MK - 24

987 132 9
                                    

Kabar buruk. Steffi dinyatakan sebagai tersangka. Sekarang berada dalam kurungan jeruji besi sembari menunggu jadwal sidang. Kabar ini tentunya tersebar begitu cepat. Kejadian perkara berada di Universitas Pendar, si korban masih dalam penanganan rumah sakit. Beberapa saksi mata memberi penjelasan terang pada pihak berwajib.

Kabar buruk kedua. Identitas Kuker diketahui oleh semua mahasiswa Pendar. Majalah dinding di setiap fakultas memberitakan informasi ini dengan opini-opini yang berbeda. Lain halnya dengan pemberitaan dari UKM Jurnalistik, Dean memberitakan semua hal berdasarkan apa yang ia dengar dari mulut Steffi.

Walau Raja dan Dean seakan enggan meninggalkan Steffi sendirian di balik jeruji besi, tetapi peraturan tak bisa mereka langkahi. Masing-masing pulang, dan berjanji akan kembali dengan bantuan yang tentunya akan menyelamatkan Steffi.

Raja kembali ke indekos. Matanya membulat, menahan kantuk akibat pikiran yang terus melayang-layang. Sebagai mahasiswa individualis, dan terlihat begitu peduli sekitar, sesungguhnya Raja cukup penasaran juga dengan kasus ini.

Ia berjalan ke dinding kamarnya, mencabut foto Dean dan Nakula di sana. Setelah mendengar penjelasan Steffi, ia yakin jika kedua orang ini tidak ada sangkut pautnya. Namun, ia pun masih terus berpikir panjang. Setiap orang mempunyai alibi.

Ia teringat pada ucapan Steffi.

"Gue bener-bener gak nusuk, Zan. Iya, dia minta gue buat bunuh dia, nusuk dia, tapi gak gue lakuin. Gue gak mungkin mampu lakuin itu ke dia. Saat dia berusaha membujuk gue dengan paksaan pisau itu dikasih ke tangan kiri, gue nolak pakai tangan kanan gue, dan ... ya, Zan sendiri yang arahin pisau itu ke perutnya."

Suara kaca pecah terdengar begitu nyaring setelah Raja mengingat ucapan Steffi. Ia meninju cermin yang ada di hadapannya. Kini, darah segar mengalir membasahi punggung tangannya.

Ia masih tak percaya dengan apa yang ia dengar. Sebagai saudara sendiri, ia tak menyangka Zan akan melakukan hal selicik ini. Untuk apa? Apa karena kecintaannya pada Kanya?

Mengingat Kanya, Raja dengan cepat membasuh tangannya, secepat kilat mengobati luka dan kembali merogoh kunci motor, segera meninggalkan indekos.

***

Di rumah sakit. Zan terbaring lemah. Walau pisau itu tak menusuk begitu dalam, tetapi nyaris menyentuh organ dalamnya yang begitu penting. Kanya selalu setia menunggu Zan, menjaganya. Dalam keadaan yang mungkin bagi mereka berdua romantis, seseorang membuka pintu ruangan. Terlihat Raja yang datang, tanpa apa pun, tetapi senyum begitu merekah di wajahnya.

"Zan, lo baik-baik aja, 'kan?" tanya Raja.

Terlihat ekspresi wajah Zan yang sudah memucat, semakin tak karuan. "Lo ... ngapain ke sini?"

Raja tersenyum. Ia berbalik ke arah Kanya, tetapi perempuan itu menghindari tatapannya. Akhirnya laki-laki gondrong itu kembali menatap Zan. "Apa gue gak boleh jengukin sepupu sendiri?"

"Ya, boleh, sih, tapi kan lo sibuk?" tanya Zan.

"Sejak kapan sih seorang Raja sibuk? Kan banyak anak buah yang ngerjain tugasnya."

Zan hanya dapat tersenyum getir mendengar itu. Ia sudah mengenal Raja sejak kecil, dan sudah tahu bagaimana sifat dan sikap sepupunya.

"Zan, apa selama lo tinggal di sini, lo punya masalah? Em, gini, gue kan sepupu lo. Bisalah lo minta bantuan sama gue," pinta Raja.

"Makasih, Ja, gue baik-baik aja, kok. Cuma masalah sama Steffi aja kemarin."

Raja mengangguk. Bergeming beberapa saat sampai akhirnya tersadar. "Kok bisa sih Steffi nusuk lo? Bukannya waktu itu lo bilang kalau dia pacar lo?"

Raja tersenyum melihat ekspresi wajah Zan yang terlihat gugup. Tak pandai memainkan drama, dengan sepasang matanya, Raja menangkap Zan melirik ke arah Kanya, seakan meminta bantuan.

"Itu ...." Kanya membuka suara. "Zan dan Steffi berantem kemarin, taulah namanya hubungan pasti ada masalahnya. Em, ... anu, eh, Steffi tuh jealous sama gue, jadi ya dia marah terus nusuk Zan, deh."

"Sejak kapan lo ngomong pake 'lo-gue'?

Semakin dibuat gugup di hadapan Raja, Kanya merasa kepanasan di ruang ber-AC. Ia kembali membuat ekspresi wajah yang terlihat bodoh seraya berkata, "Maaf, tadi cuma becanda, kok, pengin ikutin cara kalian ngomong aja."

"Whatever, lo boleh pulang sekarang. Biar gue yang jagain Zan," perintah Raja.

"Kok gitu, sih?" tanya Kanya, tak terima.

"Gue sepupu Zan, satu-satunya keluarga dia di sini, sedangkan lo? Keluarga? Pacar? Temen doang, 'kan? Udah, lo pulang aja."

Zan meraih lengan Raja. "Lo kok malah ngusir Kanya?"

"Dia udah jagain lo dari semalam. Diam aja, jangan keenakan dijagain cewek, bukan siapa-siapa pula."

Terlihat Kanya sempat melirik ke arah Zan, tetapi laki-laki itu juga tak dapat berbuat apa-apa. Walau Raja terlihat santai, Zan tahu jika sepupunya itu sukar tuk dibantah.

Kanya pun meninggalkan ruangan dengan ekspresi yang sangat tidak menyenangkan. Kini, tinggallah Zan dan Raja dalam ruangan yang sama.  Masing-masing dari mereka sibuk pada urusan pikiran masing-masing. Raja belum juga membuka suara di antara mereka. Namun, Zan-lah yang memecahkan keheningan.

"Selama merantau di sini, kayaknya lo gak pernah sebaik ini sama gue, Ja."

Raja menyandarkan tubuhnya di penyangga kursi seraya menaikkan kaki ke atas, tepatnya di kaki Zan. "Baik itu bisa dilakuin dengan banyak hal, walau tak terlihat. Mungkin beberapa orang di luar sana udah beberapa kali bantuin lo, tapi gak terlihat, makanya lo ngerasa orang-orang gak baik sama lo."

"To the point aja, Ja."

"Gak ada. Gue cuma pengin bisa punya waktu berdua aja sama lo. Biar gue tau kalau saudara gue satu ini gak pernah berubah."

Zan mengerutkan dahinya. "Maksud lo?"

"Ya, gue berharap lo tetap menjadi Zan seperti yang gue kenal."

Terbatuk tiba-tiba, dengan sigap Raja memberi segelas air ke arah Zan. Membantunya sedikit membangunkan tubuh lalu meneguk air.

"Gue takut, Ja," ucap Zan, lirih, bahkan nyaris tak terdengar.

"Selagi lo punya saudara preman kayak gue, apa yang harus lo takutin?"

Zan menggeleng, membuang wajah ke arah lain. Wajahnya semakin memucat, ia seakan ingin menangis, tetapi rasa malu terkubur dalam-dalam. Raja mengerti itu, laki-laki rambut gondrong tersebut melangkah keluar. Memberi ruang sendiri dalam waktu sejenak pada Zan.

Raja berdiri di depan pintu yang sengaja tak ia tutup rapat. Lalu, beberapa detik kemudian, pecahlah pertahanan Zan. Ia menangis tersedu-sedu, wajahnya memerah, dan sesekali menepuk dada agar sesak tak begitu dalam.

"Maafin gue, Stef," gumam Zan di sela-sela tangisnya.

Raja yang mendengar itu menutup mata. Sampai kapan pun ia selalu meyakini bahwa ia tak boleh menghakimi seseorang sebelum mengetahui dengan cara yang ia lihat langsung.

Nyaris ikut menangis, tetapi terhenti saat melihat di ujung koridor sana. Teman lama yang lama tak ia lihat. Seorang yang pernah akrab dengannya selama mengikuti UKM Mapala.

Reno.

Mahasiswi KukerWhere stories live. Discover now