MK - 12

1.1K 158 12
                                    

Keputusan yang salah. Akhir-akhir ini Steffi memang tak dapat berpikir jernih. Apalagi saat ini, masuk ke ruang petugas keamanan tanpa izin, padahal ia tahu jelas bahwa TKP Kanya ditemukan tidak terdapat CCTV. Ya, Universitas Pendar memang terkenal sebagai kampus yang pelit akan fasilitas walau BPP mahasiswa di luar kemampuan.

Steffi masih menahan napas, menutup mulut dan merapalkan doa agar tak ketahuan akan aksi konyolnya. Orang yang baru saja memasuki ruangan mematikan lampu dan mengunci kembali ruangan tersebut. Tentunya dari luar. Mendengar langkah kaki yang mulai menjauh, Steffi keluar dari tempat persembunyiannya. Ingin membuka ponsel, tetapi sialnya benda kesayangan itu malah kehabisan energi. Perempuan itu juga tak ingin menyalakan lampu, kecurigaan makin bertambah jika itu terjadi.

Mencoba membuka pintu, tetapi kali ini ia benar-benar terjebak. Satu-satunya cara ialah melompat dari jendela. Namun, mengingat ruangan tersebut berada di lantai 2, tentu saja akan membuat tubuhnya remuk.

Beberapa orang terlintas di pikirannya. Pertama Caitlin, tetapi ia tak mungkin meminta bantuan pada perempuan ember itu. Lalu, Zan. Namun, lelaki itu masih dalam perasaan sedih yang mungkin berkelanjutan. Mengingat Dean, Steffi refleks meludah ke sembarang arah. Ia masih ingat jelas percakapan antara Dean dan Kanya, tentunya membuat perempuan itu kehilangan rasa kemanusiaan.

Di saat seperti ini, cara yang tepat adalah mengandalkan diri sendiri dan lupakan untuk meminta bantuan. Terlanjur hidup sebagai manusia anti sosial tentunya sangat merugikan diri sendiri.

Kini, Steffi sudah berdiri di luar jendela. Menutup jendela tersebut lalu menatap ke bawah. Mungkin jika ia melakukannya tidak di malam hari, ia akan menjadi pusat perhatian, karena sesungguhnya apa yang dilakukan Steffi sekarang seakan ia mencoba untuk bunuh diri.

Tidak menunggu lama, kaki Steffi terjun terlebih dahulu. Bukan manusia yang mudah menahan sakit, Steffi sempat memekik kesakitan pada bagian pergelangan kaki.

"Sakit ...," keluhnya.

"Mau gue bantu?" Ucapan ini tentu membuat Steffi mendongak. Mendapati seorang mahasiswa yang tak asing baginya. Walau, ia pun tak tahu siapa.

Steffi menggeleng. "Gak perlu, makasih."

"Lo baru aja mau bunuh diri?" tanya laki-laki itu.

Steffi bangkit, seraya menggigit bibir bawahnya, berharap dapat meredakan rasa sakit. "I ... iya, mungkin," jawab Steffi asal. Tentunya, ia tak mungkin menjawab secara jujur.

Laki-laki itu mengangguk-anggukkan kepalanya sembari mengisap rokoknya secara dalam. Entah kenapa, Steffi merasa seperti de javu saat menatap laki-laki di hadapannya. Namun, entah di mana ia pernah melihatnya.

"Gue balik duluan, makasih," ucap Steffi.

"Oke, hati-hati di jalan. Hidup emang gak semulus bayangan, tapi mengakhiri hidup bukan pilihan yang tepat."

Kali pertama, Steffi tersenyum untuk orang asing lalu mengangguk mengiyakan pesan dari laki-laki itu. Ia berjalan menjauh dengan langkah terseok-seok. Mungkin kini kakinya terasa perih, tetapi perasaan seakan baru saja disiram air dingin. Adem.

****

Sebelum masuk ke kamar, Steffi harus mendengarkan wejangan dari Stevan saat mengetahui Steffi pulang larut malam dengan kondisi sangat mengenaskan. Di saat seperti ini, perempuan berambut panjang ini hanya dapat mengangguk dan terdiam.

Memasuki kamar, hal pertama yang ia lakukan adalah memberi energi untuk benda kesayangannya. Menunggu beberapa menit, ia mengaktifkan benda pipih tersebut, padahal ia juga tahu tak akan ada pesan yang berarti. Ia pun tahu jika job-nya semakin berkurang semenjak kejadian Kanya.

Satu pesan dari anonim membuat Steffi refleks menaikkan sebelah alisnya.

Hidup gak mulus, sama seperti hidup mahasiswi populer Pendar. Lo kepikiran, gak, kalau sebenarnya dia ... mencoba bunuh diri?

Menggelengkan kepala beberapa kali, Steffi memandang pesan tersebut dengan perasaan tidak percaya. Tidak mungkin seorang Kanya melakukan hal seperti itu. Pun, jika ia bunuh diri, mengapa ada tulisan yang menyudutkan dirinya?

Steffi memutuskan untuk menghubungi kontak anonim tersebut. Dua kali berdering tak kunjung diangkat. Ketiga kalinya, suara berat dan serak terdengar dari seberang sana. Steffi sadar bahwa ia belum lama mendengar suara tersebut.

"Lo penasaran?"

Pertanyaan itu tak kunjung Steffi jawab. Ia malah terdiam, mencoba agar si anonim tersebut berbicara lebih banyak.

"Selain waktu lo jatuh tadi, kita udah pernah ketemu sebelumnya. Lo gak ingat?"

Steffi semakin bingung. Namun, ia tak kunjung menanggapi omongan tersebut.

"Kita pernah ketemu waktu lo nerima telepon dari customer lo. Oh iya, gue udah tau lo sebagai Kuker dari awal. Gak usah disembunyiin dari gue."

"Lo siapa?" Kini Steffi memberanikan diri untuk bertanya. Ya, ia ingat laki-laki yang merokok dan melarang dirinya untuk mengadu ke mana-mana.

Terdengar tawa dari seberang sana. Jika berkata saja terdengar berat, tertawa pun sama saja.

"Apa lo gak ingat kalau OSPEK dulu, temen deket lo bukan cuma Zan?"

Steffi sedikit berpikir, dan menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut.

Laki-laki itu kembali berkata, "Gue bakal bantuin lo Stef. Terserah lo mau percaya sama gue atau nggak. Setau gue, anak-anak Pendar gak ada yang percaya sama gue atau deket sama gue karena penampilan gue yang kayak gini. Kalau lo juga kayak gitu, gue gak peduli."

Steffi tak menjawab, entah mengapa ia seakan terkunci, semua kosa kata yang ia ketahui dari awal berbicara seakan menghilang begitu saja.

"Gue masih anggap kalian sahabat gue."

Kalian? batin Steffi.

"Gue tutup dulu, ya. Besok kita omongin lagi. Temuin gue di ruang multimedia jam 2 siang. Ada yang mau gue omongin sama lo."

"Gak bisa sekarang aja? Lo ngomong aja sekarang," ucap Steffi. Entah kenapa Steffi merasa nada bicaranya menurun, terdengar lembut, padahal ia selalu mengeluarkan argumen dengan asal tanpa menjaga perasaan orang lain.

"Nggak, soalnya lima menit lagi Zan bakal hubungin lo. Udah, ya."

Sambungan telepon terputus secara sepihak. Steffi terduduk di lantai, menatap ponselnya yang baru saja menempel di telinga. Entah, selama ini ia kurang peka ataukah orang itu cukup pandai bersembunyi. Selain itu, ia terpikir oleh ucapan terakhir sebelum sambungan terputus.

Berpikir kurang dari lima menit, ponsel Steffi kembali berdering, dan kali ini nama Zan terpampang di layar. Sungguh, Steffi takjub akan ramalan tak berguna yang baru saja didengarkannya.

"Halo, Stef."

"Iya, Zan. Gimana kabar Kanya?"

"Dia udah siuman."

Jawaban dari Zan tentu saja membuat Steffi lega. Pertama, kesaksian Kanya sungguh ia butuhkan. Selain untuk memperbaiki nama baik pekerjaannya yang tercemar, ia juga senang karena Zan tak perlu berlama-lama dekat dengan Kanya. Sungguh, jujur Steffi tidak menyukai itu.

"Bantu gue, Stef."

Steffi mengerutkan dahinya. Ini kali pertama Zan mengucapkan nada seakan memohon.

"Apa?"

"Cari tau soal Kuker itu. Kanya udah cerita kalau Kuker yang udah buat dia kayak gini."

Mahasiswi KukerWhere stories live. Discover now