29 | Luka-Luka

13.5K 2.3K 411
                                    

Cinta bisa memelukmu begitu erat, menggenggammu terlalu kuat.
Hingga ketika kehilangannya, kamu hanya akan merasakan satu hal; kehampaan.

•••

Sudah beberapa jam terlewat sejak matahari beranjak turun menuju peraduannya, namun Rae seolah masih tidak mengenal lelah. Kaki panjangnya berlari tak tentu arah menggiring bola, lantas menembaknya menuju gawang buatan dalam sekali tendang.

“Bang, udahan ayok! Eug capek banget asli!” Icang, seorang anak berkaus biru pudar berteriak dari arah gawang. Napasnya sudah putus-putus. Selain Rae, hanya dia dan dua anak lainnya yang masih bertahan di lapangan.

Sudah empat jam mereka meladeni kegilaan Rae bermain bola tanpa aturan seperti ini. Tidak peduli berapa banyak pun personil yang tumbang, Rae tetap tidak mau menyelesaikan permainan ini.

“Nggak kuat aing, sumpah, Yon, Cang, bilang abang bisa mokad aing,” Toto yang biasanya punya stamina paling kuat akhirnya ikut menjatuhkan dirinya.

“Cang, udah ayok, kita istirahat aja, si abang kayaknya emang niat bunuh diri, eug mah masih mau idup, kasian mamak kalo eug mati duluan!” Oyon akhirnya memaksa Icang untuk ikut bergabung merebahkan dirinya di pinggir lapangan.

“Ah, cups lo semua!” Rae berteriak tapi tetap tidak peduli. Kakinya terus berlari menggiring bola walau lawan, tanpa kawan.

Rae bahkan sudah tidak peduli pada telapak kakinya yang berdarah atau pun teman-temannya yang terkapar lelah. Belum hilang. Belum lenyap. Sesak itu tidak juga punah.

Papanya bukan orang baik.

Ayah Gemilang meninggal dengan cara yang tidak adil.

Keluarga Gemilang terpuruk karena Papanya.

Papanya yang bertanggung jawab atas semua kesulitan yang dialami keluarga Gemilang.

Dan sekarang Papanya berniat merampas mimpi Gemilang.

Bagaimana?

Bagaimana caranya menghadapi Gemilang?

Bagaimana cara menebus semua dosa yang dilakukan keluarganya terhadap keluarga sahabatnya sendiri?!

Bagaimana Rae harus berpura-pura bahwa mereka baik-baik saja sementara ia sudah tahu kebenarannya?!

Argh!” Rae berteriak marah, lantas membanting tubuhnya di atas tanah lapang. Napasnya memburu keras, tapi nyaringnya tetap kalah dengan jeritan dalam hatinya.

Jantungnya berdegup kencang, jelas tengah protes karena dipaksa kerja habis-habisan. Tapi Rae tahu, ada yang jauh lebih sakit di dalam dadanya. Sesuatu yang letaknya kadang tak mampu ia jelaskan lewat logika dan wujudnya memang tak kasat mata. Sesuatu yang membuatnya merasa bahwa ia bahkan tak pantas menghirup udara yang rasanya memang hanya segenggam kepalan tangannya. Sesuatu yang membuat Rae ingin hilang, pergi ke tempat terjauh, lari dari semua kenyataan yang harus ia hadapi setelah ini.

Tapi Rae tahu, ia tidak bisa.

Ia tidak punya jalan keluar atau pun pilihan untuk lari.

Sorry Gem, I'm so sorry.

Rae memejamkan matanya, membiarkan setetes kristal jatuh dari sudut matanya, sebagai perwakilan atas lukanya.

Sekali lagi, kenyataan itu berhasil meremukannya.

MencintaimuWo Geschichten leben. Entdecke jetzt