MK - 15

1.1K 145 7
                                    

Terbangun di waktu yang tidak diinginkan, Steffi meraba nakas, mengambil ponsel dan mengecek jam. Masih sangat pagi, bahkan suara azan Subuh pun belum terdengar. Kembali, perempuan itu mencoba menutup mata dan menghilangkan pikiran mengganggu agar bisa terlelap. Sayangnya, bayangan menyebalkan muncul tiba-tiba.

Steffi bangkit, terduduk lemas di atas tempat tidur. Mengusap kedua pipinya lalu menguap sekencang-kencangnya. Sungguh, obrolan bersama Raja membuat pikirannya terusik.

Membuka pola pada ponsel, ia mendapati beberapa pesan yang masuk. Sayangnya, tak ada satu pun tanda-tanda ia mendapatkan pekerjaannya lagi. Kini, mahasiswa Pendar seakan lupa pada jasa yang Steffi tawarkan.

Pilihan terakhir, Steffi beralih pada satu pesan dari Caitlin.

Stef, bisa kirimin file materi hukum perdata, gak?
Stef!
P
P
P
Lha, udah tidur?
Cepet amat, huhu.

Keluar dari obrolan lalu melanjutkan scroll untuk melihat pesan lainnya. Ia menemukan pesan dari Kanya.

Stef, besok ada kelas, gak? Bisa jemput aku? Aku mau nebeng kayak biasanya.

Ada guratan pada bibir Steffi, ia tersenyum walau tak terlihat bahagia. Lantas, ia malah merasa kesal membaca pesan tersebut. Namun, sesuai rencananya dengan Raja, tentunya ia tak mungkin bersikap buruk pada Kanya. Akhirnya, jari lentik bergerak membalas pesan.

Mbb, ya. Oke, gue jemput jam 9 pagi.

Setelah membalas tanpa emosi apa pun, jarinya kembali mencari pesan yang lain. Menemukan satu pesan ucapan selamat malam dari Raja yang tentu saja tak minat ia buka. Lalu, beralih pada pesan dari Zan.

Gue butuh waktu ngobrol bareng lo, Stef. Kita bisa atur waktu ngobrol berdua aja?

Entah mengapa saat membaca pesan yang sesungguhnya terlihat biasa, membawa kesan yang luar biasa pada Steffi. Bahkan, kini dadanya berdebar hebat. Tubuhnya kembali berbaring di atas kasur lalu berguling kesenangan. Ya, ia terlalu memakai rasa pada hal yang belum tentu istimewa.

Kini, perempuan itu semakin tak dapat menutup mata. Pikiran penuh oleh Zan. Yang awalnya ingin meratapi nasib karena pemasukan berkurang, malah wajah laki-laki itu yang selalu muncul. Akhirnya, Steffi memilih keluar dari kamar. Menuangkan air dingin ke kantong teh lalu meniriskannya. Ya, Steffi menggunakan ampas teh itu untuk menutupi matanya yang semakin lama menyerupai panda.

"Gue harus tetap terlihat perfect di hadapan Zan," gumam Steffi yang kini menatap wajahnya di depan cermin. Beberapa detik melihat pantulan dirinya, ia terdiam. Pikirannya jatuh pada dirinya sendiri. Merasa telah melakukan sesuatu hal yang tentunya seakan itu bukan dirinya.

Steffi kembali ke dapur, membuang ampas teh yang ada di bawah matanya lalu mencuci muka. Terduduk di meja makan, ia kembali melamun.

Kesadarannya terkumpul saat Stevan sudah muncul di hadapannya dengan gelas berisi air.

"Lo kenapa?" tanya Stevan.

Steffi yang tertutup pada siapa pun tak menjawab. Ia setia pada keadaannya yang diam.

"Gue juga sadar lo berubah akhir-akhir ini. Kemarin keliatan murung, hari ini have a fun banget."

Steffi tersenyum. Ia mengembuskan napas panjang lalu menyandarkan tubuh rampingnya ke penyangga kursi. "Gue kayak orang lain tau, gak? Emang kalau naksir sama orang, kita harus berubah?"

Stevan menggeleng seraya meneguk air hingga habis. "Kalau menurut gue, nggak. Buat apa lo berubah cuma untuk orang lain yang belum tentu bakal jadi pendamping lo kelak? Yang lo harus lakuin ya bersikap biasa aja, dia harus tau lo yang sebenarnya gimana. Jangan pencitraan, kalau sampai dia tau lo yang sebenarnya terus kecewa, gimana?"

"Maksud lo, gue gak boleh bohongin diri gue dan orang yang gue suka?"

Stevan mengangguk. "Well, gini ...."

"Tunggu!" sahut Steffi saat menyadari getaran pada ponselnya.

Nama Zan tertera di sana. Steffi melihat jam yang masih menunjukkan pukul 3 pagi. Tidak seperti biasanya laki-laki itu menghubungi di waktu seperti ini.

"Halo, Zan?" sapa Steffi. Setelahnya, ia mendengar jawaban dari seberang sana. Tidak, bukan Zan yang berbicara dengannya. Melainkan orang lain. Hanya berselang beberapa menit, panggilan dihentikan. Steffi terpaku, masih belum percaya.

"Lo kenapa, Stef?" tanya Stevan, ia menyadari ada yang tidak beres pada adiknya.

Steffi menggeleng. Dengan cepat ia kembali ke kamar. Menutup pintu kamarnya dengan rapat agar Stevan tak lagi mengikuti atau penasaran dengannya.

Walau masih dalam keadaan tidak baik-baik saja, Steffi mencoba menormalkan perasaannya. Ia menyalakan komputer tua yang selama ini menemaninya bekerja. Dengan beberapa bantuan aplikasi, ia menyadap ponsel Zan. Ia hanya ingin mengetahui siapa saja yang berkomunikasi dengan Zan hari ini, pesan-pesan yang masuk di ponselnya, juga ke mana saja Zan berkunjung.

Menunggu tulisan loading untuk mendapatkan itu semua, ia menghubungi Raja. Beberapa kali panggilan, tetapi tak jua Raja menjawab. Hingga panggilan ke 7, akhirnya laki-laki itu mengangkat teleponnya.

"Lo sadar gak sih ini jam berapa?" bentak Raja.

Steffi tak peduli, toh ia tak melihat langsung bagaimana wajah Raja bila marah.

"Biasanya mahasiswa suka begadang. Kenapa jam segini lo udah tidur?"

Terdengar uapan dari seberang sana. Cukup panjang hingga akhirnya Raja kembali menjawab, "Gue mahasiswa upnormal. Lagian ngapain sih lo nelpon jam segini?"

"Gue gak bisa sekarang, banyak banget yang pengen gue cari tau dulu. Makanya, lo sekarang ke RS. Gue gak tau ada apa sama Zan, tapi katanya dia di rumah sakit sekarang."

"Terus? Gue ke RS dan lo enak-enak tidur?"

Steffi menggeleng kencang, padahal Raja tak akan melihat itu. "Bukan, gue cuma mau cari tau Zan kenapa, tapi gue juga khawatir sama dia. Jadi, gue minta lo yang ke sana, ya."

"Kenapa harus gue? Dia punya Kanya."

Refleks, Steffi meremas ujung kaosnya dengan kencang. Perempuan itu sadar bahwa Raja bukanlah manusia yang mudah menjaga perasaan orang lain. Namun, Steffi sudah terbawa perasaan.

Lama terdiam, akhirnya Steffi menjawab, "Gue lebih percaya sama lo, Ja. Lagian, Zan itu sepupu lo. Masa tega sih biarin dia sendirian."

"Ya, ya, ya. Sekarang dia di mana?"

"Rumah sakit kampus."

"Rumah sakit apa kampus, nih?"

Sungguh, ingin sekali Steffi mencabik-cabik wajah Raja saat ini juga. Sayangnya, wujud laki-laki itu sedang jauh di sana.

"Rumah sakit pendar, Ja. Tolong banget langsung ke sana. Jangan becanda mulu, please."

"Oke," jawab Raja yang langsung memutuskan sambungan telepon.

Steffi tak ingin terbawa emosi dengan segala tingkah Raja. Ia harus menyelesaikan semuanya dengan cepat. Lama menunggu loading, akhirnya layar komputernya menampakkan lokasi-lokasi Zan seharian ini. Lokasi terakhir adalah depan kampus, dan sebelum itu ....

"Ini kan alamat rumah Kanya? Jadi, Zan kecelakaan depan kampus, setelah dari rumah Kanya?" Steffi bermonolog.

Ingin kembali mencari tahu detailnya, tetapi getaran ponsel lagi-lagi mengganggu. Dari nomor yang tak dikenal. Namun, muncul di waktu seperti ini, pastinya mempunyai perihal yang penting.

"Halo?"

Dari seberang sana terdengar ramai, musik dimainkan dengan tidak terkendali. Beberapa kali terdengar suara orang-orang yang berteriak walau tenggelam dalam suara musik yang begitu kencang.

"Gimana, Kuker? Permainan gue keren, 'kan?

Steffi membulatkan matanya, nyaris keluar. Ia menjauhkan ponselnya dari telinga dan menatap nomor dari orang yang menghubunginya. Sayang, ia benar-benar tak mengenali.

"Ini siapa?"

Terdengar tawa samar dari seberang sana. "Gue, yang bakal menggiring lo ke penjara."

Mahasiswi KukerWhere stories live. Discover now