MK - 11

1.2K 160 3
                                    

Dari kecil, Steffi menjadi perempuan yang selalu terlihat kuat. Bahkan, ia tak ingin orang lain melihatnya menangis. Di saat orang tuanya harus bercerai pun, ia tetap menampilkan senyum di wajahnya. Berbanding dengan Stevan yang menangis meraung-raung dan memeluk kedua orang tuanya erat, Steffi hanya dapat mengelus pundak Stevan, seakan menjadi penguat. Ya, Steffi kuat, perempuan kuat.

Harusnya ia juga melakukan hal yang sama. Sayangnya, kali ini berbeda. Mungkin benar Steffi tidak peduli dengan hujatan orang-orang mengenai dirinya. Namun, saat pesan yang baru saja ia baca dari Zan sungguh membuat segalanya menghitam. Ia tak tahu apa yang harus dilakukannya saat ini.

Sejam Steffi menutupi wajahnya dengan bantal, saat tangis pecah dan dibungkam agar tak seorang pun tahu. Kini, ia merasa tenggorokannya tercekat, mata sembap, juga pipi yang ikut membengkak. Perempuan itu mengaktifkan ponselnya, mencari nama Zan dan menghubungi laki-laki itu.

Tak ada jawaban, Steffi melirik jam di atas nakas. Memang tidak masuk akal jika ia menghubungi seseorangi jam 2 pagi. Namun, perempuan itu sudah tak dapat berpikir jernih. Kembali ia menghubungi laki-laki itu, dan akhirnya tersambung.

"Halo, Stef?" sapa Zan dari seberang sana.

Steffi menarik napas panjang lalu mengembuskan secara pelan. "Zan?" Suara perempuan itu parau, nyaris tak terdengar. "Lo masih di rumah sakit?"

"Iya, soalnya gak ada keluarga Kanya yang nemenin. Lo baik-baik aja, kan, Stef? Suara lo kayaknya ...."

"Gak apa-apa," jawab perempuan itu seraya mengusap bulir netra yang kembali menetes.

Terdengar dari seberang sana, embusan napas Zan seakan merasa lelah. "Gue sedih banget, Stef."

Steffi terdiam, memberi ruang untuk Zan mengeluarkan keluh kesahnya. Walau, dalam hati Steffi pun menjawab, Sama, gue juga sedih banget.

"Harusnya gue gak ninggalin Kanya waktu itu, Stef, tapi karena ada jadwal wawancara sama Dean, gue harus ninggalin dia. Serius, gue pengen cari tau soal Kuker. Dia harus tanggung jawab atas apa yang udah dia buat."

Steffi meremas ujung bantal yang tadinya membungkam tangis. "Zan ... belum tentu Kuker yang lakuin ini semua."

"Terus siapa, Stef? Buktinya udah ada, kok. Dia emang dari dulu cuma nyari kekuasaan di atas mahasiswa Pendar, dan gue gak suka itu."

Steffi benar-benar tak dapat membela diri lagi, walau ia tahu jelas bukan dia yang melakukannya. Namun, semua kesalahan terarah padanya. Steffi menurunkan ego. "Terus lu mau gimana, Zan?"

"Bantu gue nyari Kuker, Stef."

"Gimana kalau gue bantu cari tau siapa yang ngelakuin ini semua sama Kanya? Bukan fokus ke Kuker, karena gue takutnya kita salah nuduh pelaku."

"Oke."

Hening terjadi. Beberapa detik tenggelam dalam pikiran masing-masing. Walau nyatanya, mereka mempunyai pikiran yang sama. Rasa khawatir pada Kanya.

"Oh iya, Zan." Steffi memecah kesunyian. "Gimana keadaan Kanya?"

"Udah ngelewatin masa kritisnya, tapi belum siuman aja. Kita doain sama-sama, ya, Stef. Kali aja dengan sadarnya Kanya, kita bisa tau pelaku sebenarnya."

"Aamiin."

***

Sesungguhnya Steffi tak ingin masuk kelas hari ini, tetapi karena akan ada kuis, juga penentu mengikuti final, dengan rasa malas perempuan itu hadir. Suasana kampus kembali seperti sedia kala, seakan tak pernah terjadi sesuatu apa pun akhir-akhir ini. Menutup kasus Kanya dan berjalan seperti biasanya.

Steffi duduk di bangku tengah. Ia datang cukup pagi, tiga puluh menit sebelum kelas dimulai. Walau mulai suntuk, perempuan itu tak dapat menutup mata sekadar memberi kesempatan untuk tertidur.

Caitlin memasuki kelas, membuat Steffi semakin membulatkan mata tak dapat tertidur. Perempuan itu duduk di depan Steffi, membenarkan kemejanya lalu berbalik ke arah Steffi.

"Gimana kabar Kanya itu?"

"Semalam sih udah ngelewatin masa kritis, tapi belum sadar. Kenapa emang?"

"Pengen tau aja, sih. By the way, gue kira bakal banyak yang simpati gitu dengan kejadian Kanya, nyatanya enggak."

Steffi mengerutkan dahinya. Menatap Caitlin yang mengucapkan kata barusan dengan sangat enteng. Seakan-akan apa yanh dikatakan sebenarnya tak penting, tetapi harus tersampaikan.

Caitlin menyeret bangkunya sedikit lebih dekat dengan Steffi. "Lo tau gosip yang hangat dari semalam?"

"Apa?" tanya Steffi. Memang, dari kemarin Steffi seakan alergi dengan ponsel, membuatnya kehilangan banyak informasi.

"Kanya itu cewek yang bareng Dean waktu viral itu."

"Oh," ujar Steffi yang tak begitu peduli. Toh, ia lebih dulu tahu akan hal itu.

Caitlin tersenyum, tidak semanis biasanya. Steffi malah merasa takut. "Bukan cuma itu, Stef."

"Terus?"

"Kanya bukan cuma godain Dean, tapi cowok-cowok populer di kampus juga digaet semua. Termasuk cowok lo."

"Cowok gue?"

"Pemain akustik itu, lho!"

Tak menyangka jika Caitlin akan mengira Zan adalah kekasih Steffi. Namun, hal itu tentu membuat Steffi refleks ternyum. Walau samar, tetapi Caitlin menyadari hal itu. Lalu menggelengkan kepala, pertama kali melihat seseorang yang nyaris kehilangan pasangan malah tersenyum.

"Ah udahlah." Caitlin menarik kembali bangkunya dan duduk menghadap ke depan. Lalu, kembali mengucap, "Lo hati-hati aja kalau ditikung!"


****

Entah mendapat semangat dari mana, padahal semalam ia sangat rapuh. Kini, Steffi mulai menampakkan taring. Ia bukan perempuan cengeng yang bersembunyi di balik selimut dengan ratusan bulir air mata. Pun, bukan anak kecil yang harus berlari kencang saat masalah datang. Lagi pula, tak semua anak kecil seperti itu, dan Steffi tak ingin jauh lebih mengecewakan dari anak kecil.

Seperti saat ini, tak ada aktivitas di kampus di jam 10 malam. Namun, Steffi malah berdiri di depan ruang keamanan. Dengan alat seadanya, ia membuka paksa ruangan itu. Hampir sepuluh menit berusaha, akhirnya terbuka dengan mulus. Steffi mengendap-endap masuk dan menutup ruangan itu dengan sangat pelan.

Menyalakan lampu dan menatap satu per satu komputer yang ada di ruangan. Ia tahu ini salah, tetapi Steffi bukannya ingin mencuri salah satu atau semua komputer di dalam, melainkan mengambil alih tugas keamanan. Ia harus melakukan sabotase pada CCTV kampus agar tersambung ke komputer di rumahnya. Tentunya akan lebih mudah jika menggunakan komputer sendiri.

Steffi mulai menyalakan salah satu komputer. Meretas beberapa akun petugas keamanan, dan mendapatkan yang ia mau. Tentu saja tak semudah dibayangkan. Ia harus menunggu program selesai hingga 100%. Sayangnya, masih berada di angka 90, terdengar seseorang dari luar ruangan.  Langkah kaki seakan mendekat, membuat jantung Steffi bekerja ekstra untuk memompa.

Sembilan puluh sembilan persen. Menunggu satu persen dengan keringat membanjiri seluruh tubuh, hingga Steffi yakin bahwa kini kemejanya sudah basah akan keringat.

Seratus persen dan beberapa detik selanjutnya seseorang masuk ke dalam ruangan. Untugnya, pergerakan tangan Steffi cukup lihai mematikan komputer. Kini, perempuan itu menahan napas saat harus bersembunyi di bawah meja.

"Kok lampu menyala, ya?" tanya orang itu.

Mahasiswi KukerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang