34 | Kebenaran Malam Itu

13.1K 2.3K 363
                                    

Rupanya, dunia memang bukan tentang hitam dan putih.
Ada celah tipis antara yang benar dan yang salah, yang tepat dan keliru, antara cinta juga kebencian.

•••

Seperti yang sudah Rae duga, Mamanya langsung berhambur memeluknya tepat ketika Rae membuka pintu rumah.

“Kalau kamu tertekan di sekolah, bilang Rae, jangan lari gini, Mama janji bujuk Papa biar kamu berhenti sekolah aja,” ujar Paramitha di tengah-tengah isakan beliau, membuat Rae semakin dilanda rasa bersalah. “Enggak, kamu nggak usah khawatir, Mama nggak akan jadiin kamu tukang foto copy, kamu boleh jadi apa aja yang kamu mau, tapi jangan ilang kayak gini lagi ya, sayang? Mama bener-bener stress.”

Pada situasi normal, Rae yakin ia akan meledek Mamanya, tapi Rae tidak mau dikutuk jadi anak durhaka. Beberapa hari kemarin pasti berat untuk wanita itu, Rae bisa melihat kantung mata beliau yang menghitam dan wajahnya yang kini tampak tirus.

Rae mengusap bahu Mamanya lembut. “Maafin Rae ya, Mama?”

“Jangan gini lagi ya? Bener?” Mamanya menatap Rae khawatir. Rae tersenyum, lalu mengangguk yakin. Tubuhnya yang memang lebih besar daripada Mamanya, bisa membuat wanita itu tenggelam dalam rengkuhannya. “Kamu udah makan belum? Pasti belum makan deh? Jangan-jangan belum mandi juga? Buluk banget begini?”

Rae meringis kecil, matanya melirik jam yang menempel pada dinding. Pukul satu pagi. Sudah terlalu malam sebenarnya untuk adegan drama seperti ini, namun Rae merasa bahwa masih ada satu tugas lagi yang harus ia tunaikan malam ini.

“Papa udah tidur, Ma?”

Mamanya menggelengkan kepala dengan wajah tertekuk. “Belum, Mama lagi berantem sama Papa, dari kamu pergi nggak ada khawatirnya itu Papa kamu, malah kerja terus, lama-lama juga Mama bakar itu kantornya. Bisa-bisanya lebih sayang perusahaan daripada anak.”

Rae tersenyum pahit, lalu menganggukan kepalanya takzim. Sama sekali tidak terkejut dengan fakta barusan.

“Berarti Papa sekarang di ruangannya?”

“Iya, nggak usah ditemuin Rae, biarin aja Papa kamu tuh hidup sendirian, biar lihat nanti kalau udah tua, bisa apa sih itu perusahaan kalau nggak ada keluarganya.”

Rae mengusap punggung tangan Mamanya lalu bangkit dari sofa. “Rae mau temuin Papa dulu sebentar.”

“Nggak mau makan dulu?”

Rae menggelengkan kepala. Ia bahkan tak yakin bisa menelan makanan dengan benar.

Jarak dari ruang tamu dan ruang kerja Papanya tidak terlalu jauh, ia hanya harus melewati ruang keluarga untuk sampai di pintu raksasa yang terletak di bawah tangga. Namun entah kenapa, Rae merasa perjalanannya kali ini melelahkan. Jauhnya sekarang terasa berlipat ganda, dan langkah kakinya semakin memberat.

Ketika sampai Rae berhadapan dengan pintu jati tersebut, jantungnya berdebar tidak beraturan. Kecemasan menggapainya tanpa sanggup Rae cegah.

Bagaimana kalau pengakuan Papanya waktu memang benar?

Bagaimana kalau Papanya memang bersalah atas kasus tabrak lari tersebut?

Bagaimana caranya mereka memperbaiki segalanya?

Rae mengela napas beberapa kali sebelum memberanikan diri mengetuk pintu raksasa di hadapannya.

“Masuk,” suara berat Papanya terdengar dari dalam. Seperti dugaan Rae, Papanya tengah duduk di kursi kebesarannya. Di hadapan beliau terdapat buku tebal.

MencintaimuWo Geschichten leben. Entdecke jetzt