MK - 22

981 119 3
                                    

"Tolong lo jelasin dulu apa salah gue, Cait!"

Caitlin mendengkus kesal seraya mengambil potongan kayu lalu menghantam tubuh Steffi hingga kembali berteriak. Steffi hampir hilang kesadaran. Matanya berkunang-kunang dan bulir darah terus keluar dari mulutnya. Kini, penampilan Steffi sudah tak dapat dikatakan baik-baik saja.

"Nya, tolong lepasin semua lakban di tubuh dia. Gue yakin, dia udah gak bisa berkutik sekarang," perintah Caitlin.

"Lepasinnya dicabut aja langsung?"

Caitlin mengangguk. "Gue pengin liat dia teriak histeris di setiap helai lakban yang nutupin tubuh dia."

Kanya tersenyum senang. Ia mulai menarik lakban di kaki Steffi dengan paksa, membuat perempuan itu menjerit kesakitan. Satu persatu lakban terbuka hingga menyisakan Steffi dalam balutan kaos tipis dan celana pendeknya.

Steffi menggigit bibirnya, menahan teriakan yang ingin ia keluarkan. Ia tahu jika semakin ia kesakitan, semakin senang pula Caitlin dan Kanya.

Caitlin maju lebih dekat dengan Kanya. Berjongkok dan mengangkat dagu Steffi. "Lo tau kenapa Kanya ngajak Dean ke pemakaman umum waktu itu?"

Steffi menggeleng lemah.

"Itu tempat di mana lo ngancurin masa depan Mr. Y," ujar Caitlin.

Steffi terbatuk hingga mengeluarkan darah segar. Hal tersebut membuat Caitlin semakin senang, lalu menarik kencang rambut panjang Steffi. "Lo ngerti kan sekarang?"

"Gue nangkap bandar narkoba, Cait, dan itu gak salah!" teriak Steffi di sisa tenaganya.

Perempuan berambut pirang itu kembali berdiri lalu menendang wajah Steffi hingga si objek kembali terhuyung ke belakang.

"Lo pengen dikenal sebagai hacker berhati malaikat maksud lo?" tanya Caitlin.

Steffi bergeming. Tak lagi fokus pada ucapan Caitlin, melainkan melirik ke arah Kanya yang berada di belakang Caitlin. Perempuan itu tengah menahan tangisnya, entah karena apa.

"Lo membuat perempuan itu," ujar Caitlin seraya menunjuk ke arah Kanya, "menderita."

"Apa hubungannya dengan Kanya?"

"Dia kakak gue, Stef. Dan dia dalang semua ini," jawab Kanya yang kini terlihat berusaha menahan emosinya.

"Nya ...."

Kanya maju lebih dekat dan menendang tubuh Steffi. "Ini tuh bayaran atas semua yang lo perbuat, Stef! Karena kakak gue harus masuk penjara membuat kedua orang tua gue stres, mereka meninggal, Stef. Keluarga gue hancur. Dari awal gue gak niat hancurin lo seperti ini, tapi lo tau? Lo yang mulai, gue takut dengan langkah gue, tapi lagi-lagi lo yang buat gue kayak gini. Lo sadar, Stef!"

"Harusnya ini salah kakak lo!" bentak Steffi tak terima. Perempuan itu berusaha bangkit walau tertatih. Kini ia berdiri dalam keadaan membungkuk. "Kalau aja kakak lo itu gak melakukan hal yang ngerusak hidup dia dan orang lain, gak bakal kayak gini."

"Dan andai aja lo gak ikut campur, keluarga Kanya dan pacar gue akan baik-baik aja," potong Caitlin.

"Gue cuma ...."

"Cuma menerima jasa dari seseorang agar lo dapat duit? Berapa sih duit yang lo dapat, Stef? Sampai-sampai lo tega sama gue," ujar Kanya.

Di tengah perdebatan tiga perempuan itu, pintu sekret terbuka. Walau dalam gelap, terlihat seorang laki-laki mengenakan kemeja biru muda masuk dan menutup kembali ruangan dengan rapat.

Kedua bola mata Steffi membulat sempurna, seakan mendapat pertolongan saat laki-laki tersebut berjalan mendekat.

"Zan, bantuin gue," pinta Steffi.

Caitlin yang mendengar itu tertawa keras hingga membuat seisi ruangan berdengung. Steffi yang mendengar itu kini menciut. Apalagi saat melihat Zan berjalan mendekat dengan pisau dapur di tangan kanannya.

"Ada yang mau gue kurban malam ini?" ucap Zan.

Mendengar itu, Steffi refleks melangkah mundur. "Zan, please, sadar, Zan."

"Lo pikir gue lagi ngigo?" sarkas Zan.

"Zan, kita lebih dulu kenal. Bahkan, sebelum lo mengenal Kanya dan Caitlin. Zan, gue mohon," cicit Steffi.

"Terus lo pikir Zan bakal peduli sama cewek yang cuma modal status sahabat? Gue yakin Zan akan memilih Kanya, bukan lo, Stef." Caitlin maju mendekati Zan. Ia memukul pelan pundak Zan. "Lo yakin bisa, Zan? Atau mau gue bantu?"

Zan berbalik ke arah Caitlin dan Kanya. "Gue bisa. Mending kalian keluar dari sini, gue pengin habisin dia sendiri."

Caitlin mengangguk. "Oke, gue percaya dengan lo, Zan."

Kanya dan Caitlin keluar dari ruangan, meninggalkan Zan dan Steffi yang kini tengah menangisi takdirnya.

Menyadari ruangan kini telah sepi, Zan maju lebih dekat. Pisau di tangannya semakin membuat degup jantung Steffi berdebar begitu kencang.

Steffi menutup mata saat tangan kanan Zan mengayun. Namun, bukan rasa pedih yang ia rasakan saat ini, melainkan rasa hangat yang menutup tubuhnya. Ia membuka mata dan mendapati diri tengah berada dalam pelukan Zan.

"Zan," bisik Steffi.

Tak ada tanggapan, tetapi Steffi merasakan basah di pundaknya. Pun, kini tubuh Zan tengah bergetar hebat, ia tahu bahwa kini laki-laki itu sedang menangis tersedu-sedu.

"Zan ... lo?"

Zan mengatur napasnya, tetapi tak hentinya terisak. "Gue minta maaf, Stef," bisik Zan.

"Zan, lo gak pernah salah sama gue," ucap Steffi.

"Stef, gue gak bisa bunuh lo."

Steffi ikut menangis. "Gue tau, Zan, gue tau."

"Bunuh gue aja, Stef."

Gelengan kencang sebagai jawaban atas pinta dari Zan. "Gue gak bisa, Zan."

Zan memberi pisau tersebut ke tangan kiri Steffi, ya, karena Zan tahu jika Steffi kidal. "Lo bisa, ini satu-satunya cara biar kita sama-sama selamat, Stef."

***

Caitlin menyalakan api dan membakar rokok. Ia duduk tidak begitu jauh dari ruangan sekret. Sudah banyak hal yang ia korbankan untuk rencana malam ini. Ia benar-benar memberi kepercayaan penuh pada Zan.

"Menurut lo, apa Zan akan ngelakuin semuanya?" tanya Kanya.

"Gue yakin, tapi ...."

"Tapi?" tanya Kanya.

"Sial, gue pikir semua rencana kita bakal mulus. Liat ke sana!" tunjuk Caitlin.

Raja yang berada di ujung koridor berjalan tergesa-geda dengan senter ponsel yang menyala.

"Gimana, nih?" tanya Kanya.

Caitlin menutup mata, mencoba berpikir jernih. Ia tak ingin melibatkan mahasiswa ugal-ugalan dalam misinya. Bisa-bisa semua hancur berantakan.

"Nya, lo lari ke arah dia dengan ekspresi ketakutan. Lo ngarang aja bilang Mr. Y ngejar-ngejar lo di lantai 4 dan minta bantuan ke dia, siapa tau lo bisa mancing dia ke lantai 4."

Kanya mengangguk mengiyakan. Kini perempuan itu berlari dengan air mata yang berderai di wajahnya. Dengan gayanya, ia berusaha untuk terjatuh di hadapan Raja, dan ya, Raja dengan siap menangkap Kanya.

"Kanya?" ucap Raja.

"Ja? Lo ... ngapain di sini?" tanya Kanya.

"Gue ada perlu. Lo?"

Kanya menangis tersedu-sedu. "Tolong, Ja, gue dikejar-kejar sama Mr. Y, bantuin gue, Ja."

"Oh ya?" tanya Raja.

Kanya mengangguk dengan wajah dibuat terlihat ketakutan, walau dalam hati ia membatin begitu kesal pada ekspresi Raja yang terlihat tak acuh.

Mahasiswi KukerWhere stories live. Discover now