28| Es Krim Strawberry

13.3K 2.3K 405
                                    

Pada satu titik, kenangan paling indah pun bisa berubah menjadi sesuatu yang paling menyakitkan ketika kita sadar;

kita tak punya kesempatan untuk kembali, dan hari esok segalanya tidak akan sama lagi.

•••

Katanya, selain cinta Tuhan pada hambanya, cinta paling abadi adalah cinta orang tua pada anak-anaknya. Raden percaya hal itu. Ia percaya bahwa sekalipun dengan cara yang sulit ia mengerti, Bapak dan Ibu menyayangi mereka tanpa tapi dan tanpa terkecuali.  Namun, orang-orang tidak pernah bertanya sebesar apa cinta seorang anak pada orang tuanya.

Orang-orang menganggap bahwa satu-satunya cara mengukur kasih sayang anak pada orang tuanya adalah dengan melihat seberapa patuh anak tersebut. Mereka lupa, bahwa setiap orang memiliki bahasa kasihnya masing-masing.

Dari dulu sampai sekarang, Bapak adalah laki-laki nomor satu baginya. Meski ia membantah, menentang, bahkan melawan pria itu terang-terangan, tapi Raden pastikan bahwa ia selalu jadi garda terdepan jika ada seseorang yang berusaha menyakiti keluarganya. Sayangnya, ia pun tidak tahu bagaimana cara mengatakan hal tersebut pada keluarganya. Raden tidak tahu bagaimana caranya menunjukan pada Bapak bahwa ia masih peduli, jika sejak awal bahasa mereka terlalu bertentangan. Hingga perlahan perbedaan itulah yang membuat mereka jadi dua orang yang nyaris asing sama sekali.

Raden tersenyum pahit. Percakapannya dengan Ibu kemarin membuat rasa bersalah memeluknya kian erat. Seandainya ia bisa menahan dirinya, seandainya hari itu Raden bisa lebih mengalah, atau mungkin lebih baik jika ia tidak pulang sekalian, maka mungkin Bapak masih baik-baik saja hari ini.

"Mas, beneran nggak mau pulang dulu?" suara Btari berhasil memecah lamunan Raden. Pemuda itu mengangkat kepalanya hanya demi menemukan Btari yang menatap khawatir padanya. "Mas sudah tiga hari loh nggak tidur, pulang dulu Mas, istirahat sama Ibu."

"Dinda udah datang?" Bukannya mengiyakan saran Btari, Raden justru melirik jam yang sudah beranjak menuju angka delapan. Berbeda dengan dirinya yang punya pekerjaan dengan waktu sangat fleksibel, Dinda tidak bisa izin dari kantornya lebih dari satu hari. Jadi mau tidak mau adiknya itu tetap pergi ke kantor.

Btari melirik jam di pergelangan tangannya. "Mungkin sebentar lagi sampai, katanya hari ini memang nggak bisa on time."

"Oke, Mas tungguin Dinda, kamu sama Ibu pulang aja dulu, malam ini kalian tidur di rumah aja, kamu juga belum pulang dari kemarin."

Mendengar kalimat Raden raut wajah Btari justru kian khawatir. Tanpa disuarakan pun Raden tahu apa yang membuat Btari cemas. Hubungannya dengan Dinda jauh dari kata akrab, sebaliknya mereka seperti dua magnet dengan kutub yang serupa. Selalu menolak keberadaan satu dan yang lainnya. Namun Raden juga sadar, bahwa sekarang ini bukan saat yang tepat untuk memikirkan ego mereka masing-masing.

"Tapi Mas..."

"Mas nggak apa-apa, Bi, kita nggak mungkin kan ninggalin Bapak sendiri, atau biarin Ibu pulang sendirian? Kasihan."

"Makanya aku bilang, Mas pulang biar aku yang jaga Bapak," Btari membantah keras kepala.

"Bi..."

"Mas..."

Raden mau tidak mau tersenyum ketika melihat raut keras adik bungsunya. Btari itu kelihatannya saja lunak, dalamnya justru sangat keras kepala.

"Bawain Mas baju ganti aja, nanti Mas mandi di sini."

Btari justru makin melotot. "Mas! Mas itu harus pulang, istirahat, bukan cuma mandi doang! Jangan sampai ya Mas, kita ketambahan satu pasien lagi!"

MencintaimuWhere stories live. Discover now