33 | Pulang

14.3K 2.3K 477
                                    

Katanya, rumah bukan hanya tentang bangunan di mana kamu bisa tinggal.
Namun juga sepasang lengan yang menyambutmu tiap kamu kesepian.

•••

Rupanya ada yang lebih sakti daripada kehadiran seorang Nadine Wisesa, yaitu sebuah pesan suara dari Btari Lituhayu. Kemarin malam, setelah pertanyaan kramat yang belum sempat Nadine jawab, kecanggungan yang luar biasa mengisi di antara mereka berdua. Baik Nadine mau pun Raesangga setidaknya butuh sepuluh menit untuk benar-benar kembali memegang kendali mereka sendiri.

Saat degup jantungnya sudah lebih stabil, dan aliran darahnya sudah tidak sederas sebelumnya, Nadine akhirnya teringat dengan keadaan Btari di Jakarta. Rae tentu saja belum mendengar soal keadaan Bapaknya Btari. Ponsel pemuda itu mati sejak hari pertama ia melarikan diri.

Akhirnya, setelah menyalakan lagi benda pipih tersebut dan mendengar voice note yang Btari tinggalkan, tanpa berpikir dua kali pemuda itu langsung mengemas barang mereka. Bu Sukma sampai panik melihat Rae yang tiba-tiba mau pergi, padahal waktu sudah larut malam.

Dan di sinilah mereka sekarang, di lorong samping ruang tunggu keluarga pasien. Menatap ke arah Btari, Gemilang, dan Raden yang malam ini berjaga di sana.

“Ayo, lo udah nyogok supir taksi buat ngelanggar lampu merah tapi sekarang malah nggak mau masuk, gimana, sih?!” Nadine bersungut kesal. Bagaimana tidak, tindakan Rae tadi benar-benar membuatnya tercengang. Meski sudah berkali-kali Nadine jelaskan bahwa Btari baik-baik saja, Rae tetap memaksa supir taksi online yang mereka tumpangi untuk mengemudi dengan kecepatan gila-gilaan.

Bukan apa-apa, alih-alih jadi pengunjung mereka bisa jadi pasien! Untung supir taksi tersebut masih cukup waras untuk tidak membiarkan Rae mengambil alih kemudi.

Tunggu dulu, berbicara soal mengemudi, Nadine baru sadar sesuatu. “Rae, lo ke Bekasi nggak bawa mobil?”

“Bawa, gue tinggal di stasiun.”

Mata Nadine sontak terbelalak, mau tak mau ia memukul bahu pemuda di sampingnya. “Lo gila y—hmpf.”

Kalimat Nadine terhenti karena Rae yang tiba-tiba membekap mulutnya. Setelah memastikan bahwa tak ada satu pun orang yang mendengar suara Nadine, barulah Rae melepas bekapannya.

Please, itu bener-bener nggak penting sekarang, Nad,” Rae berujar setengah memohon, ekspresi dan nada suara cowok itu mau tak mau membuat alis Nadine bertaut.

Rae yang tadi langsung mau menemui Btari, pemuda itu juga yang bersikeras untuk secepat mungkin sampai ke Rumah Sakit, tapi kenapa justru sekarang ia enggan menemui Btari?

“Lo kenapa, sih sebenernya?” Nadine mau tak mau mengutarakan isi pikirannya, tapi raut wajah Rae justru tampak kian bersalah.

“Gue nggak bisa ke sana...” ujar Rae dengan kepala tertunduk, matanya menatap lurus pada ujung sepatu mereka. “Ada Gemilang di sana.”

Nadine membagi tatapannya antara Rae, dan Gemilang yang tampak tengah menyantap pop mie bersama Raden. Berbeda dengan kekalutan yang tampak di wajah Rae, Gemilang kelihatan begitu tenang seperti biasanya, bahkan beberapa kali Nadine menemukan cowok itu yang tertawa karena obrolan yang Raden lontarkan.

“Lo beneran nggak mau ketemu Gemilang?” nada suara Nadine akhirnya melembut. “Mau sampai kapan? Memang lo bisa jauh dari dia?”

Rae menggelengkan kepala, persis seperti anak kecil yang tengah dimarahi ibunya. “Nggak sekarang... gue belum siap.”

“Kalau ketemu Btari mau?”

Rae kontan mengangkat kepalanya, matanya menatap Nadine penuh harap. “Mau.”

MencintaimuWhere stories live. Discover now