20 | Satu Nama

14.8K 2.6K 620
                                    

Sekeras apapun aku menyangkal namamu akan selalu ada di sana,

hadir dalam ruang-ruang yang kuabaikan keberadaannya.

•••

Rae sudah tahu, jika perempuan adalah salah satu mahluk yang sulit dimengerti. Namun rupanya Nadine Wisesa berada dalam level kesulitan yang berbeda. Rae masih ingat betul bahwa semalam segalanya baik-baik saja. Nadine menangis di pelukannya, Rae berhasil memaksa Nadine makan sate ayam di dalam mobil, lantas mengantar gadis itu sampai ke kamar hotel. Nadine bahkan menggenggam tangannya saat gadis itu tertidur sepanjang perjalanan pulang. Tapi entah mengapa, hari ini gadis itu sudah kembali berubah seratus delapan puluh derajat.

Jangankan menemuinya, Nadine bahkan tak menjawab satu pun pesan dari Rae. Pagi tadi, Rae sengaja berangkat pagi-pagi untuk menjemput Nadine di hotel, tapi meski sudah menunggu selama hampir dua jam, gadis itu tak kunjung menemuinya. Rae baru meninggalkan lobby hotel setelah Btari menghubunginya dan mengatakan bahwa Nadine sudah di sekolah sejak pukul setengah enam. Hukuman keterlambatan dan ceramah panjang lebar di ruangan Bu Maryam membuatnya harus kembali menahan diri untuk menemui Nadine. Akhirnya, ia baru bisa bebas pada jam pulang sekolah.

Tinggal sepuluh menit lagi sebelum bel pulang berbunyi, tapi di balik mejanya, Rae jelas sudah gelisah. Bu Tarina—guru sosiologi kelas XII—masih menerangkan teori strata sosial di depan kelas, tapi meja sudah rapi dari semua alat tulis. Berani taruhan, jika Bu Maryam tidak mengancam akan menarik pemuda itu dari kepanitiaan dan menggantinya dengan hukuman yang lebih berat, Rae pasti lah sudah duduk manis di samping Nadine di kelas gadis itu, bukan di balik mejanya sendiri.

Sepuluh menit yang rasanya seperti dua belas jam itu akhirnya berakhir juga. Tepat ketika bel pertama berdering, Rae langsung melompat dari atas kursinya. Pemuda itu menyalimi tangan Bu Tarina, membiarkan guru dan seluruh teman sekelasnya kebingungan karena mereka bahkan belum menutup kelas dengan doa.

Dalam bayangannya Rae sudah menyiapkan seratus pertanyaan dan lebih banyak lagi sanggahan jika kelak ia dan Nadine berdebat panjang. Nadine setidaknya harus punya alasan untuk mengabaikannya setelah apa yang mereka lewati malam tadi. Jarak antara kelasnya dan kelas Nadine hanya terpisah dua kelas. Tentu saja, kelas gadis itu belum bubar ketika Rae sampai di sana. Ia hendak mengintip lewat pintu mau pun jendela, namun sayang dua akses tersebut tertutup rapat.

Akhirnya, Rae hanya bisa menyandarkan tubuhnya pada dinding di belakangnya. Sebisa mungkin mengatur napasnya yang sejak tadi memburu. Tak sampai lima menit kemudian pintu terbuka, satu persatu siswa kelas XII IPS 1 melewati Rae dengan tatapan heran. Meski begitu mereka semua tentu sudah tahu, hanya dua orang yang bisa menarik pemuda itu ke sini dengan air muka kalut; Btari dan Nadine.

Rae baru sadar bahwa baik Btari mau pun Nadine tidak ada di kelas setelah seisi kelas nyaris habis.

"Rae? Ngapain lo di sini?" Vira yang terakhir keluar menghentikan langkahnya saat melihat Rae yang melongok kelas kebingungan.

"Nadine sama Btari—"

"Loh, nggak tahu? Tadi abis istirahat Nadine sakit,jadi ditemenin Btari di UKS, nggak tahu deh sekarang udah balik apa belum."

"Oke thanks, Vir." Tanpa menunggu balasan Vira, Rae melangkahkan kakinya, tubuh tingginya dengan mudah membelah lautan siswa yang memang baru dimuntahkan dari pintu kelas. Beberapa kali Rae harus meminta maaf karena menabrak tubuh orang lain.

UKS SMA Paramitha berada di gedung yang sama dengan Perpustakaan dan deretan sekretariat ekskul. Untuk pergi ke sana, Rae setidaknya harus melewati lobby utama dan selasar yang diisi dengan koperasi dan ruang guru.  Langkahnya yang besar memangkas habis jarak tersebut dalam kurun waktu kurang dari delapan menit. Namun sayang, tak sampai seratus meter dari UKS langkah Rae justru memelan. Alih-alih Nadine dan Btari, Rae justru mendapati Oliv dan Btari di depan pintu UKS.

MencintaimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang