05 | Dunia Yang Berbeda

23.7K 3.4K 433
                                    

Ialah Pangeran yang tidak ingin kesepian, sekali pun tinggal dalam sebuah Istana.

•••

Danureja Karya yang merupakan pilar utama Danureja Group tentu tidak berdiri sendirian. Ada nama-nama keluarga lain yang andil dalam berkembangnya perusahaan raksasa tersebut. Diantara sekian banyak nama-nama tersebut nama Kartawidjaya dan Wibisana adalah dua yang paling sepuh. Dua keluarga tersebut pulalah yang paling kuat dan berpengaruh dalam pengambilan keputusan. Begitu pula cara Rae mengenal Olivia dan Giovano. Kakek Oliv dan Gio berkerja untuk Kakeknya, membangun Danureja Karya dari titik paling bawah, hingga akhirnya perusahaan konstruksi tersebut menggurita dan beranak-pinak dalam sektor lainnya. Dan sebagaimana hukum waris bekerja, kini orang tua-orang tua mereka pula yang duduk di panggung direksi, untuk selanjutnya diturunkan lagi pada mereka.

Maka dari itu ketika Rae dan Oliv mengumumkan hubungan mereka berdua, orang tua mereka tentu lebih bersorak dibanding mereka sendiri. Meski diam-diam Rae tahu, Om Galuh—ayah dari Gio—tidak benar-benar senang dengan berita tersebut, karena bagi Galuh hubungan Rae dan Oliv membuat putranya lagi-lagi kalah satu point dari putra Danureja.

Setelah beramah-tamah dengan Gio di rumahnya beberapa malam yang lalu, malam Rae harus kembali menjadi tuan rumah yang baik untuk keluarga Oliv. Tidak ada yang spesial dari malam ini, kecuali kenyataan bahwa hari ini Olivia dan keluarganya datang dengan sebuah ide baru; merancang masa depan Raesangga Danureja dan Olivia Kartawidjaya.

“Jadi, gimana Rae menurut kamu? Tutornya Oliv itu lulusan Oxford loh, Tante udah ngobrol dan dia setuju untuk ngajar private kamu berdua Oliv,” ujar Tante Fiona bersemangat, dan seingat Rae wanita itu sudah menyebut Oxford sampai empat kali selama beberapa menit terakhir. “Kan bagus kalau kamu sama Oliv bisa satu kampus.”

“Memang Oliv mau kuliah dimana? UI?”

Oliv menggelengkan kepalanya. “Target Oliv sih Stanford, Tan.”

“Apa? Stanford? HAHAHAHA!” Tawa Mamanya tiba-tiba menggelegar di ruang makan mereka. Mamanya menatap Rae dengan sorot menggelikan. “Kamu bercanda ya, Oliv? Anak ini nih, lulus aja belum tentu.”

Ouch.

“Ma,” Rae menegur Mamanya halus. Mengingatkan beliau, bahwa ia masih anaknya.

Mamanya mengibaskan tangan, masih berusaha meredakan tawa. “Sorry, sorry, Rae, Oliv lucu habisnya, Stanford bisa langsung tutup kalau tahu kamu niat daftar.”

Rae langsung merasa dilanda mental breakdown.

“Fi, bukan apa-apa ya, aku tahu niat kamu baik, tapi kamu kalau bercanda jangan kelewatan deh, kasihan Rae,” Mama menepuk-nepuk puncak kepala Rae. Dibanding anak kesayangan, cara Mamanya mengelus kepalanya mengingatkan Rae dengan perlakuan majikan pada anak anjing kesayangannya. “Kamu tahu nggak, anak ini aja nyaris dikeluarin dari sekolah, makanya sekarang dia ikut jadi volunteer Pensi. Keren kan?”

“Oh ya, Rae?” Tante Fiona tampak terkejut, tapi jelas bahwa wanita itu tidak setuju dengan gagasan Mamanya bahwa bergabung dengan volunteer sekolah adalah hal yang hebat.

“Iya, Ma, dan kayaknya sih Rae sangat menikmatinya, Alih-alih Rae, justru Oliv yang menyahut Tante Fiona. Gadis itu menekankan intonasinya pada ujung kalimat.

“Kamu nggak khawatir Mit? Rae sudah kelas tiga, loh, dia harus mulai serius belajar.”

Entah Rae harus bersyukur atau justru nelangsa tatkala Mamanya mengibaskan tangan dengan santai. “Nggak lah, anak ini mau disuruh serius belajar kayak apa juga nggak akan serius, Fi, jadi biarin deh dia jadi volunteer seenggaknya aku nggak perlu khawatir ini anak diculik dedemit gunung.”

MencintaimuWhere stories live. Discover now