32 | Bukan Malaikat

13.9K 2.4K 659
                                    

Jika Tuhan memundurkan detik, lalu membiarkanku memilih; antara mencintaimu seraya menggenggam luka, atau tak mengenalmu lalu bahagia.

Maka akan tetap kupilih jalan yang sama.

Bertemu denganmu, mencintaimu, terluka karenamu, meski akhirnya harus melepaskanmu.

•••

“Kamu yang salah, minta maaf sana, kasihan si eneng, udah jauh-jauh ke sini malah dibikin nangis.”

Komentar Bu Sukma kontan membuyarkan lamunan Rae, pandangan mereka kini jatuh pada tempat yang sama; punggung Nadine yang duduk sendirian di bale depan rumah Bu Sukma.

“Gimana mau minta maaf Bu, Ibu nggak lihat tadi Rae ditonjok?” Rae menunjuk hidungnya yang berpotensi membiru karena pukulan Nadine tadi. “Anaknya juga tadi nangis kejer begitu, nanti kalo Rae deketin makin histeris gimana?”

“Ya terus gimana atuh? Mau biarin kitu si eneng di luar terus? Udah malem ini Rae, udah tiga jam juga dia diem aja di sana, mending kalo cuma masuk angin kalau masuknya yang aneh-aneh gimana? Tanggung jawab maneh?” berondong Bu Sukma galak, wanita itu berdecak lalu menggelengkan kepala kesal. “Nggak mungkin kamu tuh dipukul kalo nggak salah, udah buru samperin, ngapain juga cuma liatin dari sini, aya aya wae.”

Rae mencebikkan bibirnya, tapi tak pelak ia menurut juga. Tidak mungkin dia membiarkan Nadine semalaman di luar sendirian, dan sepertinya gadis itu tidak berniat masuk kalau tubuhnya tidak diseret.

Tadi, selepas adegan penonjokan sepihak yang dilakukan Nadine, gadis itu tiba-tiba saja menangis sesegukan. Tubuhnya sampai luruh menuju lantai. Baik Bu Sukma, Ipul, Aisyah sampai Raesangga dibuat terperangah karena reaksi yang gadis itu berikan.

Setelah Bu Sukma memeluk Nadine beberapa lama, barulah tangis gadis itu mereda. Rae yang saat itu masih dilanda shock jelas tidak bisa berbuat apa-apa. Tangisan histeris dan Nadine Wisesa tentu bukan sesuatu yang Rae bayangkan dapat ia lihat di dalam satu frame yang sama. Selepasnya, Nadine menolak untuk berbicara. Gadis itu hanya keluar dari rumah Bu Sukma, duduk di bale berjam-jam dan menganggap Rae sebagai arca yang patut diabaikan keberadaannya.

Enggak Rae. Nadine nggak akan nangis lagi.

Rae berusaha meyakinkan dirinya sendiri, sebelum menempatkan diri di samping gadis itu. Sejenak hening menjadi raja di antara mereka.

“Nad?”

Hening. Tak ada jawaban. Rae menggaruk tengkuknya bingung, berusaha mencari topik yang bisa ia angkat untuk memecahkan kesunyian ini.

“Lo apa kabar deh?”

Tetap tidak ada jawaban.

Demi Tuhan, Rae sama sekali tidak tahu bagaimana caranya berbasa-basi!

“Langitnya bagus ya? Bulan sama bintangnya—” Rae terdiam kala kepalanya terangkat. “Eh, nggak ada ya bulan sama bintangnya nggak kelihatan ehehe.”

Shit! Bego banget sih, Raesangga!

Rae meruntuk dirinya sendiri dalam hati. Orang tolol mana yang masih menganggap bahwa membicarakan langit dan cuaca bisa memecahkan kebekuan?!

MencintaimuWhere stories live. Discover now