MK - 16

1.1K 148 3
                                    

Bisa beri komentar untuk kesalahan penulisan, ya. Terima kasih. Love you.

***

"Gila, ini orang pake apaan? Kok gak bisa gue sadap, sih?" gerutu Steffi setelah dua jam lebih duduk di depan komputer.

Orang yang baru saja menghubunginya, dan tentu saja mengancam benar-benar mengamankan akunnya dengan baik. Steffi bahkan tak bisa mengakses apa pun dari orang tersebut. Sesekali Steffi menarik-narik rambutnya akibat kesal. Beberapa helaian pun rontok karena itu.

"Padahal gue mau bantuin Zan, tapi kenapa malah ngurusin orang kampret itu? Ah, lagian kenapa sih masalah datang mulu? Dikira gue gak ada kerjaan nyelesein masalah seabrek itu?" Lagi, Steffi berteriak dengan kencang. Ia tahu bahwa saat ini waktu tak menunjukkan situasi memungkinkan untuk berteriak. Namun, sungguh kali ini ia benar-benar kesal.

Mengelilingi kamarnya, dari setiap sudut berhenti untuk berpikir, lalu kembali berkeliling saat otaknya benar-benar tak dapat berjalan. Akhirnya, dering ponsel menghentikan aktivitas konyol itu. Steffi kembali duduk di sebelah nakas. Melihat nama di layar ponselnya.

Raja.

"Lo sibuk banget apa?" tanya Raja.

Steffi terdiam. Cukup masalah Kanya dan Zan yang Raja ketahui. Ia pikir, Raja cukup sampai di situ. Tak ingin laki-laki ikut campur terlalu dalam. Pun, kali ini benar-benar tak ada sangkut pautnya dengan Raja.

"Lo denger gue gak, sih?" Kembali Raja bertanya, kali ini suaranya terdengar lebih nyaring. Pantas disebut mak-mak yang sedang memanggil anaknya pulang dari bermain.

Steffi menarik napasnya panjang lalu mengembuskan dengan cara sangat pelan. Ia mengatur ucapannya sebelum dikeluarkan. "Emang kenapa?"

"Zan belum sadarkan diri. Anjir, nih anak pingsan apa molor, sih. Cuma luka lecet doang, pingsannya lama. Trauma apa, ya? Lo ke sini dah, gue ngantuk banget, elah."

"Serius lecet doang?" tanya Steffi, memastikan.

"Iya, kayaknya. Ah, gue juga gak ada gunanya di sini. Jadi, lo aja deh ke sini."

"Nggak, Ja. Lo harus tetep jagain Zan di sana. Takut ada apa-apa. Lagi pula, masa lo tega nyuruh gue datang ke sana jam segini."

"Ya emang kenapa?"

Steffi berdecit seperti burung. Kesal ia mendengar pertanyaan dari Raja. "Gue kan perempuan. Lo awalnya doang manis, kenapa sekarang gini?"

"Gini, Stef. Gue nyamaratain cewek cowok, jadi jangan baper dah."

"Idih, udah, ah! Nanti gue nyusul ke sana kalau udah pagi, dadah!"

Tanpa menunggu Raja menjawab, perempuan itu memutuskan sambungan ponselnya terlebih dahulu. Kini, ia berharap bisa menutup mata dan bisa tertidur walau hanya sebentar.

***

Dua belas panggilan tidak terjawab dari Kanya. Steffi dengan cepat melirik jam di sudut kanan atas ponselnya. Waktu telah menunjukkan di mana Steffi seharunya menjemput Kanya. Namun, kini keadaannya tidak dalam keadaan baik.

Baru bangun tidur dengan penampilan yang sangat berantakan. Rasanya, ini kali pertama Steffi mengalami bangun tidur yang menyiksa. Bahkan, tubuhnya seakan baru saja terkena cambuk. Ia meletakkan punggung tangannya ke dahi. Ia merasakan panas di sana.

Steffi terduduk lemas. Kali ini ia tak tahu apa yang terjadi padanya. Bicara soal kesehatan, Steffi selalu terlihat bugar. Pun, jika disuruh mengingat, sepertinya ia tak pernah absen selama kuliah hanya karena alasan kesehatan.

Dengan berat, ia melangkahkan kaki menuju kamar mandi. Ia tak tahu apakah perempuan lain di luar sana melakukan hal sama dengan yang dilakukan oleh Steffi. Hanya mencuci muka, gosok gigi, dan mencuci kaki. Perlu digaris bawahi, Steffi akan menghilangkan kata mandi di saat waktu yang sangat terburu-buru.

Ya, Steffi terburu-buru bukan karena ingin menjemput Kanya, melainkan melihat kondisi Zan. Sudah cukup ia merasa khawatir selama semalam.

Merapikan penampilannya, kembali Steffi mengecek salah satu ponselnya. Menemukan satu pesan dari orang semalam.

Gue gak pernah main-main dengan omongan gue. Penjara!

Tak munafik, perempuan itu tentunya merasa takut akan ancaman-ancaman yang terus menghantui. Apakah ia akan masuk penjara karena tuduhan telah menganiaya Kanya? Ataukah ... karena jasa ilegal yang selama ini ia kerjakan?

Tak ingin berpikir panjang, Steffi keluar dari kamar. Tanpa berpamitan, kini ia menyalakan mesin motor dab menancapnya dengan kencang menuju rumah sakit.

Keadaan Zan saat ini yang utama. Pun, rasa takut akan ancaman menghilang saat mengingat Zan.

Steffi terdiam, terpukau juga dengan kenekatannya. Dengan cepat ia sudah berdiri di depan ruangan Zan. Dari balik kaca, terlihat Raja yang terlelap sungguh nyeyak di sebelah Zan. Walau hanya bergaris dalam status sepupu, keduanya terlihat memiliki banyak kemiripan. Bedanya, Zan terlihat lebih rapi, sedangkan Raja berpenampilan asal dan terlihat tak acuh.

Steffi mengusap punggung Raja, membuat tubuh laki-laki itu bergerak. Ternyata Raja mudah terganggu saat tidur hanya dengan sentuhan.

Laki-laki itu melirik ke arah Steffi dengan mengucek pelab sebelah matanya. "Akhirnya pemeran utama datang juga," cibirnya.

Steffi tersenyum seraya duduk di sebelah Raja. Matanya fokus ke arah Zan yabg terlihat damai walau beberapa memar di wajahnya.

"Bukan kecelakaan, 'kan?" tanya Steffi.

Raja menyandarkan tubuhnya di penyangga kursi. "Infonya sih kecelakaan, tapi ya anak SD mana yang mau percaya kecelakaan dengan memar bekas tonjok di wajah?"

Steffi mengangguk. "Terus pelakunya?"

"Siapa lagi kalau bukan Kuker," jawab Raja dengan santainya.

Mendenga itu, refleks Steffi melirik tajam ke arah Raja. Pun, laki-laki itu merasakan tajamnya mata Steffi.

Raja terkekeh-kekeh. "Itu praduga. Kayaknya, sama sperti kasus Kanya kemarin. Ada oknum yang memakai nama Kuker."

"Terus keadaan Zan sekarang gimana?"

"Tunggu aja, bakal sadar kok dia. Keenakan rebahan kali, jadi gak bangun-bangun."

Steffi menggerutu. Semakin kesal setiap mendengar jawaban Raja yang selalu melebar ke hal yang tak penting baginya.

"Stef, gue balik ...."

"Permisi." Perempuan dengan rambut pendek sebahu memasuki ruangan dan refleks membuat Steffi dan Raja berbalik ke arah sumber suara.

"Kanya?" sapa Steffi.

"Eh, Hai, Stef. Gue nelponin lo dari tadi, ternyata di sini, ya."

"Iya, lo ke sini sendiri?" tanya Steffi.

Kanya tidak langsung menjawab, tetapi jawaban telah terlihat tanpa mengucapkan kalimat saat Dean memasuki ruangan. Ia tersenyum ke arah Steffi lalu dengan santainya duduk di hadapan Steffi dan Raja, tentunya di tengah mereka Zan berbaring lemas.

"Zan masih belum sadar?" tanya Kanya.

Steffi yang baru saja akan menjawab, tetapi dihadang saat Raja yang bertanya di luar topik pembicaraan.

"Lo potong rambut? Perasaan kemarin masih panjang, deh."

Sungguh, Steffi kesal saat Raja malah membahas tentang penampilan Kanya. Namun, kembali menatap Kanya, Steffi pun baru sadar akan penampilan itu.

Yang ditanyai tidak langsung menjawab, melainkan dengan cepat menyentuh rambutnya. Terlihat sedikit berpikir, dan mata Raja menangkap setiap pergerakan aneh dari perempuan di hadapannya.

Kena, lo! gumam Raja

Mahasiswi KukerWhere stories live. Discover now