MK - 13

1.1K 166 14
                                    

Steffi tertegun. Kini, ia menjauhkan benda pipih yang tadinya dekat. Duduk di tepi tempat tidur lalu menatap langit-langit kamar. Selama ini ia merasa hidupnya begitu mulus. Masalah yang datang silih berganti hanyalah partikel kecil yang mudah ia lenyapkan. Namun, kali ini?

Sejujurnya kali ini Steffi kembali ingin menangis, tetapi tertahan saat mengingat kalimat terakhir dari Zan. Ia tak menyalahkan laki-laki itu mudah percaya dengan omongan Kanya. Tentunya, orang-orang akan mudah percaya dengan omongan si korban, ketimbang tersangka. Kini, kedua telapak tangannya mengepal, siap mengayun ke arah mana saja. Saat langkah mulai menarik ke depan, satu kepalan mendarat pada cermin yang selama ini menampilkan wajah bahagianya.

Jelas, apa yang Steffi perbuat membuat seisi rumah menyadari. Stevan lebih dulu membuka pintu kamar Steffi yang memang jarang ia kunci.

"Lo gila, ya?" tanya Stevan.

Yang ditanyai menatap Stevan dengan tatapan kosong, seakan bukan dirinya lagi di dalam tubuh itu. Tak menjawab, Steffi kembali ke tempat semula. Di tepi ranjang, terduduk lemas dengan menutup wajahnya menggunakan kedua tangan. Satu tangannya meneteskan bulir merah kental yang membasahi lantai.

Steffi merasakan saat Stevan mendekat, duduk di sebelah Steffi. "Lo gak pernah gini, Stef."

Perempuan itu menganggukkan kepalanya beberapa kali tanpa mendongakkan wajah tuk melihat si lawan bicara. Walau beberapa detik yang lalu melakukan hal fatal, tetapi Steffi sedikit menyadari bagaimana dirinya sekarang.

"Obatin dulu, ya." Kalimat ini keluar dari mulut Istri Stevan, Laras yang baru saja masuk dengan membawa nampan berisi air es dan kain.

"Taruh di atas nakas aja, Mbak. Nanti saya obatin sendiri," ujar Steffi lalu memberi jeda sebentar, kemudian melanjutkan, "kalian boleh keluar."

Ya, walau Stevan jarang bersikap serius pada Steffi, tetapi laki-laki itu selalu paham situasi di mana ia harus bersikap dewasa.

***

Seperti sebelumnya, tak ada yang berubah dari suasana kampus. Salah, perubahan oleh satu hal yang samar. Kanya kembali ke kampus, padahal banyak orang tahu jika Kanya sempat kritis, pun keadaan yang sangat mengenaskan. Mustahil, tetapi terjadi, saat ini Kanya sudah berada di ruang UKM Sensa. Ya, walau dengan beberapa perban dan Zan yang setia di dekatnya.

"Capek banget," keluh Kanya. Ia mengeluarkan keluh kesahnya saat beberapa mahasiswa sudah meninggalkan ruangan. Tentunya ia mengatakan hal seperti itu setelah meladeni wawancara yang tak begitu penting.

Zan yang mendengar itu bangkit dan duduk di sebelah Kanya. "Mau kuantar pulang aja, Nya?"

"Eh, gak usah, Zan. Aku juga bosan kalau di rumah. Kalau di kampus kan seru, rame juga."

"Oh gitu," balas Zan, kini laki-laki itu sibuk pada senarnya, tetapi pikiran berlari ke sana ke mari.

"Oh iya, Zan, kamu beneran mau bantuin aku ungkapin kejahatan Kuker?"

Zan hanya mengangguk tanpa menatap mata gadis itu.

"Kalau misal, nih, ternyata Kuker itu salah satu anggota Sensa gimana? Atau lebih parahnya temen deket kamu gimana, Zan?"

Kali ini Zan tidak langsung memberi respons, tetapi malah menangkap manik mata Kanya yang mengisyaratkan rasa penasaran menunggu jawaban.

"Emang kenapa?"

Kanya tersenyum. Seperti biasa, perempuan itu selalu melahirkan senyum yang membawa kedamaian ke siapa pun yang melihat. Bahkan, Zan merasakan itu. Ia selalu merasa terhipnotis akan senyum tipis yang selalu ditebar.

"Ya gak apa-apa, sih, Zan. Aku cuma nanya. Takutnya, kamu jadi berat sebelah. Mau nangkap Kuker atau ngelepasin gitu aja."

"Nya, lo tau gue dari lama, 'kan? Siapa pun ularnya, tangkap. Berbahaya."

Kalimat yang baru saja dikeluarkan oleh Zan harusnya membuat perasaan Kanya lega, tetapi anehnya, perempuan itu seakan merasa tersentil. Entah mengapa, Zan agak berbeda kali ini.


***


Di lain tempat, tepatnya ruang multimedia. Steffi terduduk lemas, karena takut terlambat, ia malah datang sejam sebelum waktu yang dijanjikan. Jadilah tanpa makan siang, ia menunggu begitu lama.

Steffi juga bersyukur orang aneh itu mengajaknya ke ruang multimedia di waktu yang tepat. Siang hari tentunya membuat mahasiswa ogah ke tempat ini. Jaraknya lumayan jauh dari gedung-gedung kelas perkuliahan.

Lama menunggu, menatap tali sepatu yang tak pernah berubah membuat perempuan itu bosan sampai pada akhirnya suara langkah kaki terdengar mendekat. Steffi mendongak, mendapati sebuah roti terlempar ke arahnya. Ya, dia refleks menerima itu.

"Ngobrolnya gak asyik bareng orang kelaperan. Makan dulu, gih."

Steffi meringis mendengar itu. Setelahnya, menatap dengan jeli roti yang baru saja diterimanya. Takut-takut terdapat kuman atau lebih parahnya lagi malah racun.

"Gue pikir lo gak bakal nethink sama gue."

Ucapan itu membuat bola mata Steffi memutar karena jenuh. Dengan cepat membuka plastik roti dan memakannya.

"By the way, lo gak ingat gue?"

Mulut penuh roti, Steffi hanya dapat menggeleng sebagai jawaban.

Embusan napas kasar keluar. Laki-laki itu mengeluarkan sebatang rokok dari saku jaketnya. Ia menaikkan rokok itu sedikit tinggi lalu berucap, "Sebelumnya lo juga pernah liat gue ngerokok di lantai 4, tapi lo gak ingat gue."

"Gue beneran gak kenal lo."

Laki-laki itu menarik rambut yang menutupi wajah ke belakang. Rambut panjang sebahu itu benar-benar menghalangi wajahnya. "Masih beum ingat?"

Steffi menggeleng.

Laki-laki itu berdecih. "Hacker payah. Otak lo isinya apa sampe gak ingat gue?"

Steffi mengantongi setengah roti yang hampir saja habis dimakan, lalu bangkit menghadap laki-laki di hadapannya. Kini, keduanya berdiri sejajar, membuat Steffi bersyukur mempunyai tubuh yang tinggi.

"Gue gak kenal lo dan lo maksa dengan cara menghina gue? Lo belum tau sepak terjang gue selama ini?"

Laki-laki itu mengalihkan wajahnya dari Steffi, mundur selangkah lalu mengisap rokok yang baru saja dibakarnya. "Lo lagi becanda?"

Steffi mengambil napas panjang hingga kedua bahunya ikut naik. Ia menggeleng-gelengkan kepala. "Awalnya gue pikir lo Raja, tapi ...."

"Itu gue."

Jawaban dari laki-laki itu tentu membuat Steffi menggelengkan kepalanya. Ia tak percaya dengan apa yang ia lihat kali ini. Toh, ia mengenal jelas kali pertama ia memasuki Universitas Pendar, bagaimana ia berkenalan dengan Zan dan laki-laki itu mengenalkannya dengan sepupunya yang tak lain adalah Raja. Namun, yang di hadapannya ini berbanding terbalik dari apa yang ingat sebelumnya.

"Kenapa? Rambut gue yang panjang bikin lo lupa?"

Steffi menggeleng. "Bahkan, wajah lo beda. Lo bukan Raja ...."

Laki-laki itu mengambil dompet dari sakunya dan melemparkan KTP ke arah Steffi. "Lo boleh ambil itu kalau perlu."

"Raja ...."

"Gue bantu lo lawan dua ular itu, Stef."

"Dua ular?"

Mahasiswi KukerWhere stories live. Discover now