MK - 7

1.7K 206 4
                                    


Tidak pernah menyangka bahwa pementasan yang diadakan oleh UKM Sensa begitu memukau netra. Iringan musik modern sampai tradisional, juga permainan drama begitu mengasyikkan hingga membuat sepasang bola mata Steffi tak ingin berkedip barang sedetik, dua detik. Menjadi mahasiswi yang biasa saja justru kini membuatnya menjadi pusat perhatian kala Zan menghentikan permainan akustiknya dan turun ke penonton. Jemari itu dengan lembutnya menggapai Steffi yang kini membeku.

Dengan lagu One Less Lonely Girl dari Justin Bieber membuat Steffi membayangkan dirinya sedang diajak naik ke panggung dan dinyanyikan oleh penyanyi asal Kanada itu. Dulu, Justin Bieber sering melakukan itu pada Beliebers yang beruntung.

Di lain hal, tepatnya di balik panggung, Kanya meremas rok merah muda panjang yang ia kenakan. Andai saja tak mengingat ia telah memoles wajahnya dengan make up, perempuan itu akan menjatuhkan bulir hingga menghapus riasan.

Ia pikir, kedekatannya selama ini bisa menumbuhkan perasaan hingga tak ada kata berpihak dari salah satunya. Namun, tidak selamanya dekat akan mengabulkan harapan.

"Giliran lo habis ini." Sebuah sahutan mengagetkan Kanya hingga perempuan berkulit pucat itu melepas remasannya dan mengusap-usap rok agar tak terlihat kusut. "Lo baik-baik aja, 'kan?"

Kanya mengangguk memperlihatkan senyum yang selama ini ia tebar ke mana saja.

Kembali netranya menangkap objek menyakitkan, dan riuh tepuk tangan yang bergerumuh. Zan tersenyum bangga sembari melirik Steffi yang terlihat nervous.

Zan dan Steffi turun dari panggung, disambut oleh Kanya yang akan naik.

"Kalian berdua keren!" seru Kanya sembari menaikkan dua jempolnya.

Merasa tersanjung, Steffi mengelak, "Nggak kok, Zan doang yang keren. Kan dia yang nyanyi."

Mendengar itu, Zan kembali tersenyum tanpa ada bantahan. Kanya merasa laki-laki itu begitu sempurna berdampingan dengan Steffi. Ia merasa semakin jauh, hingga berharap pun adalah keputusan atau dosa yang salah besar.

****

Steffi tak akan menyangka ia akan betah di kampus dari pagi hingga larut malam seperti ini. Zan juga sudah menawarkan untuk pulang bersama, tetapi, ya, Steffi yang keras kepala menolak ajakan tersebut. Dia tak mungkin meninggalkan motor bututnya dengan alasan apa pun.

Gue tau siapa lo!

Bahkan, Steffi belum melakukan posisi duduk di atas motornya, ponsel berwarna hitam tanpa kamera itu hampir membuatnya limbung.

Gak nyangka, cewek yang gue taksir malah tega lakuin hal seperti ini.

Pesan kedua bahkan membuat debaran di jantungnya semakin cepat. Kalau benar orang itu mengetahui Steffi, tetapi siapa? Apakah Zan? Ataukah Steffi terlalu berharap jika Zan menyukai perempuan sepertinya?

"Kok nggak pulang, Stef?"

Kembali terkejut, Steffi berbalik ke arah sumber suara. "Eh, Kanya? Ini baru mau balik. Balik bareng, yuk!"

Kanya menggeleng. "Udah tengah malam banget, aku paling nginap di indekos temen, kok."

"Oh ya udah, gue duluan."

Anggukan sebagai jawaban dan melambaikan tangan ke arah Steffi yang mulai berjalan menjauh. Bahkan, hingga suara deru motor itu tak terdengar lagi. Entahlah, seharusnya Kanya benci pada Steffi yang sepertinya muncul secara mendadak hingga membuat jarak di antara Zan semakin menjauh. Namun, ia khawatir pada Steffi, apa pun yang Steffi lakukan, niatnya baik, hanya saja semua orang punya cara pandang sendiri.

Gue cuma khawatir, gumam Kanya.

***

Merebahkan tubuh di atas kasur setelah menjalani hari yang panjang. Perempuan dengan rambut panjang acak-acakan itu mencoba membuat pesan singkat yang baru saja diterimanya sirna. Pikiran positif selalu ia tanamkan, tetapi rasa khawatir tak dapat ia bendung.

Bangkit dari tempat tidur dengan cepat kemudian menarik tubuhnya ke arah komputer butut kesayangan. Bodohnya, mengapa ia harus khawatir, atau ketakutan. Dirinya dikenal sebagai Kuker yang bisa melacak siapa yang berani mencoba bermain dengannya.

Mengotak-atik tanpa peduli sinar dari layar komputer terpapar langsung ke mata tanpa cahaya lain. Sesekali Steffi mengucek kedua matanya. Suara masjid yang mengalunkan lantunan azan membuat Steffi membelalakkan mata. Setengah lima pagi.

Namun, rasa terkejutnya sirna kala ia menemukan titik terang.

"Oh, jadi nomor tadi punya keluarga Dean. Gila, ya, registrasi kartunya pake NIK adeknya," gumam Steffi tersenyum puas.

Jika pun Dean mengetahuinya, ia yakin laki-laki itu tak punya bukti apa pun. Selama ini Steffi bermain halus hingga tak menimbulkan bekas. Toh, ia pun tak pernah takut akan ancaman.

Setelah menunggu salat Subuh selesai, Steffi mengambil ponsel yang ia gunakan sebagai dirinya untuk menghubungi Dean.

Ha-lo?

"Kok gugup, An?"

Terdengar lirih embusan napas dari seberang. Steffi merasa laki-laki yang tengah berhubungan dengannya via telepon itu sedang mengatur kata-kata yang akan dikeluarkannya.

Gue gak nyangka lo nelpon gue duluan, biasanya gue chat juga gak pernah lo bales.

"Oh, ya? Gue pikir, lo kecewa karena cewek yang lo naksir ternyata ...."

Lo ... tau?

"Jangan macam-macam sama gue. Cukup kejadian memalukan lo aja yang kesebar, jangan sampai kedepannya, aib lo kebongkar semua."

Lo ... ancam gue?

"Nggak, gue cuma ngasih saran biar hidup lo nggak sengsara. Lo tau, kan, lo bukan orang pertama yang macam-macam sama gue? Sebelumnya? Para bedebah itu keluar dari kampus, meninggalkan impian mereka karena malu. Lo mau nerusin apa yang mereka perbuat?"

Lo tau? Omongan lo udah gue rekam.

Steffi tertawa, bahkan tawanya begitu sangat menakutkan hingga kepercayaan diri Dean kian menyusut.

"Semua aplikasi lo udah gue sadap, Sayang. Ini kali terakhir lo make akun Line lo. Mending install ulang, dan buat akun baru, ya. Dadah, Dean!"

Stef, gue gak niat ancam lo. Gue cuma khawatir.

"Oh, ya? Lo pikir gue gak tau kalau lo dendam sama gue setelah kejadian foto lo bareng Kanya tersebar luas?"

Dengan bibir tipis yang merah alami bagai buah ceri, perempuan berusia 19 tahun itu menggerutu kesal. Tak ingin berlama-lama dan muak akan pembelaan Dean, Steffi mematikan sambungan secara sepihak. Tak peduli bagaimana marahnya Dean. Toh, laki-laki itu sudah tak dapat berbuat apa-apa lagi.

Sebenarnya ingin tidur andai saja getaran ponselnya tak lagi menyahut. Sebuah pesan yang bernilai tinggi datang menghampiri.

Lo bisa meretas akun kampus? Gue bayar berapa pun, ubah nilai gue minimal 3,8.

Steffi tertawa terbahak-bahak. Bicara soal mampu, tentu saja perempuan dengan kaki jenjang itu mempunyai percaya diri cukup tinggi untuk mengatakan, 'Pasti Bisa'. Namun, membaca permintaan dari mahasiswa yang menurutnya mempunyai selera humor cukup tinggi, Steffi mencibir.

"Gue aja biarpun mampu, gue gak pake cara kotor kek gini. Jangankan ipk 3,8, dapat ipk 2 aja udah syukur," gumamnya.

Mahasiswi KukerWhere stories live. Discover now