MK - 8

1.4K 194 2
                                    


Semalaman tidak tidur, tak membuat sepasang netra perempuan berambut panjang itu sayup. Masih terlihat segar seakan baru saja terlelap dengan waktu yang cukup. Ia baru saja menutup aplikasi Automatic Call Recorder yang ia gunakan untuk menyadap ponsel Dean dengan merekam percakapan antara laki-laki itu dan Kanya. Setelahnya, ia simpan ke dalam dalam cakram padat. Walau belum tahu akan digunakan untuk apa, tetapi kiranya ia berpikir suatu saat akan berguna untuk menghilangkan tikus kecil itu dari hadapannya.

Baru saja akan meregangkan kedua tangannya ke atas, Stevan masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Wajah laki-laki itu terpancar senyum manis yang terlihat memuakkan di hadapan Steffi.

"Kenapa lo? Kesambet?" tanya Steffi, walau sebenarnya kalimat pertama yang niat ia keluarkan adalah makian atas kelakuan saudaranya itu. Terlalu sering keluar masuk kamar tanpa mengetuk atau menutup kembali.

Kini, senyum laki-laki itu semakin lebar. "Ada cowok, tuh, jemput. Tumben banget ada cowok khilaf deketin lu," cibir Stevan.

Merasa tak peduli dengan semua hinaan itu, Steffi beranjak dari duduknya dan melewati Stevan begitu saja. Ia menduga jika laki-laki tua dengan sikap kekanak-kanakan itu hanya sedang dalam mode menjailinya.

Sesampainya di ruang tamu, sungguh kedua kaki Steffi seakan ingin berbalik dan kembali ke kamar. Sayangnya, sepasang netra telah menangkapnya. Di bawah kasa itu, senyum mengembang seakan tak terjadi apa-apa sebelumnya.

"Stef, lo ada kuliah, kan, pagi ini? Gue anter, ya."

Bergeming, bukan memikirkan permasalahannya dengan orang itu, tetapi tampilan ia saat ini. Sungguh, ia merasa sudah tak pantas disebut manusia. Walau setiap ke kampus ia selalu terlihat sederhana, tetapi Steffi jauh dari kata kusut dan tak rapi. Kali ini, ah, rasanya perempuan itu ingin jadi botol kecap saja.

"Duduk, Stef," ajak Dean seraya menepuk sofa di sebelahnya.

Dua bola mata Steffi terputar ke atas, lalu menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. "Gak usah ditawarin, ini rumah gue," ketusnya.

Setelahnya, tak ada suara lagi di antara mereka. Baik dari Dean ataupun Steffi, mereka sibuk pada pikiran masing-masing. Untungnya, yang memecah kesunyian datang di saat yang tepat. Raline baru saja kembali dari rumah temannya. Di pagi seperti ini perempuan itu sudah berkeliaran ke mana-mana.

"Temennya Onty Steffi, ya?" tanya Raline, perempuan dengan tingkat percaya diri itu langsung duduk di sebelah Dean.

Dean mengangguk.

"HP-nya bagus, Om."

"Om?" ulang Dean dengan ekspresi kesal yang tertahan. Ia menarik napas dan membuangnya secara perlahan. Menatap ke arah Steffi yang nyaris tertawa, ia sedikit lega dan tak peduli dengan panggilan dari Raline.

"Iya, Om. Ada game-nya, gak?"

"Ada. Mau main?"

Raline mengangguk.

"Tapi ada syaratnya. Kamu, jangan manggil saya Om, panggilnya Onkel. Jadi, Onkel Dean. Gimana?"

Raline mengangguk senang hingga poninya beterbangan. "Oke, Onkel Dean."

Kali ini, tawa Steffi akhirnya pecah. Entah apakah memang yang baru saja sungguh terlihat lucu, ataukah selera humor Steffi yang rendah.

"Gue baru pertama kali liat lo ketawa kek gini," ujar Dean.

Tawa pun terhenti, seakan ada pengendali jarak jauh yang tertekan di tombol off. Steffi menatap Dean dengan ekspresi yang sulit diartikan. Terlihat datar walau sulit tertebak.

"Niat lo ke sini sebenernya apa, sih?"

"Gue gak mau bermasalah sama lo, Stef. Gue cuma pengin deket sama lo."

Kali ini tawa Steffi kembali pecah. Ah, tawa yang kini Steffi keluarkan sama persis dengan tawa yang Dean dengar melalui ponsel semalam tadi.

"Stef ...," ciut Dean saat tatapan tajam kini mengarah padanya.

"Gue gak tau niat lo sebenernya apa, tapi yang perlu lo tau kalau ... gue gak butuh deket sama orang kek lu."

"Kenapa?"

"Karena lo gak penting." Jawaban Steffi membuat Dean merasakan de javu, perempuan itu memang selalu membuat Dean mengulang memori-memori yang telah terjadi, meskipun ia pun baru mengenal Steffi.

***

"Dari awal gue bilang kalau lo gak perlu anterin gue, tapi ya ... thank. Oh, ya, jangan harap kita bisa deket, baik itu sebagai temen, atau lebih dari itu," ujar Steffi seraya menutup pintu mobil Dean.

Dengan cepat ia melangkah naik ke lantai 4. Sungguh, hari ini sebenarnya ia tak punya semangat untuk masuk kelas. Hanya karena Dean yang sudah merepotkan diri untuk menjemputnya, mau tak mau, Steffi menghargai itu semua.

Langkah hampir masuk ke dalam kelas, ia sempat melihat Kanya di ujung koridor. Dua pasang mata itu saling melempar pandangan. Bedanya, kini tatapan Steffi tak lagi terlihat polos dan santai seperti biasanya. Cukup tajam hingga membuat Kanya terlebih dahulu mengalihkan pandangan, rasa takut mulai menjalar dan mencoba menggigit bibir bawahnya menahan hentakan degup jantung yang kian berdetak.

Terekam memori semalam suntuk. Mengalir suara percakapan antara perempuan yang baru saja ia lihat bersama laki-laki yang mengantarnya ke kampus. Ia tahu jelas bagaimana dua watak tokoh itu, bukan lagi merasa iba pada perempuan yang selalu merasa rendah, tetapi penuh kebencian.

Steffi duduk ke bangku dengan melempar tas ke meja dengan keras. Caitlin yang duduk tepat di sebelahnya menarik bangkunya tuk mendekat ke arah Steffi.

"Ngapa lu? Tuh muka jelek amat. Bukannya lu seneng, ya? Di Instagram Pendar Hits gue liat lu naik ke panggung bareng Zan. Cie," goda Caitlin.

"Ada?" tanya Steffi.

Caitlin mengangguk. "Hooh, gak nyangka gue mahasiswi kupu-kupu bisa masuk akun Pendar Hits."

"Dah lah, ya, lo jauh sana. Gue mau fokus ngetik, nih."

Caitlin tersenyum menggoda. "Ngetik chat bareng Zan, ya?"

"Kagaklah, Tokek! Ini lagi nulis opini buat tugas entar sore!"

Anggukan paham sebagai jawaban. Beberapa detik terdiam lalu kembali berujar, "Jangan ambil tema soal kasus KDRT, ya, itu udah gue ambil."

"Iye, jauh lu!" gertak Steffi seraya menendang kursi Caitlin.

Steffi kembali fokus pada tugas yang seharusnya selesai semalam, tetapi malah gagal dikerjakan akibat pesan dari Dean, juga hal-hal yang baru saja ia ketahui mengenai Kanya. Sungguh, ada rasa kecewa yang hadir saat tahu bagaimana Kanya yang sebenarnya. Untuk Dean? Ia tak peduli, toh, baginya Dean hanya orang baru yang hadir di hidupnya. Sudah bodoh, sok tahu pula.

Lagi-lagi Steffi tak bisa berkonsentrasi. Mengetahui dosen pagi ini tak dapat mengisi kelas, dengan cepat ia menarik tubuhnya keluar. Barangkali ia dapat menemukan banyak bahan tulisan jika berada di luar kelas.

Langkah kaki jenjangnya terhenti, netranya terpaku oleh dua objek yang kini mampu membuat jemarinya bergetar hebat.

"Eh, Stef!" sapa Zan.

"Ah? Hai!" jawabnya gagu. Steffi sesekali menatap Dean yang kini tersenyum hangat padanya.

"Lagi ngapain, Zan?" tanya Steffi.

"Oh, ini ...," jawab Zan seraya mengalihkan pandangan ke arah Dean, "gue lagi jadi narasumber buat artikelnya Dean. Kebetulan Dean ini anggota UKM Sensa juga, tapi bagian jurnalistik."

Dean mengangguk. Senyum di wajahnya tak pernah pudar sejak melihat Steffi di hadapannya. "Iya, gue banyak tanya-tanya, nih, sama Zan. Oh iya, Zan, katanya lo gak suka sama Kuker?"

Pertanyaan barusan sungguh membuat kedua bola mata Steffi membulat sempurna. Penuh harap di benaknya. Perempuan itu menatap Zan yang kini tertawa mendengar pertanyaan itu.




__________

Aku sangat menghargai kalian yang mau ngasih tau kesalahan aku di bab ini, kalau ada typo, bilang aja gak apa-apa. Ini dikejar deadline, gak sempat baca dua kali. Makasih udah membaca💓

Mahasiswi KukerWhere stories live. Discover now