MK - 26

999 130 6
                                    


Senja merangkak menyisir jingga yang begitu elok dipandang. Bunga-bunga kamboja menyambut datangnya makhluk-makhluk berbusana gelap. Dengan rintihan air mata yang menggema dengan irama berbeda, sepanjang jalan terasa begitu berat hingga sampai di salah satu liang lahad yang siap dihuni. Raja terus menggenggam erat jemari tantenya, ibu dari Zan. Laki-laki itu berperan sebagai tembok kokoh tuk sandaran kala tubuh tak lagi mampu berdiri tegak. Walau begitu, matanya masih saja mencuri lirikan ke arah Steffi yang berdiri dikawal oleh pihak kepolisian. Ia lihat dengan jelas, matanya sembap seakan telah menangis semalaman. Bahkan, sesekali terlihat menarik napas panjang seakan menahan bulir yang memaksa terpecah.

Rasanya, Raja ingin ke sana. Menggenggam erat jemari Steffi, rela menjadi sandaran, bahkan pendengar deru tangis. Namun, kini ia tak boleh egois. Ibu Zan sudah datang jauh-jauh untuk melihat putranya tuk terakhir kalinya.

Raja mengelus pundak tantenya, karena dengan kata semangat saja rasanya tidak akan berarti apa-apa.

Ramainya pemakaman begitu padat. Terlihat teman-teman Zan dari UKM Sensa turut hadir, tetapi seakan ada ruang yang kosong saat Kanya yang tak terlihat batang hidungnya.

Saat tanah telah menggunung, batu nisan tertancap kokoh, dan bunga-bunga telah habis bertaburan, kepadatan mulai melonggar. Satu per satu pelayat meninggalkan pemakaman. Kini, tersisa Ibu Zan, Raja, Dean yang tentunya tak malu sedari tadi memperlihatkan tangisnya, juga Steffi yang seakan tak mampu berbuat apa-apa lagi.

Ibu Zan berdiri, menatap Steffi yang menunduk. "Tante boleh peluk kamu?"

Pertanyaan tersebut mampu membuat percaya diri Steffi yang awalnya menurun kini sedikit mampu menegakkan kepalanya.

Belum juga menjawab, Steffi sudah merasakan pelukan hangat yang melingkar di tubuhnya. Entah kapan terakhir kali Steffi merasakan pelukan dari seorang ibu. Merasa punggung si pemeluk bergetar hebat dengan tangis pecah, Steffi ikut melakukan hal yang sama. Ia benar-benar kecewa dengan dirinya sendiri.

"Zan yang salah," ujarnya. Namun, Steffi kembali menggelengkan kepalanya tanda tak setuju. "Maafkan Zan, ya."

"Nggak, Tante, Zan gak salah. Dia cuma tersesat. Dia gak salah," ucap Steffi. Kali ini perempuan itu benar-benar tak malu memperlihatkan tangisnya.

Di balik itu, Raja menyaksikan sendiri bagaimana hancurnya Steffi. Bagaimana ia benar-benar kehilangan sosok orang yang sangat ia cintai. Walau bagaimanapun, Raja paham akan posisinya saat ini, dan rasanya ia tak akan pernah menempati posisi Zan.

Terlepas dari pelukan ibu Zan, Steffi terduduk di tanah. Di arahkannya telapak tangan menyentuh nama Azran di sana. Tangisnya lagi-lagi pecah. Ia bahkan terdengar menjerit walau tertahan.

"Maaf, Zan, maaf gue gak bisa jagain lo."

Yang lain hanya dapat melihat bagaimana hancurnya Steffi saat ini. Namun, perempuan itu sudah benar-benar tidak peduli dengan keadaannya.

"Gue pengecut, Zan. Gue pengecut. Maafin gue, Zan. Gue sayang sama lo," jerit Steffi.

***

Purnama benderang di tengah awan kelabu. Kini, Steffi terduduk lemas di ruang tamunya. Setelah dari pemakaman, ibu Zan mengantar perempuan itu kembali ke pihak berwajib. Tentunya, untuk mencabut gugatannya. Ibu Zan tahu mengenai masalah Zan selama ini, dan bodohnya, Steffi tak menyadari itu.

Dalam keadaan masih sangat hancur. Steffi mencoba menerawang menatap dinding polos di ruang tamunya. Ia benar-benar menyesal atas apa yang Zan alami selama ini.

Steffi berlari menuju kamarnya. Membuka arsip lama dengan nama 'Kasus Reno.' Beberapa tahun lalu, seseorang meminta jasanya berupa hacking dan stalking ke salah satu seniornya. Reno dicurigai sebagai bandar narkoba. Steffi ingat betul, saat mengumpulkan bukti-bukti tersebut, ia sampai menguntit Reno yang sedang melakukan transaksi ganja di taman pemakaman umum.

Tebak, siapa yang membeli ganja pada Reno? Benar, Zan.

Selama ini Steffi mengira ia cukup mengenal Zan. Walau setelah OSPEK mereka sudah jarang bertemu karena kesibukan di jurusan masing-masing, tetapi Steffi tak pernah sekali pun absen tuk mengecek pergerakan Zan baik secara diam-diam maupun terang-terangan.

Sayangnya, Steffi kecolongan. Ia tak tahu jika selama ini Zan begitu depresi mempertahankan nilai-nilai IPK-nya agar tak menurun, agar beasiswanya tak dicabut. Bahkan, Steffi tak pernah tahu masalah itu hingga Zan dengan cerobohnya menjerumuskan diri ke dunia gelap.

Lagi, Steffi kembali menangis mengingat Zan. Waktu dia mengumpulkan bukti tuk menyeret Reno ke penjara, ia tak tahu jika Zan juga ada bersama Reno saat itu. Untungnya, pada zaman itu kamera ponsel Steffi belum begitu canggih, sehingga saat mengambil gambar di taman pemakaman umum, ia hanya bisa memfokuskan jepretannya ke arah Reno.

"Andai aja gue tau kalau saat itu ada Zan, pasti gak gini jadinya," gumam Steffi.

Menarik napas panjang, Steffi menutup arsipnya. Ia harus membuka lembar baru dan kembali menghancurkan kejahatan yang berada di sekitarnya.

****

Langkah kecil-kecil melewati koridor kampus, banyak pasang mata dengan terang-terangan menusuk objek yang kini merasa seakan diintimidasi. Steffi mencoba menunduk, tetapi sama saja. Kini, pertama kalinya Steffi sedikit menyesal mempunyai tubuh tinggi bak model. Jika dulunya itu bukan masalah besar, ditambah ia juga bukanlah mahasiswa berpengaruh, tetapi saat ini sangat berbeda.

Ia sampai ke dalam kelas. Seperti biasa, hanya beberapa orang yang baru sampai, dan untungnya, yang lainnya seakan enggan tuk melakukan wawancara pada Steffi.

Selain itu, ini kali pertama Steffi memilih bangku paling belakang. Kali ini ia benar-benar menghindari interaksi sosial. Namun, harapan Steffi lebur begitu saja saat Bella memasuki ruangan.

Perempuan centil itu belari riang ke arah Steffi. "Huwaaa! Kangen banget sama Steffi!" Pelukan begitu erat di tubuh Steffi, tidak begitu lama, tetapi terasa kencang hingga menguras pasokan oksigen begitu banyak.

"Bel, lo gak itu sama gue?" lirih Steffi dengan gagu.

Bella mengerutkan dahinya lalu menggelengkan kepala dengan cepat. "Apaa? Lo pikir gue bakal jauhin lo? Ya enggaklah, gue malah seneng kalau selama ini teman gue itu seorang hacker! Ih keren banget. Kalau tau dari dulu, gue udah lama minta lo ngebajak akun facebook pacar gue!" seru Bella.

Steffi melotot. "Lo punya pacar? Sejak kapan?" Setahunya, sejak Maba, Bella tak pernah punya pacar.

Yang ditanyai malah cengengesan. "Ya gak sih, tapi siapa tau kan gue nantinya punya pacar gitu. Doain aja dulu, biar gue punya pacar kayak lo," serunya lagi.

Steffi menggelengkan kepala seraya tertawa garing. Ia tak punya pacar, dan jika dulu ia sering berhalusinasi untuk mempunyai pacar, kali ini rasanya enggan ia pikirkan. Terlebih, seseorang yang ia harapkan tak dapat ia genggam.

"Gue gak punya pacar lagi," gerutunya.

"Itu!" tunjuk Bella pada seorang laki-laki yang baru saja memasuki ruangan.

Raja melangkah masuk dengan percaya dirinya. Bahkan, Steffi sampai melongo melihat itu. Bisa-bisanya melangkah begitu ringan di kandang orang lain.

"Hai, Stef, dan ... hai, lo Bella, 'kan?" sapa Raja.

Bella mengangguk riang. "Iya, gue temen Steffi."

"Boleh kasih waktu gue ngobrol berdua sama Steffi?" pinta Raja.

"Tentu."

Kini ruang kelas yang begitu luas terasa sepi, ditambah manusia-manusia di dalamnya seakan sibuk dengan urusan masing-masing. Raja mengambil posisi duduk di depan Steffi.

"Apa kabar, Stef?"

"Baik."

"Baik banget, apa baik aja?"

"Baik banget buat nyapu ular."

Raja tertawa seraya mengusap lembut kepala Steffi. "Kita butuh garam buat ngusir ular."

"Lebih seru mengusir ular apa membunuh ular?" tanya Steffi, sarkastis.

Raja lagi-lagi tertawa. "Tergantung yang mulia dong."

Mahasiswi KukerDonde viven las historias. Descúbrelo ahora