14 | Hak Untuk Bermimpi

14.8K 2.5K 215
                                    

Jauh dari genggamannya,

Jauh dari jangkauannya,

Mimpi-mimpi itu berserakan,

Menunggu untuk dijemput olehnya.

•••

Ada tempat-tempat yang tidak pernah tidur. Tak peduli siang atau malam, terang atau gelap, tempat-tempat seperti itu akan selalu hidup tanpa mengenal waktu. Di antara semua tempat tersebut, rumah sakitlah yang menjadi tempat favorite Gemilang. Di gedung besar berbau cairan disinfektan itu orang-orang berlalu dengan raut serupa; lelah, sedih, dan sakit. Namun di sana pula, harapan-harapan tumbuh, doa-doa berterbangan, nyawa menjadi harga mutlak yang harus diperjuangkan. Dengan segenap ketulusan orang-orang berusaha menyelematkan satu sama lainnya. Tempat ini adalah ruang bagi para pekerja atas nama kemanusiaan.

Alasan-alasan tersebutlah yang membuat Gemilang rela menukar hari liburnya demi sebuah ranjang kecil di ruang istirahat dokter. Ia tak pernah keberatan jika harus tinggal lebih lama dari jam kerjanya.

Jam digital di kamar operasi menunjukan pukul 22:10, artinya sudah empat jam ia berusaha menyelamatkan nyawa seorang di dalam sana. Setelah melepas jubah hijaunya, Gemilang keluar menemui keluarga pasien yang menunggu dengan perasaan cemas.

Kelegaan tampak di wajah mereka saat Gemilang menjelaskan bahwa Bapak pengidap jantung kronis itu telah berhasil ia selamatkan. Hatinya menghangat kala melihat keluarga tersebut berulang kali mengucap syukur.

Rasa syukur itu, kelegaan itu, kebahagiaan itu bukanlah sesuatu yang bisa ia dapatkan ketika Ayahnya di ambang kematian.

Gemilang memejamkan matanya di kursi putar, berusaha melepas lelah setelah bekerja begitu keras. Namun belum sepuluh menit berlalu, seorang suster masuk ke dalam ruangannya. Dengan raut tegang, suster tesebut mengatakan bahwa pasien yang baru saja mereka selamatkan mengalami komplikasi. Tanpa pikir panjang, Gemilang berlari menuju ruang ICU.

Di atas ranjang, tubuh pasien sudah melemah. Bed side monitor di sampingnya menunjukan diagram tidak beraturan dengan suara nyaring yang memekakan telinga.

Gemilang menekan tombol lift berulang kali, tapi kotak besi itu tak kunjung terbuka. Dengan tergesa ia berlari menaiki tangga.

Tubuh pasien mulai mengejang, sosok renta itu terlempar beberapa kali di atas ranjang. Suster-suster mendorong meja berisi alat medis, mendikte tanda vital pada seorang dokter jaga. Kepanikan menjalar dalam seketika.

Gemilang terus memperlekas langkahnya, ia bahkan tak peduli pada kakinya yang baru saja terantuk anak tangga. Dalam kepalanya terbayang wajah keluarga pasien yang tadi mengucapkan terima kasih padanya. Istri pasien yang rambutnya sudah memutih, dan dua anak gadis yang akan jadi yatim jika Gemilang gagal menyelamatkan beliau.

Setelah sekian menit terlewat namun CPR mau pun defibrilator tak kunjung membawa denyut pasien itu kembali, usaha itu akhirnya berhenti. Seketika ruangan tersebut dihuni oleh hening, kecuali dari suara monoton yang paling mereka benci. Seluruh gerakan dalam ruangan itu terhenti, termasuk langkah Gemilang yang muncul dari balik pintu.

Terlambat.

Gemilang tahu, ia terlambat.

Pasien ini tidak lagi terselamatkan.

Terseok-seok Gemilang menyeret langkah kakinya. Matanya nanar kala ia menemukan tangan pasien yang terkulai jatuh. Pria ini adalah pasiennya, Gemilang lah yang bertugas membacakan waktu kematiannya.

MencintaimuDär berättelser lever. Upptäck nu