MK - 9

1.3K 173 3
                                    


"Nggak."

Entah mengapa, jawaban yang baru saja keluar dari mulut Zan membuat tubuh Steffi seketika membeku, pun lidah terasa kelu tuk mengeluarkan suara. Netranya masih terpaku oleh Zan, kini laki-laki itu tersenyum ke arah Steffi. Lalu, kembali menatap Dean.

"Gue kurang suka aja sama makhluk yang disebut Kuker itu. Dia bertindak atas kemauan orang lain hanya karena uang. Menurutku, ia tak paham batasan dan privasi."

Sejujurnya, kini mereka tengah berada di luar ruangan. Di sebelahnya, pancaran sinar matahari menyorot langsung. Tentunya, hal seperti ini dapat membakar kulit. Namun, keanehan terjadi, Steffi merasakan dingin di sekujur tubuh.

Zan dan Dean melanjutkan aktivitas wawancara dengan pertanyaan baru di luar topik sebelumnya. Namun, Steffi masih memikirkan semua. Mencoba memutar akal agar tak terjebak oleh perasaan yang begitu dalam. Kini, kasa menusuk pada tawa Dean. Laki-laki itu dianggap sebagai petaka, ia pun kesal mengapa harus mengenal laki-laki itu. Lagi-lagi, semua ini membuat Steffi kembali berandai-andai. Ya, Andai saja aku tak menerima permintaan stalking pada lelaki itu.

"Oh, iya. Ngomong-ngomong, nih. Lo lagi dekat dengan pemain seruling UKM Sensa?"

Zan tampak berpikir sebelum menjawab, "Kanya maksud lo?"

Dean mengangguk lalu melirik ke arah Steffi. Rasanya perempuan itu nyaris kehabisan stok sabar. Wajah Dean kali ini seperti tempat sampah yang perlu Steffi ludahi.

"Gue emang deket sama Kanya, dari tahun pertama kita di UKM Sensa."

"Woah, deket sebagai apa, nih? Temen? Temen tapi mesra? Atau ... pacar?"

Ada senyuman samar yang Zan sembunyikan dari keduanya. Namun, Steffi bukanlah tipikal perempuan bodoh yang gampang tertipu. Ia cukup peka dengan senyuman itu. Hanya saja, penuh harap di dalam pikirannya agar Zan menjawab option pertama yang Dean utarakan tadi.

Belum sempat menjawab, kehebohan terjadi di sekitar. Para mahasiswa berlarian ke arah berseberangan dari Steffi membuat perempuan itu refleks berbalik.

"Mereka kenapa, sih?" tanya Steffi.

Zan yang juga merasa penasaran dengan itu menarik lengan salah satu mahasiswa yang hampir saja melewati mereka.

"Ada apa?" tanya Zan.

Laki-laki dengan rambut panjang sebahu itu merapikan rambutnya dengan menarik beberapa helaian ke belakang telinga. Tampak anggun dengan wajah sangar.

"Katanya ada yang bunuh diri? Atau dibunuh? Gak tau, deh. Ini baru mau liat, soalnya ada yang ngirim anonim di beberapa mahasiswa."

"Ngirim apa?" tanya Steffi yang kini berada tepat di hadapan laki-laki itu.

"Foto mengenaskan dari korban. Dikirim ke beberapa mahasiswa doang, tapi kesebar ke grup-grup angkatan," jawabnya lalu mengeluarkan ponsel dan menghadapkan benda pipih itu ke arah Zan, Steffi, dan Dean.

Steffi sejujurnya dengan refleks menutup mulut dengan kedua tangan, sedangkan Zan, raut wajah ketakutannya jelas terlihat. Berbanding terbalik dengan Dean. Ia dapat menutupi rasa gugupnya, ataukah ia tak mempunyai emosi sama sekali saat melihat foto itu.

"Kanya ...," lirih Steffi.

Ya, foto tersebut jelas memperlihatkan Kanya dengan beberapa luka di sekujur tubuhnya. Bahkan, seruling yang biasanya ia bawa ke mana-mana kini berserakan darah segar.

Baru saja Steffi ingin melihat ekspresi Zan, tetapi lelaki itu sudah lebih dulu berlari mengikuti beberapa langkah mahasiswa. Ia tahu jelas tempat itu, ruang kesenian di mana ia selalu mengistirahatkan diri, dan Kanya selalu ada di sana.

Melihat langkah Zan, Steffi mengikuti. Tidak sulit bagi seorang Steffi untuk mengejar Zan. Toh, Steffi mempunyai langkah yang panjang berkat tubuh tingginya. Namun, kepergian mereka berdua tak membuat Dean melakukan hal yang sama. Justru, laki-laki itu kini kembali duduk dengan menyalakan rokok lalu mengisapnya secara dalam.

***

Zan rasanya ingin mengamuk di tempat itu saat garis kuning menghalangi langkahnya. Steffi tahu jika laki-laki itu kini akan menangis, tetapi menurutnya Zan adalah laki-laki yang mudah bersandiwara menutupi perasaannya selama ini.

Entah datang dari mana, tetapi Steffi refleks menepuk pelan pundak Zan. Mencoba menguatkan laki-laki itu. "I know your feel. Walau gue baru kenal Kanya, pun gue ngerasa hal sama.

"Ini pembunuhan?" tanya Zan, walau ia tahu pertanyaan yang baru saja ia tanyakan pada Steffi adalah omong kosong. Toh, sedari tadi Steffi bersamanya.

Namun, ia menemukan pertanyaan atas jawaban yang ia utarakan. "Ya, kayaknya Kuker dendam sama Kanya." Bukan Steffi yang mengatakan hal tersebut tentunya. Melainkan Caitlin yang kini berdiri di sebelah Zan.

Bola mata Steffi nyaris keluar. Bisa-bisanya manusia yang mungkin saja bisa disebut sahabat itu berkata yang tidak masuk ke dalam logikanya. "Maksud lo? Bisa-bisanya lo nuduh Kuker tanpa bukti?"

Caitlin menggeleng. Perempuan dengan tubuh mungil itu sedikit mendekat ke arah Steffi. "Kata anak-anak yang nemuin Kanya di TKP, mereka nemuin barang bukti. Tulisan kecil yang udah diketik dengan tinta merah. Katanya, Jangan ikut campur. Terus di akhir surat tertulis inisial MK. Ya, anak-anak lain langsung mikirnya ke Mahasiswi Kuker. Ya, gak taulah, masih dalam penyelidikan polisi juga."

Steffi menggeleng lemah. Bisa- bisanya ada manusia yang menuduh dengan bukti kekanakan seperti itu. Sekali lagi Steffi ingin menyanggah, tetapi Zan lebih dulu berucap, "Keadaan Kanya sekarang, gimana?"

Pertanyaan Zan justru membuat Steffi kini merasa bersalah. Harusnya ia menanyakan hal yang sama. Dengan terlalu membela Kuker, tentunya bukan hal baik untuknya.

"Udah dibawa ambulans. Kalian, sih, telat. Mana tadi Kanya keliatan serem banget, tapi katanya sih masih bernyawa. Semoga aja," jawab Caitlin.

Zan dan Steffi ikut mengamini. Kejadian hari ini tentu membuat perkuliahan tidak berjalan lancar. Zan dan Steffi memilih untuk membolos di beberapa mata kuliah. Steffi akan ke rumah Anya dan memberitahu pada tantenya, sedangkan Zan akan langsung ke rumah sakit.

Ya, walau Kanya terkenal friendly, tetapi Zan tahu bahwa Kanya tak mempunyai teman yang benar-benar dekat dengannya. Jadi, saat Zan berhasil membuat Kanya dan Steffi dekat, adalah sebuah kebahagiaan tersendiri untuknya.

***

Kini, Steffi sudah berada di depan rumah Kanya. Ia berdiri di depan pintu sejak dua puluh menit lalu. Bahkan, dengan lamanya waktu ia menunggu membuat tangannya lebih kencang mengetuk. Sedikit kesal, apakah memang tidak ada orang, atau manusia-manusia tak ingin bertemu dengannya?

Seorang warga melewati rumah Kanya. "Bu!" seru Steffi.

Untungnya, seorang ibu itu cukup peka walau dipanggil tanpa nama.

"Iya? Cari Kanya, ya? Udah berangkat dari tadi pagi, Neng."

Steffi menggeleng. "Bukan, Bu. Saya nyari orang rumah. Tantenya Steffi mana, ya?"

Ibu itu sedikit berpikir dengan menatap wajah Steffi. Cukup lama berpikir, ia menjawab, "Tante?"

"Iya," sahut Steffi dengan gemas, "Kanya tinggal sama tantenya, 'kan?"

Gelengan sebagai jawaban yang sebenarnya tidak Steffi harapkan. "Nggak. Kanya tinggal sendiri. Tantenya udah meninggal. Tujuh atau delapan tahun lalu."

Mahasiswi KukerWhere stories live. Discover now