Dream (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang