17 | Bagaimana Jika?

14K 2.5K 378
                                    

Di tempat itu, aku pahami sebuah paradoksal.

Saat dunia memaksa kami menyerah, dan menuntut kami untuk lapang, aku paham bahwa semesta tak melulu bekerja dengan cara yang masuk di logika.

Bagaimana bisa ikhlas menjadi sebuah keharusan ketika sebenarnya mengikhlaskan sendiri adalah kata kerja yang patutnya terjadi dengan penuh kerelaan.

•••

Entah ia memang sedingin itu, atau hatinya terbuat dari batu. Pasca berita yang menggegerkan—bukan hanya satu SMA Paramitha, tapi juga satu Indonesia. Siapa yang menyangka bahwa Nadine Wisesa Putri, anak dari Harun Wisesa yang seharian kemarin berdengung di televisi sebagai mafia pajak, hari ini tetap masuk ke sekolah. Gadis itu bersikap seolah-olah badai yang baru menghantam keluarganya hanya seringan hembusan angin di sore hari.

"Aku nggak nyangka mental dia kuat juga," ujar Oliv seraya melirik Nadine di antara sela-sela kerumunan. Tubuh mungilnya membuatnya leluasa berdiri di samping Rae yang bertubuh besar. Saat ini, mereka berdua tengah mengantre di salah satu konter bento. Atas permintaan Oliv, Rae akhirnya bersedia menghabiskan waktu istirahat mereka di sana. "Aku saranin, mulai dari sekarang kamu mulai jaga jarak sama dia Rae, demi nama baik Papa kamu juga."

"Dia bodoh atau apa, sih?" gumam Rae pada dirinya sendiri.

"Hah?" Oliv mengerutkan dahi bingung, lantas mengerti siapa objek yang jadi pembicaraan Rae. "Jangan dilihatin, kamu perlu jaga jarak sama dia Rae."

Rae tidak menjawab Oliv, matanya justru terpatri pada punggung Nadine yang tegap di salah satu kursi kantin. Rae tidak habis pikir kenapa gadis itu harus memaksakan diri masuk sekolah dan makan di kantin, sedangkan jelas-jelas ia tengah menjadi pusat perhatian. Beberapa kali Rae bahkan mendengar para siswa membicarakan Nadine degan terang-terangan.

"Nggak nyangka gue, kita satu sekolah sama anak mafia pajak."

"Gue bilang apa, jangan percaya sama pejabat, lo liat bokapnya Nadine kurang malaikat apa? Tahunya busuk juga."

"Udah gitu muka tembok banget lagi anaknya tuh, sok berkuasa, sok galak, sok disiplin, anak pensi aja tuh udah gerah sebenernya dipimpin sama dia."

"Jangan-jangan duit pensi dia tilep juga lagi."

"Eh, udah denger belum sih, nyokapnya kan juga selingkuh, si Saskia pernah mergokin nyokapnya jalan sama cowok lain."

"Eh sumpah lo? Nyokapnya yang mantan model itu?"

"Pantas sih, keluarganya hancur, anaknya dikasih makan uang haram."

"Nih, makanan kamu, ayo kita makan di tempat lain aja," Oliv menyerahkan sekotak bento pada Rae, lalu mengamit lengan pemuda itu. Berniat membawanya pergi dari sini.

Rae mengembuskan napas pelan lalu melepaskan tangan Oliv lembut. "Kamu makan sendiri dulu, aku ada urusan."

Mata Oliv memicing, ia sadar betul urusan apa yang Rae maksud. "Jangan bilang kalau kamu mau—"

"Sorry kalau memang nyakitin, tapi aku memang mau nemenin Nadine makan siang."

Setelah mengatakan kalimat tersebut, Rae meninggalkan Oliv di tempatnya. Dengan langkah-langkah besar, ia membabat jarak antara ia dengan Nadine, tanpa tahu bahwa ada hati yang retak di belakang sana.

Tanpa peduli, bahwa di tempatnya Oliv mematung, menyaksikan Rae dengan mudah mematahkan hatinya sekali lagi.

•••

MencintaimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang