11 | Alasan Mimpi Pergi

19.1K 2.9K 410
                                    

Ia genggam erat-erat mimpinya, karena hanya itu yang tersisa untuknya.

Lantas ketika hal itu juga harus ia lepaskan, ia tahu ia telah kehilangan segalanya.

•••


Gemilang berdiri kaku di depan pintu ruang BK. Di tangannya selembar form rencana karir ia pegang erat-erat. Menyerahkan lembaran ini sama artinya dengan menyerah akan mimpinya. SMA Paramitha punya sistem sendiri dalam mempersiapkan siswanya sesuai dengan karir yang mereka pilih. Dalam kasus Gemilang, sekolah akan mengupayakan agar Gemilang tetap diterima di kampus dan jurusan pilihannya dengan menyiapkan kelas tambahan, Gemilang akan digenjot habis-habisan untuk menguasai soal-soal SBM Ilmu Sosial di kelas bimbingan khusus mereka. Kelas bimbingan tersebut mengelompokan siswa bedasarkan jurusan yang mereka minati. Itulah fungsi form ini.

Gemilang mengesah napas berat, sebagai siswa kelas XII, ia sadar betul ia tidak punya banyak waktu. Sekali ia terjun ke Sosial maka ia tidak punya waktu untuk mundur dan belajar Ilmu Alam.

Saat Gemilang ingin berbalik, wajah Ibu dan adik-adiknya muncul dalam benaknya. Hal itulah yang membuat Gemilang mengetuk pintu di hadapannya.

"Assalamuallaikum, Bu."

Dari tempatnya Bu Maryam menolehkan kepala, lalu tersenyum saat mendapati murid favoritenya berdiri di muka pintu.

"Wallaikumsalam, masuk Gemilang," wanita itu melambaikan tangannya mempersilakan Gemilang duduk di depan mejanya. "Ada apa? Raesangga berulah lagi?"

Gemilang otomatis menggelengkan kepala. Rae tidak membuat masalah apapun, malah bisa dikatakan beberapa minggu terakhir sahabatnya itu jauh lebih tenang.

"Saya ke sini mau menyerahkan ini Bu," Gemilang meletakan form perencanaan karirnya di hadapan Bu Maryam.

Wanita itu merapikan letak kacamatanya lantas meneliti formulir yang Gemilang serahkan. Sesaat, Gemilang dapat menangkap raut terkejut dari wajah Bu Maryam sebelum beliau sembunyikan lagi dengan lihai.

Bu Maryam berdeham, lalu menatap Gemilang lekat-lekat. "Gemilang, Ibu pikir kamu mau melanjutkan karir kamu di bidang medis, apa Ibu boleh tahu alasan kamu merubah jalur karir kamu?"

"Tidak ada alasan khusus Bu, saya hanya berpikir manajemen lebih cocok untuk saya."

Bu Maryam tersenyum. Setenang apapun Gemilang berusaha menutupi kebohongannya, Bu Maryam tetap dapat menangkapnya. Bu Maryam mengetikan beberapa kata di keyboard-nya, lalu memutar monitornya hingga menghadap ke arah Gemilang.

Pada layar tipis itu kini terpampang seluruh data milik Gemilang, Mulai dari data pribadinya, data orang tua, daftar nilai, hasil psikotest dan test kepribadian, hingga rencana masa depan yang disarankan. Semua itu tertera jelas. Bu Maryam bahkan punya rekam jejaknya saat ia menjadi relawan bencana alam dan Palang Merah Indonesia.

"Ibu tidak memaksa kamu untuk mengubah rencana karir kamu Gemilang, tapi data inilah yang membuat Ibu dan mungkin semua orang yang mengenalmu dengan baik beranggapan bahwa kamu mencintai dunia medis, terutama pada bagian ini," Bu Maryam merujuk pada form  cita-cita yang ia isi di kelas 10. Di sana ia jelas menuliskan dokter sebagai pekerjaan impiannya dan 'Ibu' sebagai alasannya. "Selain itu, Ibu bukannya meremehkan kemampuan kamu, tapi mengubah disiplin ilmu dari Alam ke Sosial bukannya hal yang mudah, kamu mungkin harus belajar keras untuk SBMPTN."

Gemilang meremas tangannya, matanya tertancap pada kolom cita-cita dan alasan yang Bu Maryam tadi tunjuk. Namun secepat keraguannya hadir, selekas itu pula kesadaran menghantamnya keras-keras.

MencintaimuWhere stories live. Discover now