18 | Selembar Sapu Tangan

13.8K 2.6K 594
                                    

Tidak ada yang lebih menyedihkan

daripada berpura-pura baik-baik saja,

saat kita tau bahwa sebenarnya segalanya sudah berantakan.

•••

Nadine sama sekali tidak mendengarkan nasihat Rae di kantin siang tadi. Selepas pulang sekolah, tidak ada agenda yang Nadine rubah. Rapat tetap diadakan seperti biasa, gadis itu bersikap seolah tidak terjadi apa-apa—menerima laporan, membantah masukan, menerima saran, memberi pembagian tugas. Nadine bahkan tidak peduli pada anggota rapat yang hanya datang setengahnya, meski sebenarnya mereka semua tahu alasan rapat siang ini jauh lebih sepi peminat.

Gosip dan kabar yang beredar tentang keluarga Nadine rupanya sanggup membuat kredibilitas gadis itu diragukan di mata siswa SMA Paramitha. Mengingat sekeras apa Nadine dan berapa banyak orang yang ingin melihat kejatuhannya, tidak heran jika kabar ini justru menjadi berita baik bagi sebagian besar siswa.

Dari kursinya Rae hanya bisa memperhatikan gadis itu dengan seksama. Sesekali, ia membagi tatapannya pada Btari dan Gemilang. Keduanya tampak lebih memahami Nadine. Mereka bersikap seperti biasa, seolah ingin mengimbangi Nadine yang tengah berusaha untuk bersikap baik-baik saja.

Raesangga menggelengkan kepalanya, membayangkan betapa kepala batunya gadis yang tengah berdiri di depan sana. Ibunya selingkuh, Ayahnya tidak sebersih yang selama ini ia duga, dan sekarang, teman-teman mereka mulai merundungnya. Itu seharusnya sudah cukup untuk membuatnya goyah atau pun menangis hebat, tapi Nadine tidak melakukannya. Rae bahkan tidak melihat jejak air mata atau pun mata sembab pagi tadi.

Rapat selesai tidak sampai setengah jam kemudian, tepat ketika Rae ingin menggeser kursinya, Olivia melenggang masuk begitu saja. Gadis itu tak peduli tatapan anggota OSIS yang mengarah kepada mereka. "Kamu pulang sama aku, kan?"

Tentu saja Rae tahu itu bukan pertanyaan apalagi permohonan. Oliv tengah berusaha memaksa. Rae tidak langsung menjawab pertanyaan Oliv, mata pemuda itu justru terfokus pada Nadine yang ada di meja terdepan. Gadis itu tampak sama sekali tidak peduli, ia sibuk merapikan alat tulis dan tumpukan berkas miliknya.

"Aw!" sebuah pekikan kecil lolos dari bibir Nadine. Suaranya mungkin tidak teraba oleh telinga lainnya, tapi Rae menangkapnya. Rae bahkan tahu penyebab pekikan tersebut adalah sisi kertas yang melukai ujung telunjuk Nadine.

Rae refleks ingin menghampirinya, namun Oliv terlanjur mencengkram pergelangan tangannya. "Kamu mau ngapain?"

Rae membagi tatapannya antara Oliv dan Nadine. Nadine tampak mengabaikan luka barusan. Gadis itu kini sudah menyampirkan ranselnya, siap meninggalkan ruangan. Rae mengesah pelan ketika gadis itu nyaris menabrak kursi. Rae tahu, Nadine sebenarnya tidak baik-baik saja, ada badai dalam kepala gadis itu yang mati-matian berusaha diredam.

"Rae, jangan coba-coba mikir mau pulang sama Nadine," tentu saja Oliv mengatakannya degan kalimat peringatan, tapi tentu saja juga Rae sudah sama sekali tidak peduli.

Matanya tetap mengikuti punggung Nadine hingga gadis itu melewati pintu dan perlahan hilang ditelan jarak.

"Rae, kamu dari tadi denger aku nggak, sih?"

Rae menyampirkan ranselnya, lalu menyahut tak acuh. "Terserahlah."

"Kita sekalian makan?"

Rae menggeleng. "Nggak, aku mau makan di rumah Btari, terserah kalau mau ikut, tapi kamu bilang kamu nggak suka sama Btari kan?"

"Aku... nggak bilang gitu."

"Aku belum pikun dan nggak akan lupa sih, sama hal-hal semacam itu."

MencintaimuWhere stories live. Discover now