04 | Kekalahan Yang Lainnya

23.6K 3.6K 501
                                    

Terkadang, hanya raganya yang ada dalam genggaman.

Hatinya sudah lama tak menyebut kata pulang.

•••

"Ini sama sekali nggak lucu, Rae." Olivia menyentakan kakinya kesal, tapi usaha itu masih belum cukup untuk meraih perhatian pacarnya. "Kamu bisa nggak, sih serius sebentar aja?!"

Rae tetap mengabaikannya, cowok itu masih sibuk memantulkan bola di atas lapangan. Rae berlari kecil beberapa langkah, lantas melemparnya tepat di luar kotak.

Shoot.

Tiga angka tercetak dalam sekali tembak.

Rae bersiul panjang, dalam hati ia bertanya-tanya, kenapa juga yang jadi kapten basket bukannya dia, justru Gio yang kemampuannya pas-pasan itu?

Hadeh.

"Rae, aku mau ngomong!" Oliv akhirnya menjerit kesal. Suaranya bergema dalam lapangan basket indoor tersebut. Oliv tidak suka konfrontasi terang-terangan, ia selalu tahu, bahwa Rae bukanlah orang yang bisa ia lawan. Namun kali ini kesabarannya sudah habis. Gio yang menjemputnya di rumah dan kehadiran Nadine bersama pacarnya pagi tadi bukan sesuatu yang bisa ia toleransi.

Rae akhirnya menahan bola oranye di tangannya, lalu berbalik menghadap Olivia. "Ngomong aja, dari tadi kamu ngapain memang? Qasidahan?"

Jarak mereka yang tidak terlalu jauh, membuat Rae dapat melihat sekeras apa raut wajah pacarnya.

"Pagi-pagi bilang nggak bisa jemput, terus nyuruh Gio jemput aku dan tiba-tiba datang ke sekolah bareng Nadine, mau kamu apa, sih? Kamu mau tukeran pacar?!"

"Kamu mau nggak sama Gio?" balas Rae polos. "Dia lumayan juga, walau tetap kalah segala-gala-galanya dari aku, sih."

"Raesangga!" Olivia menjerit keras. Mulai lelah diperlakukan semena-mena. Rae sendiri tidak habis pikir kenapa Oliv sekarang semakin posesif, padahal hubungan mereka bukan jenis hubungan yang dibangun atas dasar suka sama suka.

"Kemarin kamu marah sama aku karena nggak bilang soal volunteer, terus bilang mau berangkat sendiri, aku udah kirim supir buat kamu, kamu masih protes juga?" Rae berdecak heran. "Bagian mana yang salah sih?!"

"Aku nggak suka kamu dekat-dekat sama Nadine, kurang jelas?!"

"Jelas sih, sebenernya." Rae menganggukan kepalanya, tapi dari gesturenya Oliv tahu, ia belum menang. "Tapi aku nggak deket-deket kok, orang di mobil tadi juga Nadine duduknya di passanger seat, nggak mau aku pangku, jadi ya nggak sedeket itu juga."

"Rae, aku serius, aku nggak suka kamu deket-deket Nadine atau punya urusan apapun sama dia!"

"Aku juga serius kok, Nadine nggak mau aku pangku, padahal aku udah bilang bisa hemat tempat kalo satu kursi berdua," balas Rae tak acuh. "Lagian kenapa, sih? Dia temennya Btari, temennya Gemilang."

"Tapi kamu nggak pernah anggap dia temen, iya kan?!"

Tuduhan Oliv tepat sasaran, tapi Rae tentu saja tidak akan mengakuinya. "Ya orang dia juga anggap aku bukan temannya, kayaknya sih nganggep aku musuh aja dia nggak sudi."

"Kamu sadar nggak sih, ini juga yang bikin aku nggak suka kamu berteman sama Gemilang sama Btari?! Kamu akan terus terlibat sama Nadine! Lagipula kamu bisa nggak sih sadar tempat kamu dimana?! Btari sama Gemilang nggak akan bawa keuntungan apa-apa untuk kamu!"

Tanpa Oliv duga, Rae melempar bolanya ke sembarang arah. Bola itu terpantul dengan keras, mengenai pembatas tribun lantas menggelinding dan berhenti tepat di kakinya. Detik itu pula Oliv tahu bahwa ia sudah melakukan kesalahan besar. Ia memang berhasil meraih perhatian Rae, tapi tentu saja bukan jenis perhatian yang ia ingin. Dengan raut dingin Rae mengambil langkah panjang menuju ke arahnya.

MencintaimuWhere stories live. Discover now