35 | Sebentuk Maaf

13.6K 2.2K 363
                                    

Satu-satunya alasan mengapa kita bisa membenci orang yang kita cintai adalah karena kita terlalu mencintainya—dan terlalu terluka karenanya.

•••

Suara-suara kecil di sekitarnya membuat Nadine membuka matanya perlahan. Ia menyipit ketika sinar matahari sampai di retina matanya tanpa aba-aba. Dengan kelopak yang masih setengah tertutup, gadis itu meraba tempat tidurnya, lantas mengesah berlebihan ketika melihat angka yang tertera di layar ponselnya. Pukul 8 pagi. Sudah terlalu terlambat untuk pergi ke sekolah, tapi Nadine tak peduli, kemarin ia dan Rae memang sepakat untuk membolos satu hari lagi.

Entah karena terlalu lelah, atau lega setelah berhasil menemukan Rae, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Nadine kembali bisa tidur nyenyak semalam.

Nadine merenggangkan tubuhnya, namun gerakannya terhenti ketika menemukan seseorang yang tengah membuka bungkusan bubur ayam di meja dekat jendela.

“Mama?” panggil Nadine setengah tak percaya. Kat mengangkat kepalanya dan tersenyum canggung.

“Udah bangun, Nadine? Kamu tidurnya pulas banget jadi Mama nggak bangunin, sarapan dulu yuk,” kata Kat. Tampak jelas wanita itu tengah berusaha keras menormalkan intonasi suaranya. “Mama sengaja beli bubur dekat rumah kesukaan kamu, Mama pikir kamu bosan sama breakfast hotel.”

Nadine menggaruk tengkuknya tak kalah linglung. Kalau ini beberapa hari yang lalu, Nadine pasti tak segan-segan melempar ucapan-ucapan ketus pada Mamanya, tapi berkat pembicaraannya dengan Raesangga kemarin malam, ada bagian dari diri Nadine yang menyadari sesuatu; bahwa seberapa pun marah dan kecewanya ia pada Mamanya, pada akhirnya membenci beliau hanya akan menyiksa dirinya sendiri.

Nadine akhirnya beringsut lalu menjatuhkan tubuh di kursi depan Mamanya. Dengan gerak kaku, ia menerima sendok dan sterofoam yang Katreena serahkan.

Selama beberapa lama hening membungkus keduanya, tapi tak ada yang berniat meretakannya. Untuk dua orang yang terbiasa saling melemparkan kata-kata menyakitkan, sunyi ini justru terasa lebih nyaman.

“Kemarin kamu nggak sekolah?” pertanyaan Kat membuat Nadine mengangkat kepalanya. Seolah paham putrinya butuh penjelasan, Katreena pun meneruskan. “Mama kemarin ke sekolah kamu, tapi katanya kamu nggak masuk.”

Nadine menganggukan kepalanya mengerti. “Baru kemarin kok, Senin juga aku masuk.”

“Hari Senin kamu ujian?”

Nadine menghentikan gerakan tangannya, matanya menatap Mamanya bingung. Ia tak menyangka bahwa wanita itu tahu jadwal ujiannya.

“Mama dengar dari Bu Maryam, kemarin Mama banyak ngobrol sama beliau.”

Genggaman sendok di tangan Nadine otomatis mengerat. “Mama cerita apa aja sama Bu Maryam?”

Kat terdiam, lalu meletakan sendoknya. Ternyata biar bagaimana mereka tak bisa membiarkan segalanya berlalu seperti tak terjadi apa-apa. Kat tetap berhutang banyak maaf dan banyak penjelasan.

“Mama dan Papa memutuskan untuk bercerai, Nadine.”

Nadine melepas napas keras, rupanya sulit sekali berdamai dengan Mamanya. Gadis itu meletakan sendoknya, lalu menyorot Mamanya dengan tatapan tajam. “Telat banget kasih tau aku sekarang, satu Indonesia juga udah tau.”

“Dan Mama memutuskan untuk pisah sama Om Primus.”

“Itu juga aku udah—Hah?!” Nadine menatap Mamanya bingung, tak percaya dengan kalimat yang ia dengar barusan.

Kat mengela napas, lalu meremas tangannya di bawah meja. “Mama tahu ini sudah sangat terlambat, dan seberapa  kali pun Mama meminta maaf, Mama nggak akan bisa hapus kesalahan Mama yang dulu, nggak akan bisa nyembuhin luka kamu, tapi Nadine kali ini Mama serius, Mama ingin mulai semuanya dari awal lagi, tanpa Papa kamu atau pun Om Primus. Mama mau mencoba sekali lagi menjadi Ibu yang baik buat kamu.”

MencintaimuWhere stories live. Discover now