01 | Awal Segalanya

55.4K 4.6K 569
                                    

Sekali kamu.

Akan selalu kamu.

•••


Sudah lima menit terlewat sejak suara terakhir di ruangan ini terdengar. Empat orang yang duduk di sana memilih bungkam atas alasan mereka masing-masing. Bu Maryam dan Gemilang karena menunggu, Nadine karena menolak, dan Raesangga karena tidak peduli.

"Pokoknya saya nggak setuju Bu, kalau Rae masuk ke dalam tim saya," Nadine berujar tegas. Suaranya keras dan tidak terbantah. "Acara sudah tinggal tiga bulan lagi, saya nggak mau ada yang mengacau di acara saya."

Semua orang di sana sebenarnya sudah bisa menebak bagaimana reaksi Nadine terhadap permintaan bu Maryam, tapi tetap saja mereka membiarkan cewek itu menyatakan perlawanannya.

"Loh, kenapa Nadine? Bukannya kalian teman dekat?" Bu Maryam pura-pura terkejut.

Pernah dekat, Nadine menggerutu dalam hati.

"Justru itu saya tahu, kalau Rae nggak akan bisa jadi panitia acara ini," kata Nadine tanpa tendeng aling. Ia membicarakan Rae, seolah-olah cowok itu tidak berada di sana. "Ibu lupa, berapa kali dia bolos ujian dengan alibi mau naik gunung? Dan jangan lupa juga, dari lima hari jadwal masuk sekolah, dia selalu terlambat selama tiga hari dan dua hari sisanya justru nggak masuk. Yang wajib aja nggak dia jalanin, gimana yang sifatnya cuma volunteer begini?"

Cowok berbadan tegap yang sejak tadi diam, akhirnya menyentakan tubuhnya kesal. Rambutnya yang mulai lebat jatuh begitu saja di dahinya. "Enak aja lo kalo ngomong! Gue udah dua minggu sekolah full ya!"

Rae memang sudah menduga, bahwa Nadine tidak akan setuju untuk memasukan namanya sebagai volunteer Paramitha Festival. Namun ia tak menyangka bahwa Nadine itu akan membeberkan daftar dosanya sebagai argumen penolakan.

"Iya, tapi lo dateng jam sepuluh pagi! Lo kira ini sekolah punya bokap lo?!" Nadine berseru kesal. Ia bahkan lupa keberadaan bu Maryam di ruangan ini.

"Loh? Emang iya kan?" Rae menyengir lebar, hingga lubang di tulang pipinya terbentuk. Dengan gaya santai, ia menyandarkan tubuhnya di sofa.

Nadine mengembuskan napas gusar. Ia lupa bahwa pemuda di depannya ini selalu pandai menggunakan privilese yang ia miliki. Status Rae sebagai pewaris tunggal Danureja Grup, seringkali membuat pemuda itu bersikap semena-mena. Termasuk dalam urusan sekolahan.

"Jadi anak pemilik yayasan nggak lantas membuat kamu otomatis bisa lulus Rae," Bu Maryam tiba-tiba berujar, mematahkan kesombongan yang baru Rae pamerkan. Perempuan awal empat puluh itu menunjuk deretan presensinya yang didominasi warna merah. "Orang tua kamu juga sudah setuju untuk memberikan kewenangan penuh pada sekolah untuk menghukum kamu, artinya beliau juga sudah setuju jika kami harus mengeluarkan kamu."

Rae nyaris tersedak air liurnya sendiri. Dikeluarkan dari sekolah yang didirikan oleh perusahaan Ayahnya dan menggunakan nama Ibunya tentu saja bukan hal yang lucu sama sekali. Rae mungkin slengean, tapi dia masih punya harga diri.

"Bu, yang benar aja, masa nasib ijazah saya benar-benar harus ditentuin dari acara ini, sih?" kini Rae yang ikut protes.

"Pede banget lo, memang siapa juga yang bakal izinin lo buat jadi volunteer acara ini?" Bukan Bu Maryam, justru Nadine yang membalas Rae sengit. Mereka bahkan sepertinya lupa dengan keberadaan guru mereka sendiri.

"Lo yang kepedean, siapa juga yang butuh izin lo? Lagian lo tuh harusnya bersyukur kalau seandainya gue bener ikut!"

"Apa yang harus disyukurin dari keberadaan orang yang lebih hapal jalan ke kantin daripada ke kelas?!"

MencintaimuWhere stories live. Discover now