MK - 10

1.3K 155 9
                                    

Kembali ke kampus dengan perasaan yang penuh tanda tanya. Entah apa yang membuat perempuan berambut panjang itu kembali ke lokasi TKP. Mengamati sekitar dan sedikit mengumpat. Tidak ada CCTV yang ia temukan, padahal jika ada, ia mempunyai titik terang akan kasus Kanya. Selain karena ia menganggap Kanya orang baik yang harus diselamatkan, pun nama baiknya akan rusak akibat fitnah yang telah tersebar.

"Lo gak ke rumah sakit?" Pertanyaan yang muncul dari belakang Steffi membuat perempuan itu refleks berbalik.

Laki-laki dengan tubuh tinggi menatap kedua mata Steffi, beberapa detik, selanjutnya ia memamerkan senyum yang lengkap dengan lesung pipi.

Steffi berusaha mengingat orang itu. Tampak tak asing, tetapi mulai memudar di pikirannya.

"Lupa sama gue? Nakula."

Setelah lumayan lama berpikir, Steffi mengangguk dua kali. "Ingat. Eh? Lo tau ... Kanya?"

"Iya, semua mahasiswa Pendar udah tau deh, kayaknya. Makanya, daripada lo berdiri di TKP mulu, mending ke rumah sakit aja."

Steffi tersenyum kikuk. "Harusnya sih gitu, tapi gue harus hubungin keluarga Kanya dulu. Cuma ya gitu, gak dapat kontaknya. Rumahnya juga sepi."

Setelah mengucapkan itu, Steffi terdiam melihat Nakula sedikit berpikir. Pun, Steffi melakukan hal yang sama dengan pikiran mengapa ia bisa seringan ini berbicara dengan Nakula, padahal bertemu pun baru sekali.

"Setau gue Kanya gak punya keluarga, deh."

"Oh, ya? Tau dari mana?" Kini ekspresi wajah Steffi sedikit lebih serius, walau aslinya memang selalu terlihat tegang.

"Emang gitu kenyataannya. Gue pernah sekelas sama dia di kelas Bahasa Inggris. Taunya dari temen-temen kelas juga."

"Kanya ... yatim piatu?"

Nakula menganggukkan kelapa untuk pertanyaan ragu dari Steffi. Perempuan itu mengusap-usap telapak tangannya, merasa bersyukur dengan dirinya yang walau tak lagi bersama orang tua, tetapi ada Stevan yang selalu ada.

"Mau ke rumah sakit bareng, gak?" ajak Nakula.

Wajah Steffi memerah dengan refleks menggeleng lalu dengan suara yang amat pelan berkata, "Gak usah, makasih. Gue bawa motor, kok."

Nakula menggaruk kepalanya yang tentu tak gatal. Penolakan pertama yang ia dapatkan selama hidup. Awalnya ia mengira telah melangkah jauh dengan melihat ekspresi wajah Steffi yang malu-malu di hadapannya. Nyatanya, kini perempuan itu menolak ajakannya di saat mahasiswi lain mengharapkan itu.

"Ya udah, gue duluan, ya."

Steffi mengangguk, membiarkan laki-laki bertubuh tinggi itu melangkah menjauh. Akhirnya, perempuan itu memilih duduk sedikit jauh dari TKP, tetapi mata masih dapat mereka lokasi tersebut.

Steffi membuka ponsel yang selalu ia setting dengan mode diam tanpa suara ataupun getaran notifikasi. Ia pikir banyak pesan dari customer 'tuk membeli jasanya. Namun, kini tak lagi seperti hari kemarin. Hujatan penuh, tak mampu ia buka satu per satu.

Steffi nyaris ambruk andai saja seseorang tak memegang kedua bahunya. Dengan cepat Steffi kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku. Menangkap seseorang yang kini tengah duduk di sebelahnya.

"Dean?"

Laki-laki itu tidak menatap wajah Steffi seperti biasanya. Melainkan fokus ke depan, mengamati garis kuning yang melintang.

"Gue tau kemampuan lo selama ini, tapi Stef, lo harus sadar kalau lo gak bisa ngelakuin ini sendiri."

"Maksud lo?"

Lelaki dengan kemeja biru tua itu memegang kedua bahu Steffi, menatap mata perempuan itu dengan dalam. "Ada gue."

Dean pikir, dengan apa yang ia lakukan tadi mampu membuat Steffi luluh dalam sekejap, dan tentu saja menerima ajakan Dean. Sayangnya, semua harapan yang sudah diusahakan pun tak membuahkan hasil. Steffi melepaskan diri dari kedua tangan Dean. Perempuan itu bahkan berbalik dari hadapan Dean.

"Gue gak butuh."

"Stef ...," ucap Dean lirih. Kali ini ia benar-benar berharap Steffi sedikit melunakkan egohnya.

"Harusnya lo sadar untuk gak ngomong lagi sama gue, An. Gue gak butuh lo, dan kalau lo berharap gak terjadi sesuatu sama lo, jangan macam-macam."

Dean sedikit berpikir dengan ucapan yang baru saja perempuan itu lontarkan. "Maksud lo apa? Lo mencoba ngancem gue?"

Perempuan dengan rambut panjang itu menaikkan kedua bahunya tak acuh. Entah ada perkara apa yang muncul di benak Steffi, tetapi sejujurnya Dean tak pernah merasakan itu semua.

Tatapan yang semulanya sendu, kini tajam tertancap ke arah Steffi. Perlahan rasa curiga mulai menghantui, walau perasaan tetap berada di garis terdepan. Entah masih pertama, atau saling berlomba di garis yang sama.

"Atau jangan-jangan ... lo emang lakuin itu semua, Stef?"

Pertanyaan di luar akal sehat Steffi. Kini perempuan itu berbalik, kali ini menatap Dean dengan rasa tak percaya. Bisa-bisanya laki-laki itu menaruh curiga pada Steffi.

"Lo tau, kan, tadi gue bareng lo sama Zan selama kejadian?" tanya Steffi.

Dean mengangguk. "Dan itu alibi? Stef, gue tau lo naksir dengan Zan, tapi ... apa lo gak nyadar kalau Zan sayang sama Kanya?"

"Lo mencoba membuat gue merasa kecil?"

"Gak. Gue berusaha menyadarkan lo dari tidur panjang. Kalau lo emang sayang sama seseorang, jangan pakai cara kotor, Stef."

Steffi menggertakkan giginya. Kesal, benar-benar kesal. Bahkan, sekarang pun ia yakin bahwa wajahnya memerah akibat menahan amarah. "Gue gak sekotor itu."

"Ya udah. Buktiin kalau lo emang gak bersalah, dan gue ... bakal cari bukti atas apa yang gue ucapin barusan."

"Lo nantangin gue?" seru Steffi. Ia sudah mengepalkan tangan secara kuat. Alih-alih ingin melayangkan tinjuan, Dean lebih dulu meninggalkan tempat, membuat Steffi menarik napas panjang, mengatur emosi yang kian tak terkendali.

Ia lelah. Bukan hanya fisik, tetapi perasaan pun sama. Berawal dari sikap Dean, lalu Zan yang tak menyukai Kuker, ditambah kasus Kanya yang menyeret-nyeret profesinya. Kini perempuan itu memilih meninggalkan lokasi TKP bersamaan dengan sepasang mata yang sedari tadi mengawasi.

***

Sampai ke rumah dengan selamat walau emosi dan perasaan masih dalam keadaan terguncang. Steffi merebahkan tubuhnya, yang biasanya akan stay di hadapan komputer saat pulang ke rumah, kali ini pikirannya harus sedikit punya luang tanpa alat elektronik.

Ia khawatir, bukan cuma semata-mata karena profesinya yang diseret-seret, melainkan dengan keadaan Kanya. Steffi cukup peduli, bahkan pikirannya tak lepas dari sana. Kedua kaki jenjangnya pun sebenarnya terpaksa tuk melangkah ke rumah. Ia ingin melihat keadaan Kanya, tetapi rasa seakan tak mampu melihat perempuan itu dengan Zan yang selalu ada di sebelahnya.

Kacau, saat ia mulai merasa nyaman dengan teman perempuan, tetapi perasaan kian menghadang.memaksa untuk mundur ataukah melangkah maju lalu menghalangi para manusia yang mengganggu.

Steffi menggeleng, ia tak seperti apa yang Dean pikirkan.

Getaran di ponselnya pun membuyarkan segala yang tergambar di kepalanya. Sekitar beberapa menit bergulat dengan akal, akhirnya Steffi memutuskan untuk membuka ponsel. Lalu, pesan pertama nyaris membuat Steffi semakin jatuh.

Mau lo laki atau cewek, kita ketemu secara langsung. Lo pikir lo bisa hidup tenang setelah ngancurin hidup cewek yang gue sayang?

Ada beberapa pesan dengan hujatan yang sama. Namun, satu pesan dari seseorang membuat Steffi ingin mengakibatkan banjir di kamarnya.

Sialan!

Mahasiswi KukerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang